Sunday, December 1, 2019
Antara Moral dan Nalar
Monday, July 29, 2019
IMPOR REKTOR, JALAN PINTAS YANG SALAH ARAH
Kedua, dan ini yang lebih penting, coba pikirkan mengapa para profesor dan peneliti dari institusi seperti MIT, Caltech, dan Imperial College mau pindah ke Singapura? Yang jelas, bukan karena mereka menikmati suhu dan kelembaban udara negeri tropis. Kebanyakan talenta akademik adalah orang-orang yang punya renjana kuat akan pengetahuan. Mereka ingin bisa meneliti, dan meneliti dengan sebaik-baiknya.
Apakah orang-orang seperti itu akan mau datang ke Indonesia dan berjibaku dengan mekanisme pendanaan riset yang ajaib? Dengan kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban yang lebih mementingkan kelengkapan bon dan meterei daripada substansi ilmiah? Dengan minim dan sulitnya mengimpor alat dan material eksperimen? Dengan tuntutan patuh pada aturan seperti cap jempol sehari dua kali?
Jawabannya adalah, tentu tidak. Mana ada peneliti kelas dunia yang ingin bekerja di lingkungan yang mematikan kreativitas dan daya pikir? Pendek kata, ekosistem akademik pendidikan tinggi kita tidak ramah pada penelitian dan pengembangan ilmu. Jika dipaksakan, strategi impor-imporan dosen/rektor paling banter hanya akan membuahkan hasil seperti liga sepakbola kita.
Yang akan datang hanyalah para pemain dan manajer medioker yang karirnya sudah mentok di tempat asalnya. Jangan mimpi bahwa orang-orang seperti itu bakal membawa klub bola kita ke liga internasional.
Tambahan: Saya diingatkan oleh Ade soal penyetaraan ijazah. Di satu sisi, dosen-dosen Indonesia lulusan luar negeri diwajibkan untuk datang ke Jakarta untuk "menyetarakan" ijazahnya. Di sisi lain, orang-orang asing kini diundang sebagai penyelamat pendidikan tinggi kita. Sulit untuk tidak merasakan bau inferioritas inlander dalam strategi impor-imporan ini :(
Tuesday, April 16, 2019
BELAJAR MEMILIH
Anak saya sebenarnya ogah-ogahan diajak ke TPS hari Sabtu kemarin. Supaya dia lebih bersemangat, dalam perjalanan saya mengajaknya ngobrol tentang pemilu.
Monday, March 18, 2019
Menghapus Ujian Nasional
Oleh: Anindito Aditomo
Mumpung isunya sedang hangat, saya ingin membahas Ujian Nasional (UN) dan evaluasi pendidikan secara lebih umum. Banyak pemerhati pendidikan yang sudah sejak lama mengkritik UN, termasuk saya sendiri. Lantas apakah UN sebaiknya dihapus? Jawabannya bukan ya atau tidak, tapi tergantung. Tergantung pada apa? Saya coba uraikan secara singkat.
Yang pertama perlu diingat adalah mengapa UN banyak dikritik. Pada dasarnya, UN dikritik karena berdampak buruk pada proses belajar-mengajar. UN menyempitkan perhatian sekolah pada pelajaran-pelajaran tertentu. Pelajaran lain seperti seni dan olahraga sering menjadi anak tiri. UN juga cenderung mendorong penggunaan metode pengajaran yang dangkal dan berorientasi hafalan. Ini sebenarnya bukan hanya persoalan UN saja, tetapi soal terlalu luasnya materi kurikulum yang harus tercakup dalam UN. Karena cakupan materi yang sangat luas, UN mendorong guru untuk kebut-kebutan „menuntaskan materi“. Selain itu, sifat UN yang “high stakes” mendorong sebagian siswa, orangtua, guru, dan sekolah untuk melakukan kecurangan.
Dengan memahami alasan kritik terhadap UN ini, kita bisa mengajukan pertanyaan yang sedikit berbeda. Yang perlu dipikirkan bukan apakah UN harus dihapus atau tidak, melainkan apakah penghapusan UN akan membantu menghilangkan dampak-dampak buruk tersebut? Mari berkaca pada pengalaman.
Pemerintah sebenarnya sudah pernah menghapus UN. Ya, UN pada level Sekolah Dasar baru beberapa tahun yang lalu dihapus. Apa yang terjadi? UN sekedar diganti dengan Ujian Daerah. Siswa dan guru SD tetap menghadapi ujian terstandar yang dibuat oleh pihak eksternal. Mutu ujiannya pun belum tentu lebih baik. Dugaan saya, justru menjadi lebih buruk karena kompetensi pembuat Ujian Daerah yang rata-rata di bawah kompetensi tim pembuat UN. Hasilnya, mutu belajar-mengajar SD tidak menjadi lebih baik.
Sunday, January 6, 2019
Bagaimana Seharusnya Sejarah Diajarkan?
Oleh: Anindito Aditomo
Saturday, January 5, 2019
Kurikulum Bencana, Bencana Kurikulum
Oleh: Anindito Aditomo
Tuesday, November 13, 2018
Pandangan Guru dan Dosen tentang Keterampilan Abad 21
Apa itu 21st century learning?
Dalam survei mereka, Mishra dan Mehta (2017) hendak memotret pandangan guru mengenai 21st century learning alias belajar di abad 21 (selanjutnya saya singkat "21-CL"). Menurut guru, apa yang penting dipelajari atau dikuasai oleh siswa di abad ke-21? Untuk membantu menjawab pertanyaan ini, mereka perlu merumuskan apa itu 21-CL terlebih dahulu. Rumusan tersebut diperoleh dari sintesis atas 15 dokumen kunci karya peneliti terkemuka (Howard Gardner, Yong Zhao), penulis populer (Daniel Pink), organisasi pendidikan (Partnership for 21st Century Skills, Center for Public Education), dan lembaga internasional (OECD, Uni Eropa).
Monday, November 12, 2018
Tantangan Publikasi Mahasiswa S3 di Cina
Kemarin saya membaca artikel menarik tentang dunia publikasi akademik di Cina. Artikel tersebut menceritakan pengalaman, atau lebih tepatnya kesulitan, yang dialami mahasiswa doktoral di negeri terpadat di dunia itu. Beberapa tahun yang lalu, sebagian besar universitas di Cina menjadikan publikasi artikel jurnal sebagai salah satu syarat kelulusan untuk tingkat doktoral. Jurnalnya pun harus yang terdaftar di "C-List" sebagai jurnal nasional Cina. [Catatan: Saya coba mencari C-List ini tapi masih belum menemukannya di internet.]
Menurut artikel yang saya kutip di atas, Cina mengakui sekitar 550 publikasi sebagai jurnal nasional. Jumlah mahasiswa doktoralnya ada lebih dari 362 ribu orang, yang masing-masing harus menerbitkan 2 artikel jurnal nasional untuk bisa lulus. Apa artinya? Untuk memaknai angka-angka ini, kita perlu membuat sejumlah asumsi.
Thursday, November 1, 2018
Membaca Riset Pendidikan: Pelajaran dari PISA Soal Kesenjangan Pendidikan
Berikut beberapa hal menarik yang saya dapatkan dari pembacaan awal:
1.HIPOTESIS: HARUSKAH SELALU SEJALAN DENGAN TEORI?
Penelitian yang baik selalu merujuk pada teori yang relevan. Dalam hal ini, teori yang dirujuk berbicara mengenai perbaikan mutu pendidikan pada level sistem/negara. (Mutu di sini diartikan secara sempit sebagai rata-rata prestasi akademik siswa di sebuah negara.) Menurut teori tersebut, proses belajar-mengajar perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa. Untuk siswa yang lebih berbakat akademik (berpikir abstrak, konseptual, dst.), sekolah perlu memberi tantangan akademik yang tinggi. Siswa yang kurang berbakat akademik sebaiknya fokus pada bidang-bidang yang lebih praktis. Dalam praktik, gagasan ini kerap diterjemahkan menjadi pemisahan jalur sekolah akademik dan vokasi.
Yang menarik, artikel tidak menyajikan penelitian yang hendak mencari bukti pendukung bagi teori tersebut. Sebaliknya, penelitian dalam artikel ini dilakukan untuk menggugurkan teori tersebut. Ini dilakukan dengan "menembak" salah satu asumsi kunci yang melandasi teori tersebut, yakni asumsi adanya trade off antara mutu/excellence (prestasi rata-rata) dan kesenjangan (variasi prestasi antar siswa). Prestasi akademik yang tinggi mau tak mau harus dicapai dengan berfokus pada siswa yang memang punya potensi akademik baik. Dengan demikian, peningkatan prestasi akademik akan meningkatkan kesenjangan alias jarak antara kelompok siswa yang berprestasi tinggi dengan kelompok di bawahnya. Asumsi inilah yang diuji, dan diharapkan (dihipotesiskan) keliru.
Jadi, riset tidak selalu harus berupaya mengkonfirmasi teori. Niat untuk menggugurkan teori itu sah-sah saja sebagai tujuan penelitian. Justru di sinilah kekhasan ilmu pengetahuan (sains). Dalam sains, teori memang harus bisa dibuktikan keliru, dan penelitian ilmiah justru perlu membuka kemungkinan terjadinya falsifikasi. Ketika ini terjadi, maka tugas selanjutkan adalah mengembangkan teori baru yang dapat menjelaskan data dan fenomena.
2. DATA SEKUNDER LEBIH RENDAH DERAJATNYA DIBANDING DATA PRIMER?
Artikel ini menganalisis data dari PISA (Program for International Student Assessment), survei tiga-tahunan yang dilakukan pada siswa kelas 9-10 di puluhan negara sejak tahun 2000. Indonesia termasuk negara yang menjadi peserta setia survei PISA. Untuk artikel ini, para peneliti menggunakan data PISA tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2012 dari 30 negara maju. Data PISA disediakan oleh OECD (penyelenggara PISA) secara daring di laman yang bisa diakses oleh siapa pun. Artinya, para penulis artikel ini menggunakan data yang dikumpulkan oleh peneliti/lembaga lain, alias data sekunder.
Apakah penggunaan data sekunder mengurangi nilai penelitian dan artikel ini? Menurut saya sih, tidak serta merta demikian. Penelitian dengan data sekunder memiliki plus dan minus, tapi demikian juga dengan penelitian data primer. Yang jelas, disertasi doktor berbagai universitas top dunia cukup banyak yang menggunakan data sekunder. Jurnal-jurnal ilmiah kelas dunia tidak alergi dengan penelitian data sekunder (artikel ini contohnya). Ini berbeda dengan praktik banyak program studi di perguruan tinggi Indonesia yang kerap mengharuskan mahasiswanya menggunakan data primer untuk riset akhir mereka.
3. METODE ANALISIS
Ini bagian yang paling sulit dipahami dari artikel ini. Analisis data skala besar seperti PISA, apalagi jika melibatkan perbandingan puluhan negara dan beberapa periode waktu, menuntut statistik yang canggih. Ini sebagian saja dari metode dan teknik statistik tersebut: item-response theory untuk mendapatkan skor laten, sampling weight untuk mengkoreksi bias pengambilan sampel, pemodelan multi-jenjang (multilevel modelling) untuk data yang memang terklaster (siswa dalam sekolah, dan sekolah dalam negara), dll. Saya sendiri baru mulai belajar dan hanya menguasai sebagian kecil dari teknik yang digunakan artikel ini. Kompleksitas teknik statistik ini yang menjadi penghalang utama penggunaan data survei internasional seperti PISA. Meski bebas diakses siapa pun, tak semua orang punya keahlian yang diperlukan untuk mengolahnya.
Pada level yang lebih umum, pelajaran yang saya petik dari artikel ini adalah soal penggunaan beragam analisis untuk menjawab pertanyaan (menguji hipotesis) yang sama. Para penulis artikel ini berpandangan bahwa sebuah hipotesis perlu diuji dengan berbagai cara. Misalnya, salah satu hipotesis mereka adalah bahwa peningkatan kesenjangan TIDAK berhubungan positif dengan peningkatan prestasi. Hipotesis ini diuji dengan merumuskan 3 indikator kesenjangan dan 3 indikator prestasi (yang masing-masing diwakili oleh 10 skor). Mengapa tidak cukup satu indikator saja? Sebagaimana semua variabel dalam riset, "kesenjangan" adalah konstruk teoretis. Barang gaib, nggak kelihatan. Ia bisa mewujud dalam berbagai bentuk (inilah yang kita sebut sebagai indikator). Pengujian dengan 1 indikator mungkin menghasilkan pola yang berbeda dari indikator lain. Jika hasil pengujian dengan berbagai indikator yang berbeda mengarah pada simpulan yang sama, ketika itulah temuannya disebut "robust" alias kokoh, memiliki derajat kepercayaan yang tinggi.
4. TEMUAN SOAL KESENJANGAN MUTU
Analisis yang super rumit dalam artikel ini menghasilkan temuan yang konsisten dan simpel. Peningkatan kesenjangan justru berkorelasi dengan penurunan prestasi. Negara-negara yang prestasinya meningkat justru sekaligus mengalami penurunan kesenjangan. Dengan kata lain, peningkatan prestasi dan pengurangan kesenjangan berjalan beriringan.
Studi kasus pada negara-negara yang paling besar peningkatan prestasinya, seperti Jerman dan Polandia, menunjukkan bahwa perubahan tersebut dicapai dengan cara menaikkan prestasi siswa yang tadinya berprestasi rendah. Bukan dengan cara membantu siswa yang sudah berpotensi menjadi semakin tinggi prestasinya (seperti diprediksi oleh teori yang hendak digugurkan oleh artikel ini). Di sisi lain, penurunan prestasi rata-rata seperti yang terjadi di Swedia dan Islandia terjadi karena turunnya skor siswa yang tadinya memang lemah. Siswa pada persentil atas tetap menunjukkan prestasi yang tinggi.
Implikasi praktis temuan ini sangat jelas. Jika ingin meningkatkan prestasi, fokus pada mereka yang tadinya berprestasi rendah. Program-program seperti sekolah unggulan, perlombaan antar sekolah, dan pembinaan tim-tim elit untuk mengikuti olimpiade internasional tidak akan efektif untuk mengangkat prestasi secara keseluruhan.
5. TEKNIK PENULISAN
Artikel ini tidak hanya kuat secara metodologis. Penulisannya pun ciamik. Mengingat kompleksitas data dan analisis yang digunakan, sebenarnya tak mudah untuk menuliskan hasilnya agar bisa dipahami pembaca. Para penulisnya berhasil menyajikan temuan dengan sederhana. Abstraknya pun sangat singkat, tidak berpanjang-panjang dengan jargon teknis yang takkan dimengerti 99% pembacanya:
"Research suggests that a country does not need inequity to have high performance. However, such research has potentially suffered from confounders present in between-country comparative research (e.g., latent cultural differences). Likewise, relatively little consideration has been given to whether the situation may be different for high- or low-performing students. Using five cycles of the Programme for International Student Assessment (PISA) database, the current research explores within-country trajectories in achievement and inequality measures to test the hypothesis of an excellence/equity tradeoff in academic performance. We found negative relations between performance and inequality that are robust and of statistical and practical significance. Follow-up analysis suggests a focus on low and average performers may be critical to successful policy interventions." (Parker et al., 2018, p.836-7)
Cara penulisan bagian pengantarnya juga bisa menjadi model untuk ditiru:
"Educational policy aims to maximize educational excellence and reduce inequity. The need to balance these demands is an ongoing concern in social mobility (Burger, 2016), educational attainment (Goldthorpe, 2007), and to a lesser degree, concerns about performance in standardized tests (Checchi, 2006). Our paper is primarily concerned with issues relating to the association between national performance in standardized tests (educational excellence) and the degree of variation in performance within a nation (our measure of educational inequity). It is our hypothesis that greater variance in test scores—greater inequality—will be negatively associated with higher average educational achievement—or higher excellence. We seek to directly challenge views that a country’s educational policies must incorporate some inequality to produce higher average test scores. To test this hypothesis, we consider a range of inequality measures. Unlike previous research, we focus on (a) changes that occur within countries over time and (b) where in the academic achievement distribution the changes occur. In the following sections, we first position our research within the broader domain of educational inequity before outlining competing positions on the excellent/equity tradeoff in educational ability. Finally, we consider what empirical research currently suggests about this debate and the limitations with the existing evidence base that we seek to overcome." (Parker et al., 2018, p.837)
Untuk mengapresiasi cara penulisan paragraf pengantar ini, silakan bandingkan dengan bagian pengantar kebanyakan artikel di jurnal dan tugas akhir yang pernah anda baca.
Ini tautan menuju artikelnya: https://doi.org/10.3102/
Ingin baca tapi tidak punya akses? Be creative :D
Tuesday, October 16, 2018
Debat Medsos dan Karakter Intelektual
Media sosial memang penuh kegaduhan. Kapan lalu ribut soal drama hoaks Ratna Sarumpaet. Lalu soal gempa Palu dan pertemuan IMF. Kemarin tentang dukungan Gojek terhadap karyawan LGBT-nya. Dan karena ini tahun politik, kita akan terus disuguhi berbagai isu panas yang pasti "maknyus" dijadikan bahan keributan baru.
Apakah ini hal yang buruk? Perdebatan di medsos memang kerap menguras energi. Berita bohong, separuh bohong, dan teori-teori konspirasi tak jarang disebarkan di medsos. Dicampur dengan fakta, dibumbui narasi masuk akal, membuat kita mudah percaya. Demikian juga dengan rasisme dan ujaran kebencian, bebas diumbar. Pertengkaran di kolom komentar bisa berlanjut di lapangan atau kamar tidur
Tapi di sisi lain, kegaduhan medsos juga bisa menjadi sarana belajar yang luar biasa. Dari debat tentang penyebab gempa, kita bisa belajar tentang apa itu sesar bumi, tentang kaitan gempa dan tsunami, tentang kearifan lokal dan mengapa hal itu banyak dilupakan. Dari gaduh soal LGBT, kita bisa belajar tentang perbedaan L, G, B, dan T, tentang apa itu orientasi seksual, tentang mengapa homoseksualitas tak lagi digolongkan sebagai gangguan. Dari geger hoaks Ratna Sarumpaet, kita jadi tahu bahwa oplas itu singkatan dari operasi plastik dan biayanya enggak murah
Persoalannya memang harus diakui bahwa berbagai debat seringkali sekedar memuaskan ego dengan mengejek mereka yang pendapatnya tak kita sukai. Kalau pun belajar, maka itu belajar dalam arti menambah informasi yang menguatkan pandangan kita saja. Tidak benar-benar belajar dalam arti menjadi punya cara pandang yang berbeda dan lebih kaya tentang apa yang diperdebatkan.