Ketika menyiapkan materi pelatihan pembelajaran untuk dosen baru di kampus, saya kebetulan menemukan wawancara singkat yang menarik dengan Dylan William. Beliau adalah seorang profesor emiritus di Universitas London yang telah meneliti tentang asesmen formatif sejak pertengahan 1980an. Namun yang menarik dari wawancara ini bukan tentang asesmen formatif, melainkan refleksinya tentang pendidikan guru dan praktik pengajaran.
Prof. William mengatakan bahwa sebagian besar guru sudah selesai belajar tentang cara mengajar sebelum menginjak usia 18 tahun. Dengan kata lain, semua calon guru sebenarnya sudah menjalani “magang” atau kerja praktik selama mereka menjadi siswa. Tentu, sebagian besar guru pernah mengenyam 4-5 tahun kuliah di fakultas keguruan. Namun bandingkan pengetahuan yang didapat dari kuliah itu dengan pengetahuan (implisit namun konkret) tentang proses belajar mengajar sebagai hasil dari “magang” sebagai siswa selama 12-13 tahun. Menurut Prof. William, pengetahuan yang kedua inilah yang lebih berpengaruh pada cara mengajar seorang guru.
Pengetahuan yang didapat guru melalui kuliah keguruan bersifat deklaratif – kumpulan pernyataan yang eksplisit sekaligus abstrak. Misalnya, bahwa proses belajar bersifat aktif, bahwa tiap siswa memiliki bakat dan minat masing-masing, dan seterusnya. Pengetahuan deklaratif semacam ini mudah diuji, namun sulit diterapkan karena biasanya dipelajari bukan dalam konteks problem atau situasi nyata. Pengetahuan deklaratif mudah “dilaporkan” secara sadar (dalam ujian, misalnya), namun kerap mandul dalam situasi pemecahan masalah yang nyata.
Sebaliknya, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman langsung sebagai siswa bersifat implisit sekaligus kontekstual. Sebagai contoh, sebagai siswa kita terbiasa melihat guru ketika mengajar melontarkan pertanyaan tertutup yang bisa dengan mudah dijawab dengan satu atau dua kata. Bila siswa yang ditunjuk memberi jawaban, guru kemudian biasanya merespon dengan evaluasi singkat (“bagus”, “betul”), sebelum beralih ke pertanyaan atau topik lain. Bila siswa yang semula ditunjuk tidak menjawab, guru biasanya dengan sangat segera mengalihkan pertanyaan pada siswa lain. Pola interaksi seperti ini terekam secara implisit sebagai skrip perilaku yang dapat digunakan pada situasi serupa. Inilah pengetahuan yang saya sebut sudah “mendarah daging”. Dalam situasi mengajar yang memerlukan respon atau keputusan cepat, pengetahuan implisit seperti ini jauh lebih mudah digunakan ketimbang pengetahuan abstrak tentang pedagogi yang didapat melalui kuliah.
Poin yang disampaikan Prof. William ini relevan untuk perancangan pelatihan pembelajaran untuk dosen atau guru. Sekedar tahu prinsip pembelajaran atau teknik pengajaran sama sekali tidak cukup. Misalnya, kita bisa memberitahu seorang guru tahu bahwa ia perlu memberi waktu lebih lama bagi siswa untuk memikirkan dan merumuskan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan. Atau bahwa ia perlu lebih sering melontarkan pertanyaan terbuka. Cukup sampaikan saja informasi ini, beserta argumen bahwa pertanyaan terbuka dan waktu tunggu yang lebih lama akan membuat dialog lebih hidup dan menuntut siswa berpikir lebih mendalam. Sebagian besar guru akan setuju dengan hal ini, bahkan mungkin sudah mengetahuinya. Namun yang sulit adalah membantu guru untuk menerapkan strategi tersebut. Kata Prof. William, ini sama sulitnya dengan meminta seorang pemain golf mengubah caranya mengayun tongkat di tengah sebuah pertandingan.
Konsekuensinya, perbaikan kualitas pembelajaran tidak sulit dilakukan melalui pelatihan-pelatihan yang sekedar membuat guru mengetahui prinsip-prinsip dasar dan teknik-teknik pembelajaran. Apalagi bila pelatihan tersebut dilakukan di ruang pertemuan sebuah hotel dengan puluhan peserta, dan disampaikan melalui ceramah konvensional.
Referensi: wawancara Dylan William di http://www.youtube.com/watch?v=hiu-jY-xaPg
Monday, October 28, 2013
Thursday, May 23, 2013
Kecerdasan bisa Dikembangkan!
Update: Hasil penelitian saya mengenai mindset tentang kecerdasan telah terbit di International Journal of Educational Psychology (Vol. 4, No. 2, tahun 2015).
Bila diminta membayangkan sosok yang cerdas, siapa yang muncul di benak Anda? Banyak orang akan membayangkan ilmuwan terkenal seperti Albert Einstein atau B.J. Habibie, atau kenalan dan saudarayang punya prestasi cemerlang di sekolah. Gambaran ini tidak salah. Kecerdasan memang identik dengan kemampuan intelektual yang tercermin dalam prestasi dibidang ilmu pengetahuan.
Pertanyaannya, apakah kemampuan intelektual bisa berubah? Kita semua pasti pernah punya temanyang dianggap kurang cerdas, yang kerap kesulitan mengikuti pelajaran disekolah. Atau mungkin kita sendiri pernah dianggap sebagai orang dengan kemampuan intelektual yang kurang. Dapatkah orang seperti ini menjadi lebih cerdas melalui usaha dan proses belajar? Bertambah cerdas di sini bukan hanya bertambah pengetahuan, melainkan benar-benar menjadi punya kemampuan intelektual yang lebih daripada sebelumnya.
Sebagian darikita mungkin ragu bahwa siswa yang tadinya terseok-seok mencerna pelajaran, di kemudian hari bisa menjadi “berotak encer” dan bersinar di sekolah. Bukankah kecerdasan itu potensi dasar yang terberi, yang ditentukan sejak lahir? Seseorang bisa saja mempelajari hal-hal baru, tapi kapasitas dasarnya untuk belajar itu sendiri tidak akan banyak berubah. Mungkin Anda merasa bahwa kecerdasan adalah semacam bakat untuk bidang akademik. Dan sebagaimana bakat-bakat bidang lain, kecerdasan adalah potensi yang bisa diolah, namun “volumenya” tidak bertambah. Seseorang dengan kecerdasan pas-pasan perlu usaha lebih keras untuk mencapai prestasi akademik yang baik, dibandingkan seseorang yang memang dari "sononya" sudah cerdas!
Namun apakah asumsi-asumsi ini sejalan dengan hasil penelitian tentang kecerdasan? Untuk menjawabnya, pertama-tama kita perlu menilik dahulu apa yang dimaksud dengan kecerdasan. Dalam ilmu psikologi, istilah yang kerap dikaitkan dengan kecerdasan adalah “inteligensi”. Pada awal abad ke-20, pemerintah Perancis meminta seorang ahli psikologi bernama Alfred Binet membuat tes guna mengidentifikasi siswa yang kemungkinan besar akan mengalami kesulitan mengikuti pelajaran sekolah. Tes buatan Binet ini kemudian disebut sebagai tes inteligensi, dan hasilnya disebut sebagai skor IQ (intelligence quotient).
Setelah Binet, banyak ahli psikologi yang juga mengembangkan tes inteligensi. Pada umumnya, tes-tes inteligensi mengukur kemampuan berpikir secara analitik dengan angka (numerik), kata-kata (verbal), dan/atau visual (ruang dan gambar). Berpikir analitik merujuk pada proses mencari relasi, mengidentifikasi pola, dan menggolong-golongkan objek secara efisien (cepat) dan sistematis. Salah satu cara mengukur kemampuan berpikir analitik adalah memberi seseorang serangkaian bentuk, kemudian memintanya menebak bentuk apa yang secara logis menjadi kelanjutan dari rangkaian tersebut. Cara lain adalah dengan menanyakan kesamaan antara dua konsep, misalnya “pena” dan“pensil”.
Skor IQ memang memprediksi keberhasilan siswa di sekolah. Tampaknya skor IQ juga sulit untuk ditingkatkan secara signifikan. Selain itu, pengaruh faktor keturunan pada skor inteligensi cukup kuat. Kembali ke pertanyaan utama esai ini, apakah berarti kecerdasan kita tidak bisa diubah? Apakah keberhasilan seseorang di sekolah semata-mata masalah “nasib”? Untungnya, jawabannya tidaklah sesuram itu!
Pertama, skor IQ memang memprediksi prestasi sekolah (dan juga prestasi kerja di berbagai bidang), tapi daya prediksinya tidaklah sebesar yang kerap diasumsikan. Untuk prestasi di sekolah, keterampilan belajar seperti cara mencerna bacaan atau kuliah, cara menyiapkan ujian, serta kemampuan menyampaikan gagasan punya andil yang sama atau bahkan lebih besar daripada IQ. Demikian juga untuk prestasi kerja, faktor-faktor seperti seperti kemampuan interpersonal, kemahiran berkomunikasi, dan pengetahuan memiliki sumbangan yang lebih besar daripada IQ.
Kedua, skor IQ hanya mencerminkan bagian kecil dari kecerdasan, yakni aspek kecerdasan yang berguna untuk sekolah. Ahli-ahli kognitif seperti Robert Sternberg dan Keith Stanovich menyatakan bahwa aspek-aspek kecerdasan yang berguna dalam kehidupan justru tidak diukur oleh tes IQ. Stanovich menyebutkan dua keterampilan berpikir yang berguna untuk problem solving di banyak konteks, namun tidak diukur oleh IQ.
Yang pertama adalah kebiasaan mencermati dan mendefinisikan masalah secara menyeluruh dan seksama. Kebanyakan orang, termasuk mereka yang ber-IQ tinggi, kerap terjebak untuk memilih jalan singkat dan cepat untuk menyelesaikan persoalan. Padahal, cara cepat dan singkat itu seringkali tidak optimal. Kecenderungan ini tampak dalam cara orang menyelesaikan problem-problem sederhana seperti ini:
“Dina membeli sepatu dan kaus kaki.Ia membayar $110 untuk kedua hal itu. Harga sepatu $100 lebih mahal daripadakaus kaki. Berapa harga sepatu tersebut?”
Kalau Anda seperti saya dan banyak orang lain, maka jawaban yang terpikir pertama adalah angka $100. Tapi ini keliru. Cobalah pikirkan dengan lebih hati-hati. Poin saya adalah bahwa kekeliruan ini merupakan hasil dari kecenderungan alami manusia untuk tergesa-gesa dalam merumuskan masalah yang dihadapi.
Kedua, aspek kecerdasan yang tidak diukur oleh IQ adalah kemampuan untuk menangguhkan asumsi, preferensi, dan keyakinan personal ketika menghadapi masalah. Kebanyakan orang, termasuk yang ber-IQ sangat tinggi, sering bias dalam mengevaluasi pendapat/situasi dan karena itu kerap mengambil keputusan berdasarkan evaluasi tersebut. Ambil contoh berita yang akhir-akhir marak mengenai korupsi yang melibatkan petinggi sebuah partai politik cukup besar. Banyak simpatisan partai tersebut yang menilai bahwa Komisi PemberantasanKorupsi (KPK) "berlebihan" dalam menyidik yang terlibat, dan lunak pada partai lain yang juga tersandung kasus korupsi. Namun mereka yang bukan simpatisan dapat menilai bahwa KPK sudah bertindak dalam koridor hukum.
Kedua keterampilan berpikir di atas ini tidak berkorelasi (atau berkorelasi lemah) dengan inteligensi (IQ). Berita bagusnya, keduanya dapat dilatih dan ditingkatkan. Dengan demikian, kecerdasan dan prestasi sekolah bukanlah masalah nasib semata!
Referensi:
1. Stanovich, K. E. (2009,Nov/Dec). The thinking that IQ tests miss. Scientific American Mind, 20(6), 34-39.
2. Sternberg, R. (1984). Beyond IQ: A Triarchic Theory of Intelligence. Cambridge: University of Cambridge Press.
x
Monday, April 22, 2013
Ujian Nasional dan Hakekat Pendidikan
Misalkan ada momok di sekolah yang membuat anak Anda cemas berkepanjangan, malas berpikir mendalam tentang banyak mata pelajaran, enggan membaca buku-buku yang meluaskan wawasannya, dan tak punya waktu untuk mempelajari apa yang ia minati, apa yang akan Anda lakukan? Yang paling mudah tentu berharap hal ini hanyalah sebuah perumpamaan. Sayang seribu sayang, momok tersebut sungguh nyata. Ia hadir dalam bentuk hajat tahunan bangsa ini: Ujian Nasional.
Anda yang membaca koran dan melihat TV pasti sudah mahfum bahwa runyamnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini telah menggegerkan seantero negeri. Distribusi soal yang amburadul membuat belasan provinsi menunda ujian. Jumlah lembar soal yang kurang membuat sebagian siswa terpaksa menggunakan lembar soal hasil fotokopi. Di beberapa daerah, rumitnya sistem paket ujian mengakibatkan tertukarnya lembar soal. Muncul pula isu jual beli kunci ujian – meski hal ini lebih banyak dibicarakan di bawah radar, melalui bisik-bisik antar guru dan keluh kesah di media sosial. Inkompetensi pemerintah dalam pelaksaan UN ini membuat banyak orang marah. Sebagian mendesak menteri pendidikan untuk mundur, sebagian lagi menduga ada korupsi dalam tender pencetakan soal dan kebocoran ujian.
Untuk memahami mengapa UN justru merusak, kita perlu menengok kedudukannya sebagai sistem asesmen. Berdasar fungsinya, asesmen bisa dibagi menjadi dua: asesmen formatif yang membantu proses belajar, dan asesmen sumatif untuk mengevaluasi hasil belajar. Mudah diduga, UN tergolong asesmen sumatif. Hasilnya (seharusnya) digunakan oleh pemerintah guna memetakan kualitas sekolah, dan oleh stakeholder lain yang akan menggunakan lulusan sekolah (seperti perusahaan yang mencari tenaga kerja atau panitia seleksi perguruan tinggi).
Poin pentingnya, UN memang tidak dirancang untuk memperbaiki proses belajar-mengajar di kelas. Luaran UN hanya berupa angka, tanpa deskripsi pemahaman dan kesalahpahaman siswa. Ujian juga diselenggarakan di akhir tahun ajaran, sehingga tak memungkinkan guru memperbaiki cara pengajarannya. UN bisa dianggap sebagai ukuran kasar dari tingkat pemahaman siswa tentang beberapa mata pelajaran di sekolah. Dan karena terstandar, hasilnya bisa digunakan untuk pemetaan, untuk membandingkan kualitas sekolah secara kasar. Tapi ia tidak bisa digunakan secara langsung untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran.
Dengan kata lain, pemetaan dan peningkatan kualitas pendidikan adalah dua hal yang harus dipisahkan. Pemetaan dengan data UN bisa digunakan sebagai informasi untuk perbaikan kualitas. Namun perbaikan kualitas itu sendiri harus dicapai melalui faktor lain seperti kompetensi guru dan iklim akademik sekolah.
Atau sebaliknya, jangan-jangan yang dilecut oleh UN adalah ketakutan akan ketidaklulusan? Jangan-jangan guru justru melihat UN sebagai momok yang memaksa mereka hanya mengajarkan materi yang akan diujikan? Sayangnya, kemungkinan kedua inilah yang terjadi. Tak perlu menjadi ahli pendidikan untuk melihat gejala-gejalanya: lihat saja betapa maraknya lembaga bimbingan belajar, dramatisnya doa-doa bersama, beragamnya upaya klenik untuk meningkatkan nilai, banyaknya siswa yang stres menghadapi UN, dan berbagai cerita kebocoran kunci jawaban.
Semua ini terkait dengan sifat UN sebagai asesmen dengan pertaruhan besar (high-stakes). Nilai UN menentukan persepsi atas kompetensi guru, yang pada gilirannya menentukan jumlah dan kualitas siswa yang memilih sekolah tersebut. Bagi siswa, nilai UN menentukan tidak saja kelulusan, tapi juga kemungkinan masuk sekolah dan universitas favorit. Bagi banyak siswa – terutama dari keluarga miskin – kegagalan UN akan menutup kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Singkat kata, yang dipertaruhkan dalam UN adalah masa depan itu sendiri!
Dengan demikian, respon-respon negatif terhadap high-stakes test tidaklah mengejutkan. Penjelasannya sederhana: bila pertaruhannya begitu besar, siswa dan guru yang merasa tidak mampu untuk memenuhi standar yang ditetapkan akan menempuh segala cara untuk lulus. Dan banyak hal berkonspirasi untuk membuat banyak siswa merasa tak mampu lulus: mulai dari infrastruktur fisik yang tak layak, latar belakang sosial ekonomi, dan rendahnya kompetensi banyak guru. Sekali lagi, sesungguhnya tidak mengherankan bila banyak yang berpaling pada cara-cara praktis, mistik, dan bahkan ilegal untuk meningkatkan nilai UN.
Yang pertama dan sudah kerap disebut adalah kemampuan untuk belajar sepanjang hayat. Ini mencakup kecakapan untuk mendeteksi keterbatasan pengetahuan diri sendiri, untuk mencari dan mensintesis informasi baru, dan untuk memotivasi diri untuk melakukannya. Yang kedua, dan yang masih jarang disinggung, terkait dengan nilai-nilai intelektual seperti apresiasi akan ilmu, penghargaan akan proses merumuskan pertanyaan dan mencari jawaban secara sistematis, kekaguman terhadap buah pemikiran cerdik cendekia kontemporer ataupun yang hidup di masa lalu, kepuasan yang spontan terasa ketika mata batin terbuka untuk memahami hal baru.
Bagi saya, kedua hal ini lebih dekat pada hakekat pendidikan: pendewasaan personal serta pencerahan pikiran dan hati melalui ilmu pengetahuan. Dan pengembangan nilai-nilai intelektual ini adalah tugas unik yang diemban sekolah: tak ada institusi sosial lain yang bisa atau bertugas melakukannya. Bila ini yang kita kehendaki bersama, maka momok bernama UN harus dihapus.
(Keterangan: pertama dipublikasikan di http://jakartabeat.net/kolom/konten/ujian-nasional-dan-hakikat-pendidikan)
Anda yang membaca koran dan melihat TV pasti sudah mahfum bahwa runyamnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini telah menggegerkan seantero negeri. Distribusi soal yang amburadul membuat belasan provinsi menunda ujian. Jumlah lembar soal yang kurang membuat sebagian siswa terpaksa menggunakan lembar soal hasil fotokopi. Di beberapa daerah, rumitnya sistem paket ujian mengakibatkan tertukarnya lembar soal. Muncul pula isu jual beli kunci ujian – meski hal ini lebih banyak dibicarakan di bawah radar, melalui bisik-bisik antar guru dan keluh kesah di media sosial. Inkompetensi pemerintah dalam pelaksaan UN ini membuat banyak orang marah. Sebagian mendesak menteri pendidikan untuk mundur, sebagian lagi menduga ada korupsi dalam tender pencetakan soal dan kebocoran ujian.
UN Sebagai Asesmen Pendidikan
Di tengah kehebohan ini, ada baiknya kita berpikir lebih mendasar tentang UN. Andaikan UN dilaksanakan dengan profesional, dan andaikan semua yang terlibat bisa dibuat jujur sehingga tidak ada kebocoran soal, apakah UN sebaiknya diselenggarakan secara rutin di kelas 6, 9 dan 12 seperti saat ini? Jawabannya tidak. Sistem UN yang sekarang diterapkan – sesempurna apapun teknis pelaksanaannya – telah dan akan terus merusak pendidikan.Untuk memahami mengapa UN justru merusak, kita perlu menengok kedudukannya sebagai sistem asesmen. Berdasar fungsinya, asesmen bisa dibagi menjadi dua: asesmen formatif yang membantu proses belajar, dan asesmen sumatif untuk mengevaluasi hasil belajar. Mudah diduga, UN tergolong asesmen sumatif. Hasilnya (seharusnya) digunakan oleh pemerintah guna memetakan kualitas sekolah, dan oleh stakeholder lain yang akan menggunakan lulusan sekolah (seperti perusahaan yang mencari tenaga kerja atau panitia seleksi perguruan tinggi).
Poin pentingnya, UN memang tidak dirancang untuk memperbaiki proses belajar-mengajar di kelas. Luaran UN hanya berupa angka, tanpa deskripsi pemahaman dan kesalahpahaman siswa. Ujian juga diselenggarakan di akhir tahun ajaran, sehingga tak memungkinkan guru memperbaiki cara pengajarannya. UN bisa dianggap sebagai ukuran kasar dari tingkat pemahaman siswa tentang beberapa mata pelajaran di sekolah. Dan karena terstandar, hasilnya bisa digunakan untuk pemetaan, untuk membandingkan kualitas sekolah secara kasar. Tapi ia tidak bisa digunakan secara langsung untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran.
Dengan kata lain, pemetaan dan peningkatan kualitas pendidikan adalah dua hal yang harus dipisahkan. Pemetaan dengan data UN bisa digunakan sebagai informasi untuk perbaikan kualitas. Namun perbaikan kualitas itu sendiri harus dicapai melalui faktor lain seperti kompetensi guru dan iklim akademik sekolah.
Efek Samping High-stakes Test
Para pendukung UN mungkin akan menyangkal: bukankah UN membuat guru mengajar lebih serius dan memotivasi siswa untuk belajar? Sepintas argumen ini masuk akal, tapi mari kita dicermati. Benarkah UN membuat siswa bergairah belajar, memuaskan rasa ingin tahu, dan meluaskan wawasan? Apakah UN mendorong guru menjadi inovatif dalam mengajar, untuk mengembangkan kemampuan siswa berpikir analitik dan kreatif?Atau sebaliknya, jangan-jangan yang dilecut oleh UN adalah ketakutan akan ketidaklulusan? Jangan-jangan guru justru melihat UN sebagai momok yang memaksa mereka hanya mengajarkan materi yang akan diujikan? Sayangnya, kemungkinan kedua inilah yang terjadi. Tak perlu menjadi ahli pendidikan untuk melihat gejala-gejalanya: lihat saja betapa maraknya lembaga bimbingan belajar, dramatisnya doa-doa bersama, beragamnya upaya klenik untuk meningkatkan nilai, banyaknya siswa yang stres menghadapi UN, dan berbagai cerita kebocoran kunci jawaban.
Semua ini terkait dengan sifat UN sebagai asesmen dengan pertaruhan besar (high-stakes). Nilai UN menentukan persepsi atas kompetensi guru, yang pada gilirannya menentukan jumlah dan kualitas siswa yang memilih sekolah tersebut. Bagi siswa, nilai UN menentukan tidak saja kelulusan, tapi juga kemungkinan masuk sekolah dan universitas favorit. Bagi banyak siswa – terutama dari keluarga miskin – kegagalan UN akan menutup kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Singkat kata, yang dipertaruhkan dalam UN adalah masa depan itu sendiri!
Dengan demikian, respon-respon negatif terhadap high-stakes test tidaklah mengejutkan. Penjelasannya sederhana: bila pertaruhannya begitu besar, siswa dan guru yang merasa tidak mampu untuk memenuhi standar yang ditetapkan akan menempuh segala cara untuk lulus. Dan banyak hal berkonspirasi untuk membuat banyak siswa merasa tak mampu lulus: mulai dari infrastruktur fisik yang tak layak, latar belakang sosial ekonomi, dan rendahnya kompetensi banyak guru. Sekali lagi, sesungguhnya tidak mengherankan bila banyak yang berpaling pada cara-cara praktis, mistik, dan bahkan ilegal untuk meningkatkan nilai UN.
Hakekat Pendidikan
Tapi bagaimana jika pemerintah bisa membuat semua orang jujur sehingga tidak ada kecurangan sedikit pun dalam UN? Paling tidak, bukankah ini akan memaksa siswa untuk mempelajari materi yang diujikan? Memang betul. Tapi bukan ini hakekat pendidikan. Tujuan utama sekolah bukanlah membuat siswa tahu tentang sekumpulan topik yang ditetapkan oleh pemerintah. Ada hal-hal yang lebih penting daripada itu.Yang pertama dan sudah kerap disebut adalah kemampuan untuk belajar sepanjang hayat. Ini mencakup kecakapan untuk mendeteksi keterbatasan pengetahuan diri sendiri, untuk mencari dan mensintesis informasi baru, dan untuk memotivasi diri untuk melakukannya. Yang kedua, dan yang masih jarang disinggung, terkait dengan nilai-nilai intelektual seperti apresiasi akan ilmu, penghargaan akan proses merumuskan pertanyaan dan mencari jawaban secara sistematis, kekaguman terhadap buah pemikiran cerdik cendekia kontemporer ataupun yang hidup di masa lalu, kepuasan yang spontan terasa ketika mata batin terbuka untuk memahami hal baru.
Bagi saya, kedua hal ini lebih dekat pada hakekat pendidikan: pendewasaan personal serta pencerahan pikiran dan hati melalui ilmu pengetahuan. Dan pengembangan nilai-nilai intelektual ini adalah tugas unik yang diemban sekolah: tak ada institusi sosial lain yang bisa atau bertugas melakukannya. Bila ini yang kita kehendaki bersama, maka momok bernama UN harus dihapus.
(Keterangan: pertama dipublikasikan di http://jakartabeat.net/kolom/konten/ujian-nasional-dan-hakikat-pendidikan)
Saturday, March 9, 2013
Ceramah (tak selalu) buruk
Ketika pertama kali mengajar, saya termasuk dosen yang mengandalkan ceramah sebagai metode utama. Mungkin karena itulah metode yang paling saya kenal. Lagipula, sebagai siswa, saya merasa bisa belajar banyak dari ceramah yang disampaikan dengan baik. Hakekat mengajar, dalam bayangan saya ketika itu, adalah memahami sesuatu (konsep, informasi) kemudian menyampaikannya dengan jernih kepada mereka yang belum memahaminya.
Karena itu saya berasumsi bahwa ceramah boleh saja digunakan, dengan syarat bahwa si penceramah menguasai materi dan bisa menyajikannya dengan sistematis. Saya pun berusaha untuk memperdalam pemahaman tentang materi ajar, memikirkan contoh-contoh aplikasi, serta merangkai informasi tersebut sebagai presentasi yang menarik.
Semester pertama mengajar saya boleh dikatakan gagal: di akhir semester banyak mahasiswa yang tidak memahami konsep-konsep penting yang saya ajarkan. Saya pun berusaha memperdalam pemahaman saya atas materi ajar. Saya juga mengevaluasi cara penyampaian: barangkali ada urutan penyampaian informasi yang lebih memudahkan siswa menangkap pesan, atau ada gambar, film, atau hal lain yang bisa membuat mahasiswa lebih tertarik. Namun betapa kecewa saya ketika tahu bahwa hasilnya tak jauh beda: banyak mahasiswa yang tidak memahami inti konsep-konsep penting, ataupun menggunakan konsep-konsep itu untuk menganalisis fenomena. Setelah beberapa semester merasa gagal, saya mulai bertanya-tanya, jangan-jangan saya tidak memang berbakat menjadi pengajar?
Sebelum rasa frustrasi berubah menjadi depresi, untunglah saya lantas mendapat beasiswa di Sydney University, Australia, untuk mempelajari ilmu pembelajaran (learning sciences). Prinsip pokok dari ilmu pembelajaran pasti tak asing bagi sebagian besar guru: yakni bahwa belajar adalah proses yang aktif, bahwa pengetahuan tidak bisa ditransfer dari satu kepala ke kepala orang lain. Dan persis di sinilah kesalahan saya sebagai pengajar. Saya berasumsi bahwa pengetahuan dapat ditransfer melalui ceramah. Bahwa efektivitas ceramah bergantung pada seberapa pandai saya mengemas pengetahuan yang akan saya "transfer". Dengan kata lain, berhasil tidaknya ceramah tergantung pada kemahiran pengajar.
Namun bila proses belajar dipahami sebagai proses aktif, maka kita akan melihatnya dengan berbeda. Penentu utama efektivitas ceramah bukanlah guru, melainkan apa yang dilakukan siswa itu sendiri! Sehebat apa pun guru berceramah, semenarik apa pun contoh yang diberikan, selucu apa pun bumbu humor yang diselipkan dalam ceramah, bila siswa tidak berpikir dengan aktif, ia tidak akan mendapatkan pengetahuan baru.
Apakah berarti ceramah tak bisa efektif? Tidak juga. Mendengarkan ceramah tidak identik dengan kepasifan. Sebagian siswa mendengarkan ceramah sambil berpikir keras. Mereka memproses informasi secara mendalam, memikirkan contoh konkret dari konsep yang baru didengar, serta mengaitkan konsep tersebut dengan konsep-konsep yang mereka pelajari di kelas lain. Tak hanya itu, siswa-siswa ini juga memonitor proses kognitif mereka sendiri. Melalui aktivitas metakognitif ini mereka menyadari apa yang mereka pahami, dan juga apa yang masih membingungkan. Dengan demikian, mereka tahu kapan perlu bertanya dan mencari informasi lebih lanjut.
Bagi siswa-siswa seperti ini, ceramah memang metode yang efektif untuk belajar. Persoalannya adalah, seberapa banyak siswa yang secara otomatis memproses informasi secara mendalam ketika mendengar ceramah? Dari pengalaman, rasanya tidak banyak. Jadi, biasanya ceramah hanya efektif untuk sebagian kecil siswa. Untuk sebagian besar siswa, ceramah tidak memicu proses berpikir yang produktif. Mereka memerlukan metode pengajaran yang lebih student-centred (berpusat pada siswa), yang "memaksa" mereka untuk berpikir. Metode pengajaran yang student-centred, bila dijalankan dengan baik, dapat membuat siswa yang biasaya pasif menjadi aktif berpikir.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan satu hal: bahwa guru yang pandai berceramah biasanya membuat siswa MERASA mengerti. Mereka mengangguk-anggukkan kepala mendengar contoh-contoh yang menarik, tertawa mendengar guyonan-guyonan yang dilontarkan. Bahayanya adalah, perasaan mengerti ini seringkali hanyalah ilusi. Ada perbedaan mendasar antara mengerti informasi yang kita dengar, dan kemampuan menggunakan informasi tersebut untuk melakukan kerja intelektual seperti menjelaskan dan menganalisis fenomena. Pencampuran keduanya oleh siswa disebut sebagai "illusion of understanding".
Bila siswanya mengalami illusion of understanding, guru yang pandai berceramah rentan mengalami "illusion of successful teaching"! Merasa berhasil, padahal bila siswa diminta untuk menggunakan konsep untuk menganalisis kasus atau fenomena baru, hanya sebagian kecil yang bisa. Seberapa sering Anda mengalami ilusi ini?
Referensi: Chi, M.T.H., Bassok, M., Lewis, M.W., Reimann, P., & Glaser, R. (1989). Self explanations: How students study and use examples in learning to solve problems. Cognitive Science, 13(2), 145-182.
Karena itu saya berasumsi bahwa ceramah boleh saja digunakan, dengan syarat bahwa si penceramah menguasai materi dan bisa menyajikannya dengan sistematis. Saya pun berusaha untuk memperdalam pemahaman tentang materi ajar, memikirkan contoh-contoh aplikasi, serta merangkai informasi tersebut sebagai presentasi yang menarik.
Semester pertama mengajar saya boleh dikatakan gagal: di akhir semester banyak mahasiswa yang tidak memahami konsep-konsep penting yang saya ajarkan. Saya pun berusaha memperdalam pemahaman saya atas materi ajar. Saya juga mengevaluasi cara penyampaian: barangkali ada urutan penyampaian informasi yang lebih memudahkan siswa menangkap pesan, atau ada gambar, film, atau hal lain yang bisa membuat mahasiswa lebih tertarik. Namun betapa kecewa saya ketika tahu bahwa hasilnya tak jauh beda: banyak mahasiswa yang tidak memahami inti konsep-konsep penting, ataupun menggunakan konsep-konsep itu untuk menganalisis fenomena. Setelah beberapa semester merasa gagal, saya mulai bertanya-tanya, jangan-jangan saya tidak memang berbakat menjadi pengajar?
Sebelum rasa frustrasi berubah menjadi depresi, untunglah saya lantas mendapat beasiswa di Sydney University, Australia, untuk mempelajari ilmu pembelajaran (learning sciences). Prinsip pokok dari ilmu pembelajaran pasti tak asing bagi sebagian besar guru: yakni bahwa belajar adalah proses yang aktif, bahwa pengetahuan tidak bisa ditransfer dari satu kepala ke kepala orang lain. Dan persis di sinilah kesalahan saya sebagai pengajar. Saya berasumsi bahwa pengetahuan dapat ditransfer melalui ceramah. Bahwa efektivitas ceramah bergantung pada seberapa pandai saya mengemas pengetahuan yang akan saya "transfer". Dengan kata lain, berhasil tidaknya ceramah tergantung pada kemahiran pengajar.
Namun bila proses belajar dipahami sebagai proses aktif, maka kita akan melihatnya dengan berbeda. Penentu utama efektivitas ceramah bukanlah guru, melainkan apa yang dilakukan siswa itu sendiri! Sehebat apa pun guru berceramah, semenarik apa pun contoh yang diberikan, selucu apa pun bumbu humor yang diselipkan dalam ceramah, bila siswa tidak berpikir dengan aktif, ia tidak akan mendapatkan pengetahuan baru.
Apakah berarti ceramah tak bisa efektif? Tidak juga. Mendengarkan ceramah tidak identik dengan kepasifan. Sebagian siswa mendengarkan ceramah sambil berpikir keras. Mereka memproses informasi secara mendalam, memikirkan contoh konkret dari konsep yang baru didengar, serta mengaitkan konsep tersebut dengan konsep-konsep yang mereka pelajari di kelas lain. Tak hanya itu, siswa-siswa ini juga memonitor proses kognitif mereka sendiri. Melalui aktivitas metakognitif ini mereka menyadari apa yang mereka pahami, dan juga apa yang masih membingungkan. Dengan demikian, mereka tahu kapan perlu bertanya dan mencari informasi lebih lanjut.
Bagi siswa-siswa seperti ini, ceramah memang metode yang efektif untuk belajar. Persoalannya adalah, seberapa banyak siswa yang secara otomatis memproses informasi secara mendalam ketika mendengar ceramah? Dari pengalaman, rasanya tidak banyak. Jadi, biasanya ceramah hanya efektif untuk sebagian kecil siswa. Untuk sebagian besar siswa, ceramah tidak memicu proses berpikir yang produktif. Mereka memerlukan metode pengajaran yang lebih student-centred (berpusat pada siswa), yang "memaksa" mereka untuk berpikir. Metode pengajaran yang student-centred, bila dijalankan dengan baik, dapat membuat siswa yang biasaya pasif menjadi aktif berpikir.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan satu hal: bahwa guru yang pandai berceramah biasanya membuat siswa MERASA mengerti. Mereka mengangguk-anggukkan kepala mendengar contoh-contoh yang menarik, tertawa mendengar guyonan-guyonan yang dilontarkan. Bahayanya adalah, perasaan mengerti ini seringkali hanyalah ilusi. Ada perbedaan mendasar antara mengerti informasi yang kita dengar, dan kemampuan menggunakan informasi tersebut untuk melakukan kerja intelektual seperti menjelaskan dan menganalisis fenomena. Pencampuran keduanya oleh siswa disebut sebagai "illusion of understanding".
Bila siswanya mengalami illusion of understanding, guru yang pandai berceramah rentan mengalami "illusion of successful teaching"! Merasa berhasil, padahal bila siswa diminta untuk menggunakan konsep untuk menganalisis kasus atau fenomena baru, hanya sebagian kecil yang bisa. Seberapa sering Anda mengalami ilusi ini?
Referensi: Chi, M.T.H., Bassok, M., Lewis, M.W., Reimann, P., & Glaser, R. (1989). Self explanations: How students study and use examples in learning to solve problems. Cognitive Science, 13(2), 145-182.
Saturday, February 23, 2013
Belajar tentang Bentuk Bumi: Pengaruh Pengetahuan Intuitif
Sumber: Siegal, Nobes, & Panagiotaki (2011). http://www.nature.com/ngeo/journal/v4/n3/full/ngeo1094.html |
Kita kerap berasumsi bahwa siswa tak punya ide atau pengetahuan mengenai topik-topik yang akan mereka pelajari di sekolah. Pikiran siswa kita anggap sebagai kertas kosong yang bisa ditulisi dengan informasi yang akan mereka dapatkan dari guru dan buku-buku. Namun asumsi ini tak sepenuhnya benar. Dari pengalaman sehari-hari mereka, siswa seringkali memiliki ide tentang tentang lingkungan fisik maupun sosial. Yang penting bagi guru, ide-ide ini berpengaruh pada proses belajar-mengajar!
Ilustrasi tentang pentingnya pengetahuan intuitif siswa bisa kita baca dari penelitian Stella Vosniadou, seorang ahli psikologi kognitif, mengenai pemahaman siswa tentang bentuk bumi. Mungkin anda bertanya-tanya, bukankah bentuk bumi adalah pengetahuan yang amat sederhana dan karena itu mudah diajarkan? Kalau ada yang belum tahu tentang bentuk bumi, cukup katakan saja bahwa bumi itu seperti bola! Justru inilah yang menarik dari penelitian Vosniadou: ia menunjukkan bahwa untuk hal sesederhana bentuk bumi, proses belajar siswa ternyata cukup kompleks.
Dalam penelitiannya, Vosniadou (1992) mewawancara siswa kelas satu, tiga dan lima sekolah dasar tentang bentuk bumi. Vosniadou tidak hanya mengajukan pertanyaan “Seperti apa bentuk bumi,” yang akan mudah dijawab dengan jawaban standar mereka hafalkan dari lingkungannya (yakni bahwa bumi itu bulat). Ia melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggali lebih dalam pemahaman siswa, misalnya, “Kalau ada orang berjalan lurus ke depan terus-menerus, dia akan sampai di mana?”, dan “Apakah bumi punya ujung atau tepi?” Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan lanjutan seperti ini, siswa perlu menggunakan pemahaman konseptual mereka tentang bentuk bumi. Vosniadou juga meminta siswa untuk menggambar bumi, kemudian menggambar posisi langit, bintang dan bulan, serta tempat tinggal manusia.
Seperti bisa diduga, hampir semua siswa menjawab bahwa bumi itu bulat atau seperti bola. Mereka juga menggambar bumi sebagai lingkaran. Namun ketika diminta menguraikan, ternyata muncul jawaban-jawaban yang menunjukkan bahwa pemahaman mereka tentang bentuk bumi tidak sepenuhnya sepadan dengan pemahaman ilmiah. Berikut contoh dialog dengan seorang siswa kelas 1:
Peneliti : Kalau kamu berjalan terus mengikuti garis lurus, nantinya akan sampai di mana?
Siswa : Sampai di kota lain.
Peneliti : Kalau berjalan terus?
Siswa : Ya ke kota-kota yang berbeda, terus negara lain. Kalau kamu jalan di sini dan terus berjalan (sambil menunjuk ke pinggir lingkaran yang ia gambar sebagai bumi), kamu akan keluar dari bumi.
Peneliti : Keluar dari bumi?
Siswa : Ya. Di pinggir bumi kamu harus hati-hati.
Peneliti : Karena bisa jatuh dari bumi?
Siswa : Ya, kalau kamu bermain-main di pinggirnya.
Peneliti : Jatuh ke mana?
Siswa : ... ke planet lain.
Bagi siswa dalam dialog di atas, bumi lebih mirip cakram datar yang memiliki pinggir. Pemahaman seperti ini juga tampak pada siswa lain yang menempatkan bintang, bulan dan langit hanya pada bagian “atas” lingkaran yang mereka gambar. Vosniadou juga menemukan model pemahaman selain bumi sebagai cakram. Misalnya, ada siswa yang memahami bumi seperti bola yang separuh kosong, yang di dalamnya ada bidang datar yang dipijak oleh manusia. Ada pula yang memahami bumi seperti bola yang ditekan sehingga bagian “atasnya” menjadi datar. Sekitar separuh dari siswa kelas 3 dan 5 yang tampaknya sudah memahami bumi sebagai bola.
Mengapa banyak siswa yang memiliki pemahaman keliru tentang hal sesederhana bentuk bumi? Hasil penelitian Vosniadou ini mengilustrasikan proses belajar: bahwa proses membentuk pengetahuan baru selalu disetir oleh pengetahuan yang sudah dimiliki. Dalam hal ini, dari pengalaman sehari-hari, anak (dan kita semua) merasakan bumi yang kita pijak sebagai dataran. Ketika diberitahu bahwa bumi itu bulat, maka anak perlu memahaminya dalam kerangka pengetahuan yang sudah dimiliki, yakni bahwa bumi itu datar. Proses ini menghasilkan pemahaman yang menggabungkan pengetahuan awal dan pengetahuan baru, seperti model bumi sebagai cakram, atau bumi yang berongga.
Dengan kata lain, proses belajar tidak seperti menulis di kertas yang kosong, atau sekedar membangun pengetahuan baru. Untuk membangun pengetahuan baru, kadang kita perlu membongkar pengetahuan lama. (Anindito Aditomo, 23 Februari 2013)
Sumber bacaan:
Vosniadou, S. (2007). Conceptual change and education. Human Development, 50, hal. 40-47.
Vosniadou, S. & Brewer, W.F. (1992). Mental models of the earth: a study of conceptual change in childhood. Cognitive Psychology, 24, hal. 535-585.
Thursday, January 24, 2013
Kreativitas Menurut Ken Robinson
Kita
kerap berpikir bahwa kreativitas adalah milik segelintir manusia yang
terlahir dengan bakat luar biasa. Bahwa kreativitas adalah milik mereka
dengan profesi tertentu, seperti seniman, penemu, dan penulis fiksi.
Tapi, menurut Ken Robinson, ini konsepsi yang keliru tentang
kreativitas. Kreativitas adalah daya cipta. Kreativitas hadir ketika
kita menggunakan imajinasi untuk membuat sesuatu yang melampaui apa yang
dapat dilihat dan dirasakan secara langsung. Kreativitas terjadi ketika
kita tidak sekedar meniru atau mengikuti prosedur. Dari kacamata ini,
semua orang memiliki potensi atau bakat untuk menjadi kreatif.
Ya, memang para seniman, penulis, dan penemu adalah orang-orang yang kreatif. Tapi kreativitas dapat kita temui di berbagai bidang lain: Seorang guru yang merombak rencana pengajarannya karena ingin menggunakan aplikasi online yang baru ia temukan. Seorang peneliti pasar yang membuat angket untuk menangkap keinginan dan kebutuhan pembaca akan berita. Seorang manajer yang merancang ulang posisi meja kursi kantor untuk membuat karyawannya lebih sering berdiskusi. Seorang montir yang menggunakan alat seadanya untuk menghidupkan mesin motor yang mogok. Orangtua yang kehabisan bahan masakan yang biasa dibuat dan terpaksa menciptakan menu baru untuk makan pagi anaknya. Bagi Robinson, semua ini adalah contoh perwujudan kreativitas.
Sebagai potensi yang dimiliki semua orang, kreativitas punya dua sisi. Yang pertama adalah kemampuan untuk melihat dari sudut yang berbeda, untuk membayangkan yang belum ada, untuk memunculkan gagasan-gagasan segar. Sisi pertama ini yang lebih sering diasosiasikan dengan kreativitas. Sisi ini juga kadang terasosiasi dengan gambaran negatif atau destruktif tentang kreativitas. Kelas yang menekankan kreativitas, misalnya, akan penuh dengan siswa yang mencoret tembok dan merusak properti. Anak yang kreatif cenderung sulit fokus pada pelajaran sekolah dan tidak mau taat pada aturan.
Tapi ini gambaran yang keliru, karena sisi kedua dari kreativitas adalah kemauan untuk fokus pada penciptaan dan perbaikan sebuah karya. Ini proses yang memerlukan pengetahuan serta penalaran kritis untuk mengevaluasi kelebihan dan kelemahan berbagai keputusan yang hendak diambil dalam berkarya. Dalam kata-kata Robinson, “[creativity] is not only about letting go, it’s about holding on” (hal.5).
Dengan kata lain, kreativitas membutuhkan disiplin dan pengetahuan yang mendalam: Seorang pelukis perlu pengetahuan yang tentang bentuk, komposisi, warna, karakter kanvas, cat, dan dan elemen-elemen desain serta alat-alat seni lainnya. Seorang peneliti pasar perlu pengetahuan tentang produk yang hendak dipasarkan serta karakter calon konsumennya. Seorang koki perlu pengetahuan bahan makanan, alat-alat memasak, dan pengaruh proses memasak terhadap rasa dan kenampakan berbagai bahan.
Poin penting dari pandangan ini adalah bahwa kreativitas dapat dibentuk dan dikembangkan. Kita bisa belajar untuk menjadi (lebih) kreatif, untuk mengasah kemampuan berpikir dari sudut yang berbeda, serta memperdalam pengetahuan yang diperlukan untuk menciptakan sesuatu. Tapi ini juga berarti bahwa kreativitas dapat dikerdilkan atau bahkan dimatikan.
Sayangnya, menurut Robinson, kemungkinan kedua inilah yang lebih sering terjadi. Sekolah menuntut lebih sering siswa untuk mengikuti prosedur daripada berpikir mandiri. Soal matematika harus dipecahkan dengan cara yang diajarkan guru. Eksperimen sains harus dilakukan dengan mengikuti langkah yang tertulis di buku. Pelajaran bahasa juga banyak mengajarkan tentang grammar. Sejarah and ilmu sosial disajikan sebagai rangkaian nama, peristiwa dan tanggal yang harus dihafalkan. Untuk semua mata pelajaran, ada tes terstandar yang mengajarkan pada siswa bahwa benar dan salah selalu jelas batasnya, dan batas itu selalu ditentukan oleh guru.
Apakah sekolah bisa dibuat untuk mengembangkan kreativitas? Tentu saja, tapi itu akan menjadi topik tulisan lain :)
Sumber: Robinson, K. (2011). Out of Our Minds: Learning to be Creative (2nd Ed.). Chichester: Capstone Publishing.
Ya, memang para seniman, penulis, dan penemu adalah orang-orang yang kreatif. Tapi kreativitas dapat kita temui di berbagai bidang lain: Seorang guru yang merombak rencana pengajarannya karena ingin menggunakan aplikasi online yang baru ia temukan. Seorang peneliti pasar yang membuat angket untuk menangkap keinginan dan kebutuhan pembaca akan berita. Seorang manajer yang merancang ulang posisi meja kursi kantor untuk membuat karyawannya lebih sering berdiskusi. Seorang montir yang menggunakan alat seadanya untuk menghidupkan mesin motor yang mogok. Orangtua yang kehabisan bahan masakan yang biasa dibuat dan terpaksa menciptakan menu baru untuk makan pagi anaknya. Bagi Robinson, semua ini adalah contoh perwujudan kreativitas.
Sebagai potensi yang dimiliki semua orang, kreativitas punya dua sisi. Yang pertama adalah kemampuan untuk melihat dari sudut yang berbeda, untuk membayangkan yang belum ada, untuk memunculkan gagasan-gagasan segar. Sisi pertama ini yang lebih sering diasosiasikan dengan kreativitas. Sisi ini juga kadang terasosiasi dengan gambaran negatif atau destruktif tentang kreativitas. Kelas yang menekankan kreativitas, misalnya, akan penuh dengan siswa yang mencoret tembok dan merusak properti. Anak yang kreatif cenderung sulit fokus pada pelajaran sekolah dan tidak mau taat pada aturan.
Tapi ini gambaran yang keliru, karena sisi kedua dari kreativitas adalah kemauan untuk fokus pada penciptaan dan perbaikan sebuah karya. Ini proses yang memerlukan pengetahuan serta penalaran kritis untuk mengevaluasi kelebihan dan kelemahan berbagai keputusan yang hendak diambil dalam berkarya. Dalam kata-kata Robinson, “[creativity] is not only about letting go, it’s about holding on” (hal.5).
Dengan kata lain, kreativitas membutuhkan disiplin dan pengetahuan yang mendalam: Seorang pelukis perlu pengetahuan yang tentang bentuk, komposisi, warna, karakter kanvas, cat, dan dan elemen-elemen desain serta alat-alat seni lainnya. Seorang peneliti pasar perlu pengetahuan tentang produk yang hendak dipasarkan serta karakter calon konsumennya. Seorang koki perlu pengetahuan bahan makanan, alat-alat memasak, dan pengaruh proses memasak terhadap rasa dan kenampakan berbagai bahan.
Poin penting dari pandangan ini adalah bahwa kreativitas dapat dibentuk dan dikembangkan. Kita bisa belajar untuk menjadi (lebih) kreatif, untuk mengasah kemampuan berpikir dari sudut yang berbeda, serta memperdalam pengetahuan yang diperlukan untuk menciptakan sesuatu. Tapi ini juga berarti bahwa kreativitas dapat dikerdilkan atau bahkan dimatikan.
Sayangnya, menurut Robinson, kemungkinan kedua inilah yang lebih sering terjadi. Sekolah menuntut lebih sering siswa untuk mengikuti prosedur daripada berpikir mandiri. Soal matematika harus dipecahkan dengan cara yang diajarkan guru. Eksperimen sains harus dilakukan dengan mengikuti langkah yang tertulis di buku. Pelajaran bahasa juga banyak mengajarkan tentang grammar. Sejarah and ilmu sosial disajikan sebagai rangkaian nama, peristiwa dan tanggal yang harus dihafalkan. Untuk semua mata pelajaran, ada tes terstandar yang mengajarkan pada siswa bahwa benar dan salah selalu jelas batasnya, dan batas itu selalu ditentukan oleh guru.
Apakah sekolah bisa dibuat untuk mengembangkan kreativitas? Tentu saja, tapi itu akan menjadi topik tulisan lain :)
Sumber: Robinson, K. (2011). Out of Our Minds: Learning to be Creative (2nd Ed.). Chichester: Capstone Publishing.
Tuesday, January 1, 2013
Hafal Bukan Syarat untuk Memahami
Guru yang baik pasti ingin siswanya memahami materi yang diajarkan. Tapi apa yang dimaksud dengan pemahaman (understanding)?
Secara sederhana, pemahaman bisa dikontraskan dengan hafalan atau
ingatan. Hafal sebuah informasi berarti bisa menyatakan kembali
informasi tersebut dalam konteks yang sempit, biasanya pada saat ujian
di sekolah. Dalam taksonomi Bloom, menghafal adalah proses kognitif yang
paling rendah. Masalahnya adalah, informasi yang sekedar dihafalkan
biasanya ‘mandul’ alias tidak berguna di luar konteks yang sempit.
Mungkin Anda bertanya, apa betul hafalan tidak ada gunanya? Bukankah siswa tetap perlu menghafal informasi tertentu? Bukankah ada informasi-informasi dasar, misalnya definisi konsep-konsep penting, yang perlu dihafalkan oleh siswa? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita simak sebuah penelitian klasik tentang memori yang dilakukan Hermann Ebbinghaus, seorang pelopor psikologi modern, di tahun 1885.
Dalam salah eksperimennya, pak Ebbinghaus berusaha menghafalkan sederetan silabel tak bermakna seperti VIK, HIR, MAW, CEF, LOK, NUG, PIZ, JRU, dan GRE. Pak Ebbinghaus mencatat berapa kali ia harus mengulang deretan tersebut, sebelum ia bisa menuliskannya kembali dengan benar (orang kita bilang, ‘hafal di luar kepala’). Ia juga mengukur ketepatan hafalannya setelah beberapa menit sampai satu bulan setelah ia pertama kali menghafal deretan tersebut.
Ternyata, untuk menghafal secara sempurna enam deret silabel tak bermakna, pak Ebbinghaus perlu mengulangi informasi tersebut sekitar empat ratus kali! Namun demikian, 20 menit kemudian, ternyata ia sudah melupakan lebih dari 40% dari informasi tersebut. Dan setelah 6 hari, yang tersisa dari hafalannya hanya sekitar 25% saja. Salah satu pelajaran yang dapat kita petik dari eksperimen ini adalah bahwa hafalan tanpa makna tidak akan bertahan lama.
Ini hanya sekelumit dari temuan Ebbinghaus. Anda yang tertarik dapat membaca naskah lengkapnya di http://psychclassics.yorku.ca/Ebbinghaus/index.htm (termasuk gambar di atas). Untuk keperluan tulisan ini, saya ingin memberi gambaran yang lebih relevan dengan pelajaran sekolah. Bayangkan dua siswa – si Anton dan si Badu – yang mendapat pertanyaan berikut dalam sebuah ujian:
Pada tahun berapakah peristiwa yang sekarang disebut sebagai “Serangan Umum 1 Maret” terjadi?
(a) 1938 (b) 1939 (c) 1948 (d) 1949 (e) 1950
Katakanlah si Anton memilih jawaban yang benar (d), sedangkan si Badu memilih jawaban yang salah (c). Ketika diminta menjelaskan pilihan jawaban mereka setelah ujian selesai, si Anton hanya menjawab singkat, “Ya karena saya ingat di buku tertulis tahun 1949.” Jawaban si Badu lebih panjang: “Saya agak lupa tahunnya, tapi sekitar tahun 1948. Serangan Umum kan dilakukan karena Belanda nggak mau mengakui kita merdeka tahun 1945. Jadi jawaban (a) dan (b) pasti salah.”
Dalam contoh ini, meski si Anton memilih jawaban yang benar, si Badu punya pemahaman sejarah yang lebih baik tentang peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Si Anton memang hafal informasi yang tepat, namun si Badu memahami keterkaitan Serangan Umum dengan proklamasi kemerdekaan, serta kepentingan Belanda sebagai salah satu aktor dalam peristiwa tersebut. Si Anton tahu alias hafal kapan Serangan Umum terjadi, sedangkan si Badu punya pemahaman awal tentang mengapa peristiwa itu terjadi.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa hafalan tidak menjamin pemahaman. Lebih jauh lagi, pemahaman juga tidak selalu mensyaratkan hafalan. Karena itu, sekedar “mengetahui” alias hafal sekumpulan informasi tidak layak dijadikan tujuan pembelajaran di kelas.
Mungkin Anda bertanya, apa betul hafalan tidak ada gunanya? Bukankah siswa tetap perlu menghafal informasi tertentu? Bukankah ada informasi-informasi dasar, misalnya definisi konsep-konsep penting, yang perlu dihafalkan oleh siswa? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita simak sebuah penelitian klasik tentang memori yang dilakukan Hermann Ebbinghaus, seorang pelopor psikologi modern, di tahun 1885.
Dalam salah eksperimennya, pak Ebbinghaus berusaha menghafalkan sederetan silabel tak bermakna seperti VIK, HIR, MAW, CEF, LOK, NUG, PIZ, JRU, dan GRE. Pak Ebbinghaus mencatat berapa kali ia harus mengulang deretan tersebut, sebelum ia bisa menuliskannya kembali dengan benar (orang kita bilang, ‘hafal di luar kepala’). Ia juga mengukur ketepatan hafalannya setelah beberapa menit sampai satu bulan setelah ia pertama kali menghafal deretan tersebut.
Ternyata, untuk menghafal secara sempurna enam deret silabel tak bermakna, pak Ebbinghaus perlu mengulangi informasi tersebut sekitar empat ratus kali! Namun demikian, 20 menit kemudian, ternyata ia sudah melupakan lebih dari 40% dari informasi tersebut. Dan setelah 6 hari, yang tersisa dari hafalannya hanya sekitar 25% saja. Salah satu pelajaran yang dapat kita petik dari eksperimen ini adalah bahwa hafalan tanpa makna tidak akan bertahan lama.
Kurva "lupa" Ebbinghaus |
Ini hanya sekelumit dari temuan Ebbinghaus. Anda yang tertarik dapat membaca naskah lengkapnya di http://psychclassics.yorku.ca/Ebbinghaus/index.htm (termasuk gambar di atas). Untuk keperluan tulisan ini, saya ingin memberi gambaran yang lebih relevan dengan pelajaran sekolah. Bayangkan dua siswa – si Anton dan si Badu – yang mendapat pertanyaan berikut dalam sebuah ujian:
Pada tahun berapakah peristiwa yang sekarang disebut sebagai “Serangan Umum 1 Maret” terjadi?
(a) 1938 (b) 1939 (c) 1948 (d) 1949 (e) 1950
Katakanlah si Anton memilih jawaban yang benar (d), sedangkan si Badu memilih jawaban yang salah (c). Ketika diminta menjelaskan pilihan jawaban mereka setelah ujian selesai, si Anton hanya menjawab singkat, “Ya karena saya ingat di buku tertulis tahun 1949.” Jawaban si Badu lebih panjang: “Saya agak lupa tahunnya, tapi sekitar tahun 1948. Serangan Umum kan dilakukan karena Belanda nggak mau mengakui kita merdeka tahun 1945. Jadi jawaban (a) dan (b) pasti salah.”
Dalam contoh ini, meski si Anton memilih jawaban yang benar, si Badu punya pemahaman sejarah yang lebih baik tentang peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Si Anton memang hafal informasi yang tepat, namun si Badu memahami keterkaitan Serangan Umum dengan proklamasi kemerdekaan, serta kepentingan Belanda sebagai salah satu aktor dalam peristiwa tersebut. Si Anton tahu alias hafal kapan Serangan Umum terjadi, sedangkan si Badu punya pemahaman awal tentang mengapa peristiwa itu terjadi.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa hafalan tidak menjamin pemahaman. Lebih jauh lagi, pemahaman juga tidak selalu mensyaratkan hafalan. Karena itu, sekedar “mengetahui” alias hafal sekumpulan informasi tidak layak dijadikan tujuan pembelajaran di kelas.
Thursday, October 25, 2012
Menggunakan Internet Secara Cerdas dan Sehat
Bagi kita yang beruntung menjadi anggota kelas menengah, internet sudah menjadi bagian integral dari hidup sehari-hari. Internet sudah menjadi seperti kebutuhan pokok. Banyak diantara kita yang sulit membayangkan bahkan satu hari pun tanpa menggunakan search engine, membuka email, berbagi kabar lewat media sosial, atau sekedar menonton video singkat sebagai hiburan di sela-sela kesibukan. Anak-anak keluarga kelas menengah pun sejak kecil sudah terbiasa menggunakan berbagai perangkat digital untuk mengakses bermacam informasi yang ada di dunia maya.
Tapi kemampuan menggunakan perangkat digital dan internet tidak sepadan dengan kebiasaan menggunakannya secara sehat dan cerdas. Sebagai analogi, tidak semua pengendara mobil terbiasa berlalu lintas dengan sopan dan aman. Sebagaimana perilaku berlalu lintas yang baik, sikap dan perilaku berinternet secara sehat juga amat penting. Mungkin anda ragu: mengendarai mobil dengan ngawur memang bisa berakibat fatal, tapi kalau sekedar menelusuri informasi dan menjalin hubungan pertemanan di dunia maya, apakah konsekuensinya juga bisa demikian serius?
Keraguan akan pentingnya kebiasaan berinternet secara sehat dan cerdas mestinya terjawab oleh dua kasus yang baru saja terjadi. Kasus pertama percaya menyangkut seorang remaja putri di daerah Depok yang menjadi korban perkosaan oleh seseorang yang ia kenal melalui jejaring sosial Facebook. Dalam kasus ini, pelaku kejahatan lihai dalam memproyeksikan kepribadian virtual yang menarik, sampai korban cukup percaya untuk mau bertemu secara langsung. Kasus kedua terjadi di Kanada dan juga menyangkut seorang remaja putri. Di kasus ini, si remaja putri mengalami cyber-bullying oleh seseorang yang mengancam akan memposting foto separuh-telanjang remaja tersebut. Remaja tersebut kemudian mengalami depresi, beberapa kali pindah sekolah, dan akhirnya bunuh diri.
Kedua kasus tragis di atas memang contoh ekstrem. Tapi versi-versi “lebih ringan” dari penipuan online dan cyber-bullying kerap terjadi dan bisa menimpa banyak orang, mengingat bahwa sudah ada sekitar 55 juta pengguna internet di Indonesia. Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa perkataan, perilaku, dan keputusan-keputusan kita di dunia maya memiliki konsekuensi yang sungguh nyata. Dalam konteks inilah kita perlu belajar untuk menggunakan internet secara sehat dan cerdas.
Seperti apa perilaku berinternet yang sehat dan cerdas itu? Perinciannya tentu tak cukup dijabarkan di kolom ini. Namun ada beberapa prinsip yang dapat kita pegang, seperti yang disarikan oleh tim iKeepSafe bersama Google berikut (untuk lebih lengkapnya, lihat di http://www.google.com/educators/digitalliteracy.html):
Pertama, selalu bersikap skeptis, alias waspada dan kritis. Di dunia maya, hampir siapa pun yang punya koneksi internet bisa “menciptakan” informasi. Akibatnya adalah masifnya volume informasi yang ada di internet, serta beragamnya kualitas informasi tersebut. Kalau diibaratkan apotek, internet menyimpan miliaran obat dari berbagai jenis. Kebanyakan obat tersebut gratis, namun sebagian besar juga tidak manjur, dan sebagian lagi justru bisa membuat kita sakit.
Dengan demikian, kita perlu pandai-pandai mengevaluasi dan memilah informasi. Ini bisa dilakukan dengan mengecek otoritas dari sumber informasi (penulis dan pemilik situs). Misalnya, informasi yang ada di situs pemerintah, universitas dan media masa resmi biasanya lebih bisa dipercaya. Lebih elok lagi bila kita terbiasa membandingkan informasi dari beberapa sumber yang berbeda, serta memikirkan apa tujuan dan kepentingan si sumber informasi. Dengan mengambil perspektif si pencipta informasi, kita akan lebih kritis dalam menilai keabsahan informasi tersebut.
Kedua, jaga privasi. Sebagian besar dari kita tidak akan membagi-bagi foto anak, pasangan, atau diri kita kepada orang asing di perempatan jalan. Kita juga tidak akan menyebarkan selebaran berisi nama, tanggal lahir, dan riwayat sekolah atau kerja kita kepada orang yang tak kita kenal. Tapi di sisi lain, sebagian besar dari kita melakukan hal-hal itu dengan riang di dunia maya melalui berbagai media sosial. Informasi pribadi yang kita tampilkan di internet dapat disalahgunakan. Misalnya, orang yang berniat menipu kita akan lebih mudah melakukannya bila ia memiliki informasi pribadi lengkap tentang diri kita. Atau, seseorang bisa menciptakan akun di media sosial dengan berpura-pura sebagai kita, kemudian melakukan hal-hal yang memalukan atau bahkan kriminal. Karena itu, tampilkan informasi pribadi seminimal mungkin.
Ketiga, tetap santun dan jujur. Karena perkataan dan perilaku online punya dampak nyata, standar kesantunan yang kita anut di kehidupan nyata juga berlaku di dunia online. Tapi ini kadang terlupakan karena dalam interaksi online kita tidak secara langsung berhadapan dengan orang lain.
Selain itu, yang juga kadang terlupa adalah bahwa informasi yang kita unggah di internet akan memiliki “kehidupan” sendiri yang sulit kita kendalikan. Status FB atau Google+ yang hari ini kita tulis hari ini masih akan terbaca oleh orang lain satu atau bahkan sepuluh tahun mendatang. Sebuah umpatan dan olok-olok, atau sebuah foto memalukan, yang kita posting bisa diambil oleh orang lain untuk kemudian ia sebarkan secara luas – kadang tanpa kita ketahui. Hal ini bisa menyakiti orang lain, tapi bisa juga merugikan kita sendiri: bayangkan bila ucapan atau gambar tak pantas itu diketahui oleh atasan atau calon mertua!
Menerapkan prinsip-prinsip di atas tentu tak semudah menuliskannya. Tapi paling tidak semoga tulisan ini membuat kita berefleksi tentang cara kita menggunakan internet selama ini.
Tapi kemampuan menggunakan perangkat digital dan internet tidak sepadan dengan kebiasaan menggunakannya secara sehat dan cerdas. Sebagai analogi, tidak semua pengendara mobil terbiasa berlalu lintas dengan sopan dan aman. Sebagaimana perilaku berlalu lintas yang baik, sikap dan perilaku berinternet secara sehat juga amat penting. Mungkin anda ragu: mengendarai mobil dengan ngawur memang bisa berakibat fatal, tapi kalau sekedar menelusuri informasi dan menjalin hubungan pertemanan di dunia maya, apakah konsekuensinya juga bisa demikian serius?
Keraguan akan pentingnya kebiasaan berinternet secara sehat dan cerdas mestinya terjawab oleh dua kasus yang baru saja terjadi. Kasus pertama percaya menyangkut seorang remaja putri di daerah Depok yang menjadi korban perkosaan oleh seseorang yang ia kenal melalui jejaring sosial Facebook. Dalam kasus ini, pelaku kejahatan lihai dalam memproyeksikan kepribadian virtual yang menarik, sampai korban cukup percaya untuk mau bertemu secara langsung. Kasus kedua terjadi di Kanada dan juga menyangkut seorang remaja putri. Di kasus ini, si remaja putri mengalami cyber-bullying oleh seseorang yang mengancam akan memposting foto separuh-telanjang remaja tersebut. Remaja tersebut kemudian mengalami depresi, beberapa kali pindah sekolah, dan akhirnya bunuh diri.
Kedua kasus tragis di atas memang contoh ekstrem. Tapi versi-versi “lebih ringan” dari penipuan online dan cyber-bullying kerap terjadi dan bisa menimpa banyak orang, mengingat bahwa sudah ada sekitar 55 juta pengguna internet di Indonesia. Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa perkataan, perilaku, dan keputusan-keputusan kita di dunia maya memiliki konsekuensi yang sungguh nyata. Dalam konteks inilah kita perlu belajar untuk menggunakan internet secara sehat dan cerdas.
Seperti apa perilaku berinternet yang sehat dan cerdas itu? Perinciannya tentu tak cukup dijabarkan di kolom ini. Namun ada beberapa prinsip yang dapat kita pegang, seperti yang disarikan oleh tim iKeepSafe bersama Google berikut (untuk lebih lengkapnya, lihat di http://www.google.com/educators/digitalliteracy.html):
Pertama, selalu bersikap skeptis, alias waspada dan kritis. Di dunia maya, hampir siapa pun yang punya koneksi internet bisa “menciptakan” informasi. Akibatnya adalah masifnya volume informasi yang ada di internet, serta beragamnya kualitas informasi tersebut. Kalau diibaratkan apotek, internet menyimpan miliaran obat dari berbagai jenis. Kebanyakan obat tersebut gratis, namun sebagian besar juga tidak manjur, dan sebagian lagi justru bisa membuat kita sakit.
Dengan demikian, kita perlu pandai-pandai mengevaluasi dan memilah informasi. Ini bisa dilakukan dengan mengecek otoritas dari sumber informasi (penulis dan pemilik situs). Misalnya, informasi yang ada di situs pemerintah, universitas dan media masa resmi biasanya lebih bisa dipercaya. Lebih elok lagi bila kita terbiasa membandingkan informasi dari beberapa sumber yang berbeda, serta memikirkan apa tujuan dan kepentingan si sumber informasi. Dengan mengambil perspektif si pencipta informasi, kita akan lebih kritis dalam menilai keabsahan informasi tersebut.
Kedua, jaga privasi. Sebagian besar dari kita tidak akan membagi-bagi foto anak, pasangan, atau diri kita kepada orang asing di perempatan jalan. Kita juga tidak akan menyebarkan selebaran berisi nama, tanggal lahir, dan riwayat sekolah atau kerja kita kepada orang yang tak kita kenal. Tapi di sisi lain, sebagian besar dari kita melakukan hal-hal itu dengan riang di dunia maya melalui berbagai media sosial. Informasi pribadi yang kita tampilkan di internet dapat disalahgunakan. Misalnya, orang yang berniat menipu kita akan lebih mudah melakukannya bila ia memiliki informasi pribadi lengkap tentang diri kita. Atau, seseorang bisa menciptakan akun di media sosial dengan berpura-pura sebagai kita, kemudian melakukan hal-hal yang memalukan atau bahkan kriminal. Karena itu, tampilkan informasi pribadi seminimal mungkin.
Ketiga, tetap santun dan jujur. Karena perkataan dan perilaku online punya dampak nyata, standar kesantunan yang kita anut di kehidupan nyata juga berlaku di dunia online. Tapi ini kadang terlupakan karena dalam interaksi online kita tidak secara langsung berhadapan dengan orang lain.
Selain itu, yang juga kadang terlupa adalah bahwa informasi yang kita unggah di internet akan memiliki “kehidupan” sendiri yang sulit kita kendalikan. Status FB atau Google+ yang hari ini kita tulis hari ini masih akan terbaca oleh orang lain satu atau bahkan sepuluh tahun mendatang. Sebuah umpatan dan olok-olok, atau sebuah foto memalukan, yang kita posting bisa diambil oleh orang lain untuk kemudian ia sebarkan secara luas – kadang tanpa kita ketahui. Hal ini bisa menyakiti orang lain, tapi bisa juga merugikan kita sendiri: bayangkan bila ucapan atau gambar tak pantas itu diketahui oleh atasan atau calon mertua!
Menerapkan prinsip-prinsip di atas tentu tak semudah menuliskannya. Tapi paling tidak semoga tulisan ini membuat kita berefleksi tentang cara kita menggunakan internet selama ini.
Friday, September 28, 2012
Penghapusan IPA dan IPS Bukan Solusi untuk Kurikulum yang Penuh Sesak
Tak
perlu menjadi seorang ahli pendidikan untuk melihat bahwa kurikulum
sekolah dasar dan menengah di Indonesia terlalu padat. Cukup tanyakan
saja pada orangtua yang memiliki anak usia sekolah, betapa sulit dan
stresnya berusaha membantu anak memelajari materi untuk pekerjaan rumah,
lembar kerja harian dan berbagai tes yang ada. Informasi yang musti
dipelajari oleh siswa sedemikian banyak, sampai-sampai punggung mereka
tertekuk oleh beratnya buku pelajaran yang harus dibawa dalam ransel.
Kurikulum yang terlampau luas namun dangkal membawa berbagai dampak negatif. Singkat kata, masalahnya adalah bahwa dengan volume informasi yang demikian besar, siswa tidak memiliki waktu yang cukup untuk benar-benar mencernanya (setali tiga uang, guru juga tidak punya waktu untuk mengajar dengan baik). Simpulan ini bisa dideduksi dari temuan mendasar penelitian ilmiah mengenai proses belajar manusia: bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, siswa perlu berlatih menggunakan berbagai konsep dalam konteks menyelesaikan problem yang beragam. Proses ini tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Masalah ini tampaknya sudah diketahui juga oleh Departemen Pendidikan. Baru-baru ini kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan menyatakan bahwa kurikulum sekolah dasar perlu dirampingkan. Sayang seribu sayang, solusi yang ditawarkan adalah dengan menghapus pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) and sosial (IPS). Semangat dari perombankan radikal ini, menurut sang kepala Litbang, adalah agar sekolah dasar bisa fokus mengembangkan siswa yang disiplin, jujur, dan bersih.
Saya bukannya tak senang dengan disiplin, kejujuran, dan kebersihan – ketiganya merupakan sifat-sifat baik yang masih sangat perlu dikembangkan di masyarakat kita. Namun pembentukan sifat-sifat tersebut pada generasi muda adalah tugas masyarakat secara keseluruhan – bukan hanya sekolah dan guru, tapi juga pemimpin dan politisi, pelaku-pelaku budaya, media massa, dan tentu saja orangtua dan keluarga. Menjadikan pengembangan karakter generasi muda sebagai tugas utama sekolah adalah sebuah kekeliruan, terutama jika konsekuensinya adalah membuang pelajaran IPA dan IPS. Peran unik sekolah sebagai institusi sosial adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir secara ilmiah dan akademik. Tidak ada institusi sosial lain yang bisa mengemban fungsi ini, dan penghapusan IPA dan IPS justru menciderai fungsi unik tersebut.
Memang benar bahwa pengajaran IPA dan IPS saat ini jauh dari ideal. Seperti saya tulis di atas, kurikulum yang penuh sesak tidak memungkinkan siswa untuk belajar secara mendalam. Pelajaran IPA dan IPS kerap menampilkan ilmu pengetahuan sebagai “fakta-fakta” beku yang sekedar dihafalkan untuk dimuntahkan kembali saat ujian. Ilmu-ilmu alam dan sosial disampaikan sebagai doktrin, dan siswa kehilangan kesempatan untuk memelajari ilmu sebagai cara berpikir. Pelajaran IPA dan IPS tidak mengajarkan siswa untuk mengobservasi secara sistematis, menggunakan konsep abstrak untuk berpikir dan menganalisis dunia.
Pengajaran IPA yang buruk ini tercermin di hasil asesmen internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA). PISA adalah tes terstandar yang mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun di 70 negara dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan ilmu alam. Hasil PISA tahun 2006 menunjukkan bahwa lebih dari 60% siswa Indonesia tergolong tidak melek ilmu alam – mereka tidak memiliki kemampuan yang paling dasar sekali pun dalam mengidentifikasi masalah ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menggunakan bukti-bukti ilmiah. Lebih menyedihkan lagi, di tahun 2009 angka ketidakmelekan ilmiah ini justru meningkat.
Tapi solusi dari masalah ini jelas bukan menghapus IPA dan IPS dari kurikulum SD. Hal ini menunjukkan penghargaan pemerintah yang rendah terhadap ilmu-ilmu alam dan sosial, serta justru akan semakin memperburuk kemampuan siswa dalam berpikir ilmiah. Respon yang lebih masuk akal adalah memulai diskusi serius tentang merampingkan cakupan topik IPA dan IPS, serta bagaimana meningkatkan kemampuan guru dalam merancang dan mengajarkan pelajaran-pelajaran ini.
Departemen Pendidikan tampaknya berasumsi bahwa pengajaran IPA dan IPS bertentangan dengan pengembangan karakter siswa. Ini salah kaprah yang tidak perlu terjadi bila ilmu alam dan sosial dipahami secara lebih holistik. Praktik keilmuan mencakup sifat-sifat mulia seperti kejujuran, kerendah-hatian, dan keberanian. Ilmuwan dituntut untuk jujur dalam mencatat dan melaporkan hasil penelitian – kredibilitas ilmu sebagai institusi sosial bergantung pada hal ini. Ilmuwan juga perlu rendah hati ketika ternyata prediksi-prediksi yang mereka yakini ternyata tidak didukung oleh data. Ilmuwan musti berani, terutama saat temuan mereka bertentangan dengan keyakinan dasar masyarakat – seperti ketika Copernicus menyatakan bahwa bumi bukanlah pusat dari alam raya.
Sebagai penutup, penghapusan IPA dan IPS adalah contoh kebijakan yang tidak bijak. Tentu, penilaian ini adalah jika kita masih berharap menjadi bangsa yang suatu saat maju dalam hal ilmu dan teknologi.
Kurikulum yang terlampau luas namun dangkal membawa berbagai dampak negatif. Singkat kata, masalahnya adalah bahwa dengan volume informasi yang demikian besar, siswa tidak memiliki waktu yang cukup untuk benar-benar mencernanya (setali tiga uang, guru juga tidak punya waktu untuk mengajar dengan baik). Simpulan ini bisa dideduksi dari temuan mendasar penelitian ilmiah mengenai proses belajar manusia: bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, siswa perlu berlatih menggunakan berbagai konsep dalam konteks menyelesaikan problem yang beragam. Proses ini tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Masalah ini tampaknya sudah diketahui juga oleh Departemen Pendidikan. Baru-baru ini kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan menyatakan bahwa kurikulum sekolah dasar perlu dirampingkan. Sayang seribu sayang, solusi yang ditawarkan adalah dengan menghapus pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) and sosial (IPS). Semangat dari perombankan radikal ini, menurut sang kepala Litbang, adalah agar sekolah dasar bisa fokus mengembangkan siswa yang disiplin, jujur, dan bersih.
Saya bukannya tak senang dengan disiplin, kejujuran, dan kebersihan – ketiganya merupakan sifat-sifat baik yang masih sangat perlu dikembangkan di masyarakat kita. Namun pembentukan sifat-sifat tersebut pada generasi muda adalah tugas masyarakat secara keseluruhan – bukan hanya sekolah dan guru, tapi juga pemimpin dan politisi, pelaku-pelaku budaya, media massa, dan tentu saja orangtua dan keluarga. Menjadikan pengembangan karakter generasi muda sebagai tugas utama sekolah adalah sebuah kekeliruan, terutama jika konsekuensinya adalah membuang pelajaran IPA dan IPS. Peran unik sekolah sebagai institusi sosial adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir secara ilmiah dan akademik. Tidak ada institusi sosial lain yang bisa mengemban fungsi ini, dan penghapusan IPA dan IPS justru menciderai fungsi unik tersebut.
Memang benar bahwa pengajaran IPA dan IPS saat ini jauh dari ideal. Seperti saya tulis di atas, kurikulum yang penuh sesak tidak memungkinkan siswa untuk belajar secara mendalam. Pelajaran IPA dan IPS kerap menampilkan ilmu pengetahuan sebagai “fakta-fakta” beku yang sekedar dihafalkan untuk dimuntahkan kembali saat ujian. Ilmu-ilmu alam dan sosial disampaikan sebagai doktrin, dan siswa kehilangan kesempatan untuk memelajari ilmu sebagai cara berpikir. Pelajaran IPA dan IPS tidak mengajarkan siswa untuk mengobservasi secara sistematis, menggunakan konsep abstrak untuk berpikir dan menganalisis dunia.
Pengajaran IPA yang buruk ini tercermin di hasil asesmen internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA). PISA adalah tes terstandar yang mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun di 70 negara dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan ilmu alam. Hasil PISA tahun 2006 menunjukkan bahwa lebih dari 60% siswa Indonesia tergolong tidak melek ilmu alam – mereka tidak memiliki kemampuan yang paling dasar sekali pun dalam mengidentifikasi masalah ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menggunakan bukti-bukti ilmiah. Lebih menyedihkan lagi, di tahun 2009 angka ketidakmelekan ilmiah ini justru meningkat.
Tapi solusi dari masalah ini jelas bukan menghapus IPA dan IPS dari kurikulum SD. Hal ini menunjukkan penghargaan pemerintah yang rendah terhadap ilmu-ilmu alam dan sosial, serta justru akan semakin memperburuk kemampuan siswa dalam berpikir ilmiah. Respon yang lebih masuk akal adalah memulai diskusi serius tentang merampingkan cakupan topik IPA dan IPS, serta bagaimana meningkatkan kemampuan guru dalam merancang dan mengajarkan pelajaran-pelajaran ini.
Departemen Pendidikan tampaknya berasumsi bahwa pengajaran IPA dan IPS bertentangan dengan pengembangan karakter siswa. Ini salah kaprah yang tidak perlu terjadi bila ilmu alam dan sosial dipahami secara lebih holistik. Praktik keilmuan mencakup sifat-sifat mulia seperti kejujuran, kerendah-hatian, dan keberanian. Ilmuwan dituntut untuk jujur dalam mencatat dan melaporkan hasil penelitian – kredibilitas ilmu sebagai institusi sosial bergantung pada hal ini. Ilmuwan juga perlu rendah hati ketika ternyata prediksi-prediksi yang mereka yakini ternyata tidak didukung oleh data. Ilmuwan musti berani, terutama saat temuan mereka bertentangan dengan keyakinan dasar masyarakat – seperti ketika Copernicus menyatakan bahwa bumi bukanlah pusat dari alam raya.
Sebagai penutup, penghapusan IPA dan IPS adalah contoh kebijakan yang tidak bijak. Tentu, penilaian ini adalah jika kita masih berharap menjadi bangsa yang suatu saat maju dalam hal ilmu dan teknologi.
Wednesday, September 26, 2012
Teknologi di Sekolah: Efisiensi atau Inovasi?
Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi telah dan akan terus mengubah berbagai aspek kehidupan. Bagi banyak orang, interaksi sosial kini banyak berlangsung di dunia maya. Melalui media-media sosial seperti Twitter dan Facebook, kita bisa bertemu teman baru, bertengkar dengan teman lama, serta mengikuti kabar keluarga, gosip selebriti serta berita politik terbaru. Mobile devices seperti telepon seluler dan sabak digital (iPad, Galaxy Tab, dll.) yang makin canggih, serta koneksi internet yang semakin berkualitas dan murah, mendorong kita untuk berbagi kabar dan informasi dalam format multimedia yang menggabungkan teks, foto dan video.
Kebutuhan siswa akan pengetahuan pun kerap terlayani bukan oleh sumber-sumber ilmu tradisional seperti sekolah dan guru, melainkan oleh situs-situs semacam Wikipedia, Youtube dan forum-forum online, yang materinya diproduksi secara bottom-up oleh pengguna, dan karena itu isinya banyak, up-to-date, namun sekaligus bervariasi kualitasnya. Perkembangan teknologi juga telah melahirkan kuliah-kuliah jarak jauh yang tidak sekedar menyampaikan materi kuliah secara satu arah, tapi juga menawarkan peer discussion dan asesmen yang bermutu. Simak, misalnya, kuliah-kuliah gratis dari berbagai universitas tenar di Amerika yang ditawarkan melalui Coursera.org dan diikuti oleh ratusan ribu orang dari seluruh dunia. Teknologi yang sama juga dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mengefisienkan komunikasi dan pelatihan internal.
Menilik begitu kuat dan luasnya pengaruh teknologi pada kehidupan, barangkali mengejutkan bahwa teknologi tidak banyak menyentuh proses belajar-mengajar di sekolah. Guru, orangtua dan pejabat pendidikan kerap merasa bahwa teknologi tidak terlalu relevan atau bahkan mengganggu proses belajar-mengajar formal. Telepon seluler dan mobile device lain kerap dilarang dibawa ke sekolah, atau setidaknya tidak boleh digunakan di ruang kelas. Sekolah-sekolah yang telah memiliki akses internet sering memblokir situs media sosial seperti Facebook, Twitter dan Youtube. Teknologi juga haram digunakan sebagai alat bantu dalam ujian atau tes.
Kalau pun teknologi digunakan di sekolah, seringkali penggunaannya hanya untuk mengefisienkan model pembelajaran konvensional: kalau dulu guru menyampaikan kuliah sambil menulis di papan, sekarang hal yang sama dilakukan melalui proyektor digital dan software presentasi. Kalau dulu pekerjaan rumah siswa diberikan dalam bentuk kertas tercetak, kini hal yang sama bisa disampaikan dan dikumpulkan melalui surat elektronik (email). Bila dahulu siswa membuat kliping berita dari koran-koran bekas, kini mereka melakukannya dengan bantuan Google. Esensi aktivitasnya sama, hanya dilakukan dengan media yang berbeda, tanpa memperdalam proses belajar.
Penggunaan teknologi yang superfisial terjadi juga di negara-negara maju. Lebih dari satu dekade yang lalu, Larry Cuban (2001) meneliti sekolah dan universitas di Silicon Valley, Amerika, daerah yang tergolong paling maju dalam hal penyediaan teknologi. Cuban menemukan bahwa lebih dari 50% guru tidak menggunakan komputer yang tersedia untuk mengajar – hanya sekitar 10% yang menggunakannya secara intensif, sedangkan 20-30% hanya kadang-kadang saja. Bahkan di kleas yang menggunakan komputer pun, siswa lebih sering menggunakannya hanya untuk mengetik tugas, mencari informasi di internet atau CD, dan memainkan game di waktu senggang. Jarang sekali teknologi digunakan secara terintegrasi dengan proses belajar, misalnya dengan memanfaatkan kemampuan komputer untuk memroses dan memvisualisasi informasi, atau menciptakan ruang interaksi online yang semi-informal agar lebih banyak siswa bisa menguraikan pikiran dan pendapat secara aktif.
Penggunaan teknologi secara superfisial ini akan berujung pada segregasi antara sekolah dan teknologi. Di satu sisi, sekolah identik dengan belajar-mengajar (namun sering tidak menyenangkan). Di sisi lain, teknologi identik dengan bermain dan bersosialisasi (yang seringkali lebih menyenangkan). Segregasi ini membuat guru dan sekolah, dan juga orangtua, kehilangan kesempatan untuk membentuk sikap dan perilaku siswa/anak dalam menggunakan teknologi, misalnya dalam cara memilih game, bagaimana menghindari ajakan pertemanan yang berbahaya di Facebook, bagaimana memilih orang untuk diikuti di Twitter, cara mencari dan mengevaluasi informasi di internet, dll.
Yang lebih ideal tentu adalah apabila ada sinergi antara penggunaan teknologi dengan pembelajaran di sekolah. Sebagai ilustrasi dari potensi sinergi ini, kita bisa menengok fenomena komunitas maya (online virtual communities) penggemar dari karya fiksi untuk anak dan remaja seperti serial Harry Potter dan Hunger Games. Komunitas-komunitas maya ini memanfaatkan ruang online untuk mendiskusikan berbagai aspek dari karya fiksi kesukaan mereka. Misalnya, tentang mengapa apakah keputusan seorang karakter di novel sudah sesuai dengan karakternya, atau tentang kejanggalan dalam plot yang dibangun oleh penulis. Diskusi semacam ini cair dan informal, tapi menuntut kemampuan berpikir analitis dan kritis, dan dengan demikian mengasah berbagai keterampilan bahasa yang ingin dikembangkan oleh sekolah.
Lebih jauh lagi, anggota komunitas penggemar ini juga menulis karya fiksi mereka sendiri berdasarkan karakter dan plot dari serial kesukaan mereka. Dan jangan dikira bahwa hal ini hanya dilakukan segelintir pembaca. Di salah satu situs yang memuat “fan fiction” (www.fanfiction.net) saat ini sudah ada lebih dari 600 ribu fan fiction Harry Potter, lebih dari 200 ribu fan fiction Twilight, dan lebih dari 21 ribu fan fiction Hunger Games. Penulisan fan fiction seperti ini tentu memerlukan imajinasi dan kreativitas, daya analisis untuk membaca karakter dan mengembangkan plot cerita, serta kepercayaan diri untuk mempublikasikannya untuk dibaca dan dikomentari siapa pun yang punya akses internet. Penelitian Jen Scott Curwood dari University of Sydney mengenai komunitas penggemar maya serial Hunger Games menunjukkan bahwa banyak remaja yang tidak senang dengan pelajaran bahasa di sekolah menjadi gemar membaca dan menulis dalam di komunitas maya. Ini menunjukkan nilai motivasi dari praktik berbahasa yang dilakukan dalam konteks yang otentik, seperti komunitas penggemar online ini. Hal ini amat kontras dengan pelajaran bahasa di sekolah yang kerap diikuti dengan ogah-ogahan.
Fenomena penggemar fiksi online ini membuka banyak kemungkinan inovasi pembelajaran. Berikut beberapa contoh yang diberikan oleh Curwood terkait dengan serial Hunger Games: menulis lagu mengenai buku tersebut dan memeragakannya; membuat jurnal yang menggambarkan perjalanan seorang karakter di serial Hunger Games; membuat movie trailer-nya; membuat peta yang mewakili berbagai aspek dari dunia Hunger Games; serta membuat kartun atau drama mengenai dinamika sosial dan politik yang terjadi di serial tersebut (lihat di http://www.jensc.org/2012/03/reading-and-responding-to-the-hunger-games/). Guru yang kreatif akan bisa menggunakan aktivitas-aktivitas ini bukan saja untuk kelas bahasa, tapi juga untuk pelajaran lain yang sesuai dengan tema novel yang menjadi acuan, seperti sejarah, sosiologi, bahkan matematika.
Subscribe to:
Posts (Atom)