Tuesday, December 1, 2020

Seberapa besar kesenjangan hasil belajar matematika siswa SD di Indonesia?

Oleh: Anindito Aditomo

Salah satu ukuran utama kualitas sekolah dan sistem pendidikan adalah hasil belajar siswanya. Pengetahuan dan keterampilan apa yang diperoleh siswa dari proses belajar mengajar di sekolah? Jika siswa tidak bertambah pintar setelah sekian tahun menjalani proses belajar-mengajar, mutu sekolah tentu patut dipertanyakan.

Dalam hal ini, yang kerap mendapat perhatian adalah hasil belajar siswa secara keseluruhan (rata-rata). Contohnya adalah ranking mutu sistem pendidikan yang dibuat studi internasional seperti PISA atau TIMSS, atau ranking sekolah yang diumumkan Kemendikbud berdasarkan rata-rata skor Ujian Nasional. Yang juga sering diperhatikan adalah hasil belajar terbaik. Misalnya, siswa yang mendapat skor ujian tertinggi di sebuah sekolah atau daerah kerap masuk berita. Atau, banyak sekolah yang membanggakan jumlah siswanya yang berhasil meraih medali olimpiade atau lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri.

Problem kesenjangan

Yang lebih jarang dan sebenarnya juga amat penting diperhatikan adalah variasi dalam hasil belajar tersebut. Variasi hasil belajar ini bisa antar sekolah atau antar sektor pendidikan (misalnya, sekolah negeri vs. swasta, SMA vs. SMK, atau SMA vs. MAN). Variasi hasil belajar antar sekolah dan sektor pendidikan yang (terlalu) tinggi merupakan sebuah masalah.

Hal ini problematis karena mencerminkan kesenjangan dalam hal layanan yang diberikan oleh sekolah dan pemerintah. Idealnya, kualitas layanan publik bersifat merata. Mau sekolah di mana pun, siswa seharusnya mendapat guru, fasilitas, dan proses belajar yang baik.

Variasi juga bisa terjadi antar kelompok siswa (misalnya, etnis atau gender) dan antar kelompok masyarakat (misalnya, siswa dari keluarga kaya dan miskin). Variasi antar kelompok yang besar juga merupakan masalah. Kesenjangan antar kelompok ini disebut sebagai problem equity atau keadilan pendidikan, karena menunjukkan bahwa prestasi siswa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di luar kendalinya.

Misalkan prestasi sekolah siswa ditentukan oleh seberapa tinggi pendidikan ayah-ibunya atau seberapa baik fasilitas belajar yang ada di rumah. Ini problematis, karena siswa tidak bisa memilih dilahirkan di keluarga kaya atau miskin. Karena itu, semakin besar kecilnya pengaruh latar belakang sosial-ekonomi terhadap prestasi akademik siswa dianggap sebagai indikator keadilan pendidikan.

Seberapa besarkah variasi atau kesenjangan antar sekolah dan kelompok masyarakat ini di Indonesia? Tulisan ini menyajikan perkiraan besarnya kesenjangan dalam hasil belajar pada siswa kelas 4 SD di Indonesia. Data yang saya gunakan berasal dari studi TIMSS 2015 yang mengukur penguasaan matematika dan sains (IPA). Agar lebih fokus, saya hanya membahas hasil belajar matematika saja.

Kesenjangan antar sekolah

Dalam TIMSS 2015, rata-rata skor siswa SD kelas 4 di Indonesia adalah sekitar 397, sedangkan rata-rata internasional adalah 500. Skor ini mencerminkan penguasaan matematika yang tergolong paling rendah secara internasional (setidaknya dibanding negara-negara peserta studi TIMSS 2015).

Sampel TIMSS 2015 di Indonesia mencarkup 230 sekolah dasar. Grafik (histogram) berikut memberi gambaran tentang variasi skor antar 230 SD tersebut.

Tampak bahwa terdapat rentang skor yang cukup besar. Di satu sisi (sebelah kanan histogram) ada sekolah yang siswanya secara rata-rata memiliki skor mendekati 600. Itu setara dengan skor rata-rata siswa di Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Di sisi lain (sebelah kiri histogram), ada sekolah yang skornya mendekati angka 200.

Kalau dihitung secara lebih cermat, skor matematika sekolah pada posisi 10% teratas adalah sekitar 466, sedangkan skor sekolah pada posisisi 10% terbawah adalah sekitar 300. Dengan kata lain, kesenjangan antara sekolah-sekolah paling top dan paling bawah di Indonesia adalah sekitar 166 poin. Ini mencerminkan kesenjangan mutu yang cukup besar. Sayangnya, informasi tentang lokasi sekolah tidak menjadi bagian dari data publik TIMSS, sehingga tidak mungkin mengetahui di mana kesenjangan tersebut terjadi.

Kesenjangan sosial-ekonomi

Kesenjangan sosial-ekonomi dalam pendidikan diukur dari seberapa erat kaitan antara status sosial-ekonomi (SES) dengan prestasi akademik siswa. Seperti disebutkan sebelumnya, kuatnya kaitan status sosial-ekonomi dengan prestasi akademik adalah indikator dari ketidakadilan sistem pendidikan.

Status sosial-ekonomi siswa dapat dilihat dari tingkat pendidikan dan prestise pekerjaan orangtua. Status sosial-ekonomi juga bisa dilihat dari pendapatan dan sumberdaya finansial/material yang dimiliki keluarga. Dalam analisis berikut, saya hanya akan melihat data TIMSS tentang tingkat pendidikan orangtua dan sumberdaya keluarga yang dapat mendukung kegiatan belajar di rumah (buku dan akses internet).

Secara metodologis, kaitan SES dan prestasi belajar diukur menggunakan teknik statistik bernama regresi multijenjang atau multilevel. Teknik ini memungkinkan kita untuk memisahkan kaitan antar variabel pada level individu (siswa) dan kelompok (kelas atau sekolah). Tabel berikut menyajikan hasil regresi multijenjang data TIMSS 2015 untuk sampel Indonesia.

Pendidikan ortuFasilitas belajar
Antar siswa11,046,48
Antar sekolah41,3133,11

Angka yang ada di tabel adalah perbedaan skor antar kategori pendidikan ortu dan fasilitas belajar. TIMMS membagi pendidikan orangtua ke dalam lima kategori, mulai dari SD, SMP, SMA, diploma, dan sarjana (atau lebih tinggi). Pada level individu, skor matematika siswa yang orangtuanya berpendidikan sarjana secara rata-rata lebih tinggi 11 poin dibanding siswa (di sekolah yang sama) yang ortunya berpendidikan diploma. Jika yng dibandingkan adalah siswa yang ortunya berpendidikan sarjana vs. SD, maka selisihnya menjadi 11 x 4, alias sekitar 44 poin.

Pada level sekolah, kesenjangannya lebih besar lagi. Sekolah yang rata-rata siswanya memiliki ortu sarjana memiliki skor matematika yang 41 poin lebih tinggi dibanding sekolah yang rata-rata siswanya memiliki ortu lulusan diploma. Jika yang dibandingkan adalah sekolah dengan kategori tertinggi (ortu siswa kebanyakan sarjana) dan terendah (ortu siswa kebanyakan lulusan SD), selisih skornya adalah sekitar 160 poin. Ini hampir sama dengan kesenjangan antara sekolah terbaik dan terburuk di Indonesia (lihat bagian sebelumnya).

Meski tidak sekuat pendidikan orangtua, fasilitas belajar di rumah juga memiliki kaitan serupa dengan hasil belajar matematika siswa. Dalam hal ini, TIMSS membagi fasilitas belajar ke dalam tiga kategori: buruk, sedang, dan baik. Siswa yang memiliki buku dan koneksi internet pada kategori tertinggi, secara rata-rata juga memiliki skor matematika lebih tinggi 13 poin (6,5 x 2) dibanding mereka pada kategori terendah. Di level sekolah, selisihnya adalah sekitar 66 poin.

Penutup

Temuan di atas menunjukkan besarnya peran latar belakang keluarga pada prestasi di sekolah. Hal ini sebenarnya sudah cukup lama disadari, setidaknya sejak tahun 1960-an dengan terbitnya hasil penelitian di Amerika yang kemudian terkenal sebagai Coleman Report. Berita buruknya lagi, kesenjangan pendidikan antar kelas sosial-ekonomi tidak banyak berkurang setelah sekian dekade.

Apakah ini berarti sekolah gagal dalam mengatasi problem kesenjangan? Jawabannya tergantung dari perspektif mana kita melihat. Di satu sisi, kebanyakan sekolah memang terlihat tidak berhasil menutup kesenjangan. Tapi di sisi lain, riset menunjukkan bahwa sebenarnya ada hal-hal yang bisa dilakukan guru dan sekolah untuk mengatasinya. Barangkali ini akan saya bahas di tulisan berikutnya.

Monday, November 30, 2020

Fasilitas di rumah dan ketimpangan pendidikan

 Oleh: Anindito Aditomo

Salah satu topik yang sedang menjadi fokus riset saya adalah ketimpangan pendidikan (educational inequality). Riset di bidang ini berusaha memahami mengapa siswa yang dari keluarga miskin cenderung meraih prestasi dan jenjang pendidikan lebih rendah daripada rekannya dari keluarga lebih mapan. Ketimpangan pendidikan sudah terdokumentasi dan menjadi perhatian peneliti di Barat sejak sekitar pertengahan abad ke-20. Di Amerika, Coleman report menjadi pemantik kesadaran tentang besarnya ketimpangan antar kelompok ras/etnis (yang tumpang tindih dengan kelompok sosial-ekonomi). Di Eropa, ketimpangan pendidikan menjadi perhatian ilmuwan sosial terkemuka seperti Basil Bernstein di Inggris dan Pierre Bourdieu di Perancis. Survei-survei internasional seperti PISA dan TIMSS menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.

Apa penyebab terjadinya ketimpangan pendidikan? Di antara banyak faktor lainnya, salah satu penyebabnya adalah ketimpangan dalam hal fasilitas yang ada di rumah (home resources). Orangtua yang lebih berpendidikan dan lebih mapan secara ekonomi otomatis juga lebih mampu menyediakan berbagai fasilitas di rumah. Akses pada fasilitas ini kemudian sedikit banyak membantu anak untuk menjadi lebih berprestasi di sekolah. Namun fasilitas rumah seperti apa saja yang berpengaruh positif pada prestasi anak di sekolah? Bersama Dr. Jia He (peneliti di DIPF dan Tilburg University), saya berusaha menjawab pertanyaan ini untuk konteks Indonesia. Sampel yang kami gunakan adalah sekitar 6500 siswa dari 236 sekolah dari seluruh Indonesia yang merupakan bagian dari studi PISA 2015.

Jenis fasilitas di rumah

Studi PISA mengukur pencapaian akademik diukur melalui tes penalaran matematika, sains, dan bahasa. PISA juga mengumpulkan informasi mengenai latar belakang siswa, termasuk tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua serta berbagai fasilitas yang dimiliki di rumah. Jenis fasilitas rumah ini bisa dikelompokkan dalam empat kategori. Yang pertama adalah fasilitas yang menjadi penanda kekayaan secara umum, seperti jumlah kamar, TV, motor, dan mobil.

Yang kedua adalah karya seni dan sastra seperti buku puisi, novel klasik, dan lukisan. Kategori ini dianggap penting dalam teori modal budaya Bourdieu. Meski tidak secara langsung terkait pelajaran sekolah, karya sastra dan seni dianggap Bourdieu sebagai cermin nilai-nilai dan cara berpikir “kelas atas”. Dengan mencerna karya-karya sastra dan seni, siswa berkesempatan menginternalisasi nilai-nilai dan cara berpikir yang dipandang “tinggi” dan dihargai di sekolah. Secara teoretis, ketimpangan akses fasilitas budaya di rumah berkontribusi pada ketimpangan pendidikan.

Yang ketiga adalah hal-hal yang secara tradisional dianggap sebagai fasilitas belajar seperti meja belajar, tempat yang nyaman untuk belajar, serta kamus dan buku-buku pelajaran sekolah. Secara teoretis, kategori fasilitas ini seharusnya mendukung proses belajar siswa. Dengan demikian, ketimpangan akses fasilitas pendidikan di rumah ikut melanggengkan ketimpangan dalam hal prestasi dan pencapaian akademik lainnya di sekolah.

Yang terakhir adalah fasilitas ICT. Dalam rancangan awal PISA, kategori ini sebenarnya merujuk pada barang-barang digital secara umum seperti koneksi internet, tablet digital, komputer, dan ponsel pintar. Namun analisis kami menunjukkan bahwa “software pendidikan” dan “laptop untuk keperluan sekolah” justru menjadi dua indikator paling penting kategori ini untuk konteks Indonesia. (Evaluasi model pengukuran ini akan saya ceritakan dalam tulisan lain.) Dengan demikian, kategori ICT ini lebih tepat disebut sebagai fasilitas belajar berbasis ICT. Sama dengan kategori ketiga, fasilitas ICT seharusnya turut berkontribusi pada ketimpangan pendidikan.

Analisis dan temuan

Data kami analisis menggunakan pemodelan persamaan struktural (structural equation modeling, SEM) dengan bantuan Mplus. Analisis juga memperhatikan sifat data PISA yang clustered (kelompok siswa dalam sekolah). Secara konseptual, tingkat pendidikan dan profesi orangtua ditempatkan sebagai variabel independen (manifes), sedangkan empat kategori fasilitas rumah sebagai variabel perantara (mediator laten). Kedua kelompok variabel tersebut digunakan untuk memprediksi skor tes penalaran matematika, sains, dan bahasa (dalam tiga model terpisah).

Hasil analisis menunjukkan bahwa fasilitas belajar – terutama yang berbasis ICT – memiliki daya prediksi paling kuat terhadap skor penalaran di ketiga bidang yang diteliti. Kenaikan satu jenjang fasilitas pendidikan konvensional (buku, meja belajar, dll.) diikuti oleh kenaikan sekitar 30 poin penalaran. Untuk fasilitas pendidikan berbasis ICT (software pendidikan, koneksi internet, dll.), kenaikan satu jenjang diikuti oleh kenaikan sekitar 50 poin penalaran. Dalam estimasi OECD, 30 poin dalam tes PISA secara rata-rata mencerminkan efek dari satu tahun pelajaran. Dengan demikian, asosiasi antara fasilitas pendidikan di rumah dengan skor penalaran bisa dianggap cukup kuat.

Yang tidak diduga adalah temuan terkait fasilitas budaya. Hasil analisis menunjukkan bahwa fasilitas budaya tidak terkait secara signifikan dengan skor penalaran bahasa dan sains (dan justru sedikit negatif untuk penalaran matematika). Ini bertentangan dengan teori modal budaya Bourdieu dan juga hasil penelitian empiris sebelumnya. Analisis data PISA di banyak negara anggota OECD menunjukkan bahwa fasilitas budaya memiliki kaitan erat dengan prestasi akademik. Di negara-negara tersebut, fasilitas belajar di rumah justru tidak berdampak pada prestasi siswa di sekolah. Perbedaan antara temuan dari negara OECD vs. temuan dari Indonesia ini mungkin mencerminkan perbedaan konteks sosial-ekonomi. Di negara-negara yang ekonominya sudah lebih maju, fasilitas belajar di sekolah dan komunitas (misalnya, perpustakaan umum) lebih banyak tersedia. Karena itu, fasilitas belajar di rumah menjadi tak terlalu penting.

Selain itu, fasilitas penanda kekayaan justru terkait secara negatif dengan skor penalaran di ketiga bidang. Besaran asosiasinya juga sekitar 50 poin, namun dengan arah negatif (kenaikan satu jenjang kekayaan diikuti oleh penurunan 50 poin penalaran). Artinya, ketika kita membandingkan siswa dari keluarga dengan level sosial-ekonomi setara (dalam hal pendidikan/profesi ortu, fasilitas budaya, dan fasilitas belajar), maka mereka yang memiliki lebih banyak benda-benda penanda kekayaan (mobil, motor, kamera digital) cenderung lebih buruk prestasinya.

Terakhir, hasil uji mediasi menunjukkan bahwa fasilitas belajar menjelaskan sekitar 60 sampai 75% dari asosiasi antara tingkat pendidikan dan profesi orangtua dengan skor penalaran bahasa, matematika, dan sains siswa. Ini mendukung hipotesis bahwa fasilitas belajar (konvensional dan ICT) berperan penting dalam ketimpangan pendidikan. Dengan kata lain, akses fasilitas belajar di rumah adalah salah satu alasan mengapa siswa yang orangtuanya berpendidikan tinggi dan memiliki profesi bergengsi (kelas menengah-atas) juga cenderung berprestasi lebih baik di sekolah.

Simpulan

Analisis data PISA yang kami lakukan menggarisbawahi pentingnya keputusan investasi orangtua. Dengan sumberdaya yang sama, orangtua bisa memilih untuk berinvestasi pada hal-hal seperti kamera/motor/mobil vs. untuk fasilitas belajar, dengan dampak yang berbeda pada prestasi akademik anak. Dari perspektif kebijakan, hasil analisis ini menunjukkan bahwa fasilitas belajar yang bisa diakses oleh publik (seperti perpustakaan umum) mungkin merupakan komponen penting dalam upaya menutup ketimpangan pendidikan. Temuan-temuan ini juga menunjukkan manfaat dari analisis sekunder yang kontekstual terhadap data PISA.

Saturday, November 28, 2020

Mengukur Kualitas Pengajaran: Validitas Konstruk

Oleh: Anindito Aditomo

Dalam tulisan sebelumnya saya memaparkan bias-bias yang kerap muncul ketika guru dan siswa diminta menilai kualitas pengajaran. Akibat bias-bias tersebut, skor hasil pengukuran tidak hanya memuat eror yang acak, tapi eror yang sistematis. Semakin besar eror sistematis dalam hasil pengukuran, semakin buruk validitasnya. Tulisan ini membahas lebih lanjut apa itu validitas hasil pengukuran.

Dalam hal ini saya mengambil perspektif validitas konstruk yang pertama dicetuskan oleh Cronbach dan Meehl (1955) dan terus dikembangkan sebagai bagian dari standar asesmen oleh organisasi-organisasi seperti AERA, NCME, dan APA. Dalam perspektif ini, validasi pengukuran adalah sebuah proses pengujian teori. Mengapa demikian? Hal ini akan lebih jelas jika kita ingat kaitan antara indikator dan konstruk laten.

Lompatan dari indikator ke konstruk laten

Pengukuran psikologis melibatkan inferensi dari indikator-indikator yang terlihat menuju simpulan tentang sebuah konstruk laten seperti kualitas pengajaran. Lompatan inferensial ini tidak mungkin sempurna. Simpulan kita tentang konstruk laten tidak mungkin 100% pasti. Karena itu kapan pun ada lompatan dari indikator ke konstruk laten, konsep validitas konstruk menjadi relevan. Validitas konstruk menjadi relevan when we wish to go beyond what we can observe.

Apakah validitas konstruk selalu relevan dalam pengukuran? Tidak. Kita bisa saja menggunakan indikator sebagai data. Dalam arti, menggunakan data bukan sebagai penanda dari sesuatu yang ada di balik indikator tersebut. Sebagai contoh, ijazah tertinggi bisa digunakan untuk mengukur tingkat pendidikan formal.

Ijazah tertinggi ==> Tingkat pendidikan formal

Perhatikan bahwa di sini (hampir) tidak ada lompatan inferensi. Tingkat pendidikan hanya sinonim saja dari ijazah tertinggi. Seseorang dengan ijazah tertinggi SMA kita sebut sebagai memiliki tingkat pendidikan SMA. Kita tidak sedang membuat lompatan dari indikator tampak ke hal yang bersifat lebih abstrak. Lain halnya jika kita ingin mengukur kemampuan bernalar, misalnya.

Ijazah tertinggi ==> Kemampuan bernalar

Ijazah tertinggi memang bisa saja digunakan sebagai indikator dari kemampuan bernalar. Catatannya adalah bahwa kemampuan bernalar bukan sinonim dari ijazah tertinggi. Dengan kata lain, ketika anda membuat simpulan tentang kemampuan bernalar seseorang berdasarkan ijazah tertingginya, anda sedang membuat inferensi dari indikator ke sebuah konstruk laten. Dari sesuatu yang tampak ke sesuatu yang bersifat teoretis.

Sekarang mari ambil contoh yang terkait dengan pengajaran. Katakanlah anda mengumpulkan data berupa keterlambatan masuk kelas. Data ini dikumpulkan untuk setiap hari untuk setiap guru. Di akhir semester, data tersebut bisa dijumlahkan dan digunakan sebagai indeks ketepatan waktu guru selama satu semester.

Keterlambatan masuk kelas ==> Ketepatan waktu dalam mengajar

Perhatikan bahwa ketepatan waktu dan keterlambatan hanya sinonim belaka. Tidak ada inferensi atau lompatan konseptual dari satu ke yang lainnya. Sekarang bayangkan jika data tersebut digunakan untuk mengukur kualitas pengajaran.

Keterlambatan masuk kelas ==> Kualitas pengajaran

Di sini ada lompatan konseptual dari data ke simpulan. Dengan kata lain, ada inferensi dari indikator ke konstruk laten yang ingin diukur. Keterlambatan dan kualitas pengajaran jelas bukan hal yang sama.

Teori dan validitas konstruk

Secara skematis, lompatan dari indikator ke konstruk laten bisa digambarkan seperti ini:

Validitas berbicara tentang seberapa kuat simpulan yang bisa diambil tentang sebuah konstruk berdasarkan observasi terhadap sekumpulan indikator. Dengan kata lain, validitas dikatakan tinggi ketika kita bisa dengan yakin membuat simpulan berdasarkan hasil sebuah pengukuran. Sebaliknya, validitas dikatakan rendah jika kita ragu-ragu tentang apa yang bisa disimpulkan dari hasil pengukuran. 

Melanjutkan contoh di atas, misalkan saya ingin mengambil simpulan tentang guru-guru yang layak diberi penghargaan berdasarkan kualitas pengajarannya. Jika indikator yang saya gunakan hanya keterlambatan masuk kelas dari tiap guru, apakah saya bisa membuat simpulan yang kuat tentang kualitas pengajaran tiap guru dan siapa saja yang layak diberi penghargaan? Rasanya tidak.

Bagaimana cara agar hasil pengukuran memiliki validitas tinggi?

Dari perspektif validitas konstruk, hal pertama yang perlu dilakukan adalah merumuskan atau memetakan apa yang hendak diukur secara cermat. Apa esensi dari konstruk sasaran kita? Apa saja bagian-bagian utamanya? Apa saja indikator yang mencerminkan manifestasi dari tiap bagian konstruk tersebut? Proses ini adalah kebalikan dari proses inferensi.

Jika ingin mengukur kualitas pengajar, maka kita perlu punya gambaran yang jelas tentang apa itu pengajaran yang berkualitas. Rumusan atau peta konstruk sasaran lazimnya kita peroleh dari teori yang relevan.

Untuk kualitas pengajaran, ada beberapa teori yang bisa digunakan. Ada teori yang memotret kualitas pengajaran secara generik (umum) berdasarkan iklim atau suasana kelas. Termasuk di sini adalah teori tiga dimensi kualitas pengajaran yang diajukan oleh Klieme dkk [lihat artikel ini dan ini]. Kalau disederhanakan, pengajaran dikatakan berkualitas menurut teori ini ketika berhasil menciptakan iklim kelas yang memiliki tiga hal:

  • struktur dan keteraturan yang memungkinkan siswa memusatkan perhatian pada materi belajar,
  • dukungan afektif yang mendorong siswa untuk merasa nyaman dan menikmati proses belajar, dan
  • aktivitas kognitif dan metakognitif yang relevan untuk tujuan belajar.

Dari uraian awal ini kita bisa mulai membayangkan bagaimana kualitas pengajaran akan diukur. Misalnya, kita tahu bahwa setidaknya ada tiga hal atau dimensi yang perlu diukur. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi indikator yang tepat untuk tiap dimensi tersebut. Ini memerlukan pemahaman yang lebih rinci tentang teori tersebut dan penelitian-penelitian yang mendukungnya.

Tentu, teori tiga dimensi generik ini bukan satu-satunya teori yang bisa digunakan untuk mengukur kualitas pengajaran. Kelompok teori lain yang mendefinisikan kualitas pengajaran berdasarkan praktik yang diterapkan oleh guru. Dalam pendekatan ini, pengajaran dianggap berkualitas ketika menerapkan praktik-praktik tertentu yang menurut penelitian terbukti efektif membantu siswa belajar.

Misalnya, pengajaran yang melibatkan aktivitas inkuiri yang terstruktur dipandang efektif terutama untuk matematika dan sains. Menggunakan teori ini, kualitas pengajaran bisa diukur dengan melihat frekuensi dan jenis aktivitas inkuiri serta struktur/panduan yang digunakan oleh guru. Semakin sering guru menerapkan aktivitas inkuiri dengan panduan yang tepat, semakin baik kualitas pengajaran guru tersebut. Jika ingin menggunakan teori ini untuk mengukur kualitas pengajaran, kita perlu mengkaji literatur untuk mengidentifikasi aktivitas inkuiri dan panduan yang efektif untuk tujuan belajar tertentu.

Memilih teori

Jika ada beberapa alterantif, teori mana yang sebaiknya kita gunakan? Pada prinsipnya, teori yang baik adalah yang memiliki basis empiris yang kuat. Dengan kata lain, teori yang didukung oleh hasil penelitian ilmiah.

Selain itu, tentu kita ingin teori yang sesuai dengan keperluan. Jika anda perlu melihat kualitas pengajaran secara komprehensif pada berbagai pelajaran dan jenjang pendidikan, maka teori tiga dimensi generik mungkin cocok. Namun jika anda ingin melihat dampak pengajaran pada luaran kognitif pada pelajaran tertentu, mungkin anda lebih memerlukan teori tentang efektivitas praktik atau metode pengajaran pada pelajaran tersebut.

Sebagai penutup, tidak ada hasil pengukuran yang 100% valid. Sekuat apa pun teori yang digunakan, sebanyak apa pun indikator yang digunakan, dan sebaik apa pun instrumen serta prosedur yang diterapkan untuk mengumpulkan data, lompatan inferensial dari indikator ke konstruk laten tidak mungkin sempurna. Kuat lemah validitas inferensi ini selalu perlu dievaluasi dan dijustifikasi.

Sunday, November 15, 2020

Mengukur Kualitas Pengajaran: Konstruk Laten dan Eror Pengukuran

Oleh: Anindito Aditomo

Pengajaran boleh dibilang sebagai salah satu proses paling penting yang berlangsung di sekolah. Pengajaran adalah wahana utama bagi proses belajar siswa. Sebagian besar waktu siswa di sekolah digunakan untuk mengikuti pelajaran di kelas. Sebagian besar waktu guru juga didedikasikan untuk merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pengajaran di kelas.

Mengingat peran pentingnya, kualitas pengajaran seharusnya menjadi salah satu indikator utama mutu sebuah sekolah. Persoalannya, mengukur kualitas pengajaran secara valid bukan hal yang mudah. Bahkan pengukuran kualitas pengajaran adalah sebuah topik yang tergolong cutting edge dan juga kontroversial dalam riset pendidikan.

Dalam tulisan ini, pengukuran kualitas pengajaran saya pakai sebagai ilustrasi untuk menjelaskan beberapa konsep dasar pengukuran variabel laten. Saya mulai dengan membahas konsep konstruk laten dan eror pengukuran.

Kualitas pengajaran sebagai konstruk laten

Tidak seperti meja atau kursi, kualitas pengajaran bukan barang fisik yang bisa langsung dihitung jumlahnya dan diukur dimensinya dengan meteran. Kualitas pengajaran adalah sebuah gagasan, sebuah deskripsi mengenai karakteristik dari fenomena sosial-psikologis yang disebut pengajaran.

Dalam istilah psikologi, kualitas pengajaran disebut sebagai konstruk laten. Disebut konstruk karena merupakan hasil konstruksi pemikiran. Disebut laten karena tidak tampak secara nyata alias tersembunyi. Sebagian besar variabel yang menjadi topik penelitian ilmu sosial adalah konstruk laten. Sebagai contoh, berikut adalah konstruk-konstruk laten yang populer di bidang psikologi dan pendidikan: kompetensi, kepribadian, motivasi, prestasi akademik, kecerdasan, harga diri, kesejahteraan psikologis, efikasi diri, strategi belajar, dst.

Karena bersifat laten, konstruk-konstruk tersebut hanya bisa diukur secara tidak langsung melalui hal-hal yang diasumsikan sebagai indikatornya. Indikator dari konstruk-konstruk dalam ilmu psikologi dan pendidikan adalah perasaan, pemikiran, dan perilaku.

Sebagai contoh sederhana, kepribadian ekstrover bisa diukur melalui frekuensi mengikuti acara-acara sosial bersama teman. Motivasi instrinsik bisa diukur dari frekuensi mengalami perasaan gembira ketika mempelajari sesuatu. Efikasi diri bisa diukur melalui kuat lemahnya keyakinan (pemikiran) tentang kemampuan menyelesaikan sebuah tugas dengan baik. Kecerdasan bisa diukur dari perilaku ketika mengerjakan soal-soal tes yang menuntut pemikiran logis. Dan seterusnya.

Bias respon dan eror pengukuran

Bagaimana dengan kualitas pengajaran? Indikator apa saja yang relevan untuk mengukurnya? Untuk mengidentifikasi indikator yang tepat untuk mengukur pengajaran, hal pertama yang sebenarnya kita butuhkan adalah sebuah teori yang kuat dan relevan. Teori-teori ini akan saya bahas dalam tulisan lain. Di sini saya akan ambil jalan pintas untuk mengilustrasikan konsep eror pengukuran.

Tanpa teori yang kuat, salah satu jalan pintas yang bisa kita ambil adalah dengan meminta guru untuk menilai kualitas pengajarannya sendiri. Dengan kata lain, kita sedang berasumsi bahwa penilaian diri ini merupakan sebuah indikator yang bisa digunakan untuk mengetahui konstruk laten.

Misalnya, guru bisa diminta untuk menjawab pertanyaan semacam ini:

Seberapa baik kualitas pengajaran anda dalam seminggu terakhir?

Opsi jawabannya bisa berupa skala dengan label yang mencerminkan tingkatan kualitas, misalnya:

Nol („hancur lebur") sampai 10 („sempurna tanpa cela“) 

Data bisa dikumpulkan tiap hari Jumat sehingga pada akhir semester kita akan memperoleh sebuah angka yang mewakili kualitas pengajaran tiap guru.

Mudah dibayangkan bahwa penilaian diri semacam ini mengandung bias. Sebagian besar guru tentu ingin menampilkan diri sebagai pengajar yang baik. Bias ini akan semakin kuat jika skornya dipakai untuk keperluan resmi seperti penilaian kinerja dan kenaikan pangkat.

Selain keinginan sadar untuk tampil positif, manusia juga punya kebutuhan intrinsik untuk merasa sebagai orang baik. Ini adalah hal yang wajar. Namun dalam konteks pengukuran, kebutuhan psikologis ini menjadi sumber bias. Guru yang berusaha jujur pun akan secara tidak sadar memberi penilaian yang positif mengenai dirinya. [Baca artikel berikut untuk lebih paham tentang bias-bias ini: artikel 1, artikel 2artikel 3.]

Bias-bias ini merupakan sumber eror sistematis dalam pengukuran. Disebut eror karena indikator yang kita lihat tidak mencerminkan konstruk laten secara akurat. Disebut sistematis karena eror tersebut memiliki arah tertentu. Dalam contoh, erornya memiliki arah positif sehingga indikator yang kita peroleh (penilaian diri) merupakan estimasi yang terlalu tinggi dari konstruk yang ingin diukur (kualitas pengajaran).

Penilaian siswa sebagai indikator kualitas pengajaran

Selain dari penilaian diri guru, kualitas pengajaran sering diukur dari persepsi atau penilaian siswa. Pada dasarnya, persepsi siswa merupakan hasil observasi. Siswa diasumsikan sebagai pengamat atas proses pengajaran. Dibanding pihak lain, siswa sebenarnya tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi sehari-hari di kelas. Karena itu penilaian siswa memang bisa digunakan untuk mengukur kualitas pengajaran.

Aspek apa saja dari proses pengajaran yang perlu diperhatikan dan dilaporkan oleh siswa? Di sini lagi-lagi kita perlu teori. Tapi jika mau mengambil jalan pintas dan sekadar mengandalkan common sense, kita bisa meminta siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam:

„Apakah cara mengajar guru X membuat anda mengerti materi pelajaran?“

Secara keseluruhan, seberapa efektifkah metode pengajaran guru X?“

Sebagaimana laporan diri guru, jawaban siswa terhadap pertanyaan semacam ini juga rentan mengandung bias dan karena itu bukan indikator yang baik untuk mengukur kualitas pengajaran.

Salah satu sumber eror ini adalah ketidakmampuan siswa untuk mengukur tingkat pemahamannya sendiri. Persepsi siswa seringkali lebih dipengaruhi oleh gaya penyampaian informasi guru daripada tingkat pemahaman yang benar-benar dimiliki siswa. Jika guru menyampaikan materi secara satu arah dengan lancar dan menyenangkan, siswa cenderung merasa paham. Sebaliknya, jika guru sering melontarkan pertanyaan dan tugas yang menuntut siswa berpendapat dan berpikir, siswa akan cenderung merasa kurang memahami materi.

Akibatnya, guru yang pandai dan gemar berceramah cenderung dinilai siswa secara lebih positif dibanding guru yang menggunakan metode interaktif. Masalahnya, apakah benar bahwa guru yang pandai ceramah itu memang lebih efektif dalam mengembangkan pemahaman siswa? Justru sebaliknya: riset menunjukkan bahwa metode interaktif seringkali lebih efektif dibanding metode ceramah. Dengan demikian, sebagaimana kecenderungan guru untuk menilai diri secara positif, bias dalam penilaian siswa juga bersifat sistematis. Pengajaran yang sebenarnya lebih efektif justru cenderung dinilai negatif oleh siswa.

Eror acak dan sistematis

Uraian di atas menunjukkan bahwa penilaian diri dan penilaian siswa tentang kualitas pengajaran seringkali mengandung bias. Bias-bias yang saya contohkan di atas adalah sumber eror yang bersifat sistematis. Ini berbeda dari eror yang sifatnya acak. Eror yang acak kadang positif dan kadang negatif. Karena itu, eror acak bisa diatasi dengan mudah, yakni dengan menambah indikator atau frekuensi pengukuran.

Agar lebih jelas, saya analogikan dengan lemparan dadu. Eror pengukuran yang acak sama seperti peluang munculnya angka tertentu dari lemparan dadu. Jika kita hanya melempar tiga atau empat kali, mungkin saja kita memperoleh angka tertentu secara berturut-turut.

Tapi jika kita lemparkan terus, lama-kelamaan kita akan memperoleh semua angka dengan frekuensi yang kurang lebih sama. Dalam jangka (sangat) panjang, rata-rata peluang tiap angka adalah 1/6, yakni peluang sesungguhnya dari lemparan dadu. [Tentu saja, ini mengasumsikan lemparan dadunya adil.]

Kembali ke pengukuran kualitas pengajaran: jika erornya bersifat acak, solusinya mudah. Ukur saja dengan sebanyak mungkin indikator, dari sebanyak mungkin siswa, dengan frekeunsi yang sesering mungkin. Rata-rata dari seluruh pengukuran itu akan mencerminkan tingkat kualitas pengajaran yang „sesungguhnya.“

Gagasan menambah indikator dan frekuensi hasil pengukuran untuk memperoleh skor murni (true score) ini adalah asumsi dasar dalam teori tes klasik. Sayangnya, cara ini tidak bisa mengatasi eror yang sistematis. Upaya untuk mengidentifikasi dan mengatasi sumber eror sistematis ini adalah persoalan validitas konstruk.

Penutup

Bagaimana cara meningkatkan dan mengevaluasi validitas konstruk dalam pengukuran kualitas pengajaran? Konsep validitas konstruk akan saya uraikan dalam tulisan lain. Di sini, yang ingin saya tekankan adalah bahwa upaya meningkatkan validitas bertumpu pada teori tentang konstruk yang ingin diukur.

Kalau pembahasan di atas menunjukkan bahwa penilaian guru dan siswa mengandung bias, bukan berarti bahwa kedua sumber informasi tersebut tidak boleh dipakai untuk mengukur kualitas pengajaran. Sekali lagi, poinnya adalah bahwa penentuan indikator harus didasarkan pada teori yang kuat dan relevan tentang kualitas pengajaran.

Sunday, November 1, 2020

BELAJAR MENERIMA KEKALAHAN ADALAH BELAJAR BERDEMOKRASI

Oleh: Anindito Aditomo

Pagi tadi kami sekeluarga menonton pidato kemenangan Kamala Harris dan Joe Biden. Saya dan Ade ingin agar kedua anak perempuan kami menyaksikan momen ketika seorang perempuan multi-etnis keturunan imigran Asia dan Jamaika terpilih menjadi wakil presiden sebuah negara adidaya.

Pidato bu Harris tidak mengecewakan. Ia berbicara tentang perjalanan panjang perempuan dan kaum minoritas di Amerika untuk memperoleh hak-hak sipil seperti memilih dalam pemilu.  Penyampaiannya runtut, jelas, dan hangat. Pidatonya jauh lebih bagus dari pidato pak Biden yang berbicara setelah itu :D

Tiba-tiba ragil kami, Ayesha, bertanya, Wait, so does that mean almost half of the country doesn’t want Biden as president? Lho, jadi hampir separuh orang Amerika nggak mendukung Biden sebagai presiden?

Good question! Pertanyaan bagus, saya menimpali dengan pujian.

Pujian ini bukan basa-basi belaka. Jika ditelusuri lebih jauh, pertanyaan sederhana anak kelas 6 SD ini menyentuh salah satu problem mendasar dari demokrasi. Bahwa demokrasi tidak menghasilkan kesepakatan (mufakat). Bahwa selalu ada pihak yang kalah, pihak yang tidak terwakili dalam demokrasi.  

Sebelum menjawab lebih lanjut saya mencoba memahami apa yang ada di kepala Ayesha.

Why do you ask? Why are you concerned about that? Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa yang ada dalam pikiranmu? Saya bertanya balik.

Ternyata yang ia khawatirkan adalah penerimaan dari pendukung Trump. Bagaimana perasaan mereka? Apa mau menerima kekalahan calon yang mereka dukung?

Saya lantas teringat akan tradisi pidato pengakuan kekalahan, concession speech. Pidato kekalahan ini lazimnya disampaikan kandidat yang kalah sebelum pemenang menyampaikan pidato kemenangan. Kombinasi pidato kekalahan dan kemenangan adalah penanda penting dari berakhirnya pemilihan (election) sebagai sebuah babak dalam proses berdemokrasi.

Dilihat dari fungsinya dalam demokrasi, pidato kekalahan mungkin lebih penting dibanding pidato kemenangan. Pihak yang kalah-lah yang secara psikologis perlu diajak bicara agar mau legowo, menerima kekalahan. Pihak yang menang sih secara otomatis bergembira :D

Karena itu kandidat yang baik akan menyampaikan pidato kekalahan yang menyejukkan. Pidato yang mengajak menekankan pada persamaan ketimbang perbedaan. Pidato yang mengingatkan pentingnya menghargai proses dan hasil pemilihan yang demokratis.

Saya lantas teringat pidato kekalahan John McCain pada pemilu 2008 ketika ia melawan Obama. Menurut referensi saya yang terbatas, pidato McCain adalah pidato kekalahan terbaik yang pernah saya dengar.

McCain memulai dengan mengakui kemenangan Obama sebagai calon presiden. Pembukaan ini disambut dengan cemooh oleh audiens. Tapi McCain melanjutkan pidatonya justru dengan menjelaskan mengapa kemenangan Obama merupakan pencapaian yang patut membuat bangga seluruh warga Amerika.

Dalam penutup pidatonya, McCain menegaskan komitmennya sendiri untuk mendukung Obama sebagai presiden terpilih dan mengajak pendukungnya untuk melakukan hal yang sama. Kata-kata persisnya layak dikutip secara lebih utuh:

“... I urge all Americans who supported me to join me in not just congratulating him, but offering our next president our good will and earnest effort to find the necessary compromises to bridge our differences …”

Perhatikan bahwa McCain tidak hanya mengajak untuk memberi selamat. Pemberian selamat adalah langkah pertama dalam menerima kekalahan. McCain mengajak pendukungnya untuk mengambil langkah berikutnya yang jauh lebih sulit, yaitu mencari kompromi dan membangun jembatan antara kedua kubu.

Diucapkan dengan sungguh-sungguh, pidato kekalahan McCain yang semula dicemooh pun perlahan diganjar tepuk tangan. Meski saya yakin itu adalah tepuk tangan yang disertai uraian air mata. 

Ya, inheren dalam demokrasi adalah kekalahan dan rasa sakit yang menyertainya. Karena itu demokrasi mensyaratkan kemampuan untuk menerima kekalahan. Dan karena tidak ada orang yang senang kalah, kemampuan menerima kekalahan ini harus dibangun melalui pendidikan.

Pertanyaannya, apakah sistem pendidikan kita sudah dirancang untuk membantu anak-anak menerima kekalahan? Lebih jauh lagi, apakah pendidikan kita dirancang untuk menumbuhkan sikap-sikap demokratis lain seperti berpikir kritis, mandiri, peduli, dan terbuka?

Saya khawatir bahwa jawabannya adalah belum. Pendidikan kita saat ini lebih ingin menjejali anak-anak kita dengan hal-hal yang kita percayai benar, ketimbang membantu mereka untuk menjadi manusia-manusia yang siap berdemokrasi. Bagaimana cara mengubahnya? Mari kita pikirkan bersama!

Catatan: pidato John McCain bisa dilihat di sini:
https://www.facebook.com/NowThisNews/videos/1004529363381837

Saturday, October 31, 2020

BANYAK BERSEKOLAH TAPI TIDAK (BANYAK) BELAJAR

Oleh: Anindito Aditomo

Aktivitas membaca bebas di kelas
Tulisan ini dipantik oleh pertanyaan mas Ainun Najib di forum diskusi Kawal Pendidikan: apa masalah utama pendidikan di Indonesia? Saya mencoba menjawabnya melalui tulisan ini.
 
Kalau disebutkan satu per satu, daftar masalah pendidikan akan sangat panjang dan cenderung debilitating. Bikin depresi karena seperti memasuki terowongan yang tak kelihatan ujungnya. Karena itu, perlu perspektif untuk merumuskan masalah pokok dan baru kemudian mengidentifikasi masalah-masalah turunannya.
 
Bagi saya, masalah pokok pendidikan kita adalah soal belajar. Persoalan-persoalan lain bisa diidentifikasi sebagai masalah ketika berdampak pada persoalan belajar ini.
 
Pandangan ini tentu dipengaruhi disiplin ilmu saya, psikologi pendidikan. Tapi pandangan ini juga sejalan dengan fungsi mendasar pendidikan, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagian esensial dari mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mencerdaskan anak-anak yang bersekolah. Dengan kata lain, apa yang dipelajari – atau tidak dipelajari – para murid di sekolah berpengaruh besar pada keberhasilan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
 
Secara sederhana, belajar adalah proses dari tidak bisa menjadi bisa. Tidak paham menjadi paham. Kikuk menjadi terampil. Berpikiran melompat-lompat menjadi logis dan sistematis. Berwawasan sempit menjadi luas. Dari bersikap penuh prasangka menjadi empatik dan terbuka. Proses belajar ini seharusnya difasilitasi oleh lingkungan sekolah. Sekolah yang baik adalah sekolah di mana proses belajar terjadi karena memang direncanakan, bukan karena kebetulan.
 
Dari perspektif ini, ada pendidikan kita punya tiga masalah pokok.
 
Tidak belajar bernalar
 
Masalah pertama adalah banyak anak yang bersekolah tanpa (banyak) belajar. Memang, Indonesia boleh berbangga untuk urusan akses (enrollment) pendidikan dasar. Sebagian besar anak-anak Indonesia sudah bersekolah sampai kelas 9. Akses ke pendidikan dasar ini juga boleh dibilang berhasil memfasilitasi kemampuan baca-tulis-berhitung alias literasi dasar.
 
Sayangnya, keberhasilan pendidikan kita berhenti di sana. Kebanyakan sekolah gagal membantu anak-anak mengembangkan kemampuan bernalar. Data PISA menunjukkan bahwa setelah bersekolah selama 9 atau 10 tahun, hanya sedikit murid Indonesia (sekitar 30%) yang bisa menarik simpulan dari bacaan fiksi maupun non-fiksi. Lebih sedikit lagi yang cakap mengevaluasi keabsahan informasi yang mereka baca. Data PISA juga menunjukkan bahwa kualitas belajar anak-anak Indonesia mengalami stagnasi sejak tahun 2000 sampai 2018. Grafik berikut saya ambil dari presentasi Yuri Belfall (wakil OECD) saat memaparkan hasil PISA 2018 di Jakarta pada bulan Desember 2019.
 
 
Problem rendahnya kualitas belajar sudah sangat disadari oleh Kemendikbud. Survei-survei nasional (AKSI) yang dilakukan oleh Balitbang sendiri mengkonfirmasi problem ini. Seperti judul infografis yang diterbitkan Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang (kini Pusat Asesmen dan Pembelajaran) untuk menanggapi temuan PISA: sudah saatnya Indonesia mengalihkan perhatian dari perluasan akses ke peningkatan kualitas belajar. 
 
Belajar hal yang merusak
 
Masalah kedua adalah anak terkadang justru belajar meyakini hal-hal yang merusak (harmful) di sekolah. Sebagian dari keyakinan ini merusak dalam arti melemahkan fabrik sosial bangsa Indonesia. Contohnya adalah keyakinan bahwa orang beragama lain atau dari etnis tertentu itu jahat. Atau bahwa kelompok tertentu tidak layak diberi tempat hidup di Indonesia. Atau bahwa hanya orang-orang dari agama atau etnis tertentu yang boleh menjadi pemimpin – seperti tercermin pada kasus pemilihan ketua OSIS di sebuah SMA di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
 
Sekolah juga kadang merusak konsep diri anak. Sekolah cenderung mendefinisikan “cerdas” secara sempit pada kecerdasan akademik. Atau mungkin lebih parah lagi, “cerdas” sering tereduksi menjadi rajin dan patuh pada instruksi guru. Anak-anak dengan potensi profil di luar pakem ini terancam dianggap malas, bodoh, atau nakal. Stigma-stigma negatif kadang tersampaikan secara eksplisit, dan kadang secara implisit seperti melalui nilai rapor dan ranking yang rendah. Jika dialami berulang kali, umpan balik negatif ini dapat menciderai konsep diri anak.
 
Dalam cara yang berbeda, sekolah menciderai anak dengan mengajarkan konsep yang keliru tentang ilmu pengetahuan. Di sekolah, ilmu pengetahuan ditampilkan sebagai kepingan fakta dingin yang kadang tidak jelas kegunaannya. Anak belajar bahwa ilmu pengetahuan berharga semata-mata karena termuat di buku teks. Padahal ilmu pengetahuan terus berkembang dalam proses ilmiah yang seru. Ilmu pengetahuan menjadi berharga karena dihasilkan dari proses yang terbukti menghasilkan pemahaman mendalam tentang alam.
 
Apresiasi dan kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan – dan pemahaman dasar tentang cara kerja ilmu (science) – bukan hanya penting bagi ilmuwan atau filsuf. Pemahaman epistemik tentang ilmu ini penting secara praktis juga untuk masyarakat. Hal ini seharusnya terlihat dalam pandemi yang sedang berlangsung. Penanganan pandemi akan jauh lebih mudah jika masyarakat memahami mengapa rekomendasi ilmiah tentang Covid perlu ditaati, meski berubah-ubah dan terasa tidak “nyata” dari kacamata awam. Memakai masker ketika kita sehat, misalnya, adalah tindakan yang terasa janggal jika kita tidak percaya pada pengetahuan yang melandasi rekomendasi itu.
 
Sekolah juga bisa menciderai karena mengajarkan hal-hal yang justru mencerabut anak dari komunitasnya. Kurikulum sekolah sangat disetir oleh logika seleksi akademik. Kurikulum SMA banyak ditentukan oleh apa yang perlu dipelajari untuk siap kuliah. Kurikulum SMP ditentukan oleh apa yang perlu dipelajari agar sukses di SMA. Dan seterusnya ke bawah.
 
Dengan kata lain, kurikulum sekolah tidak bertujuan untuk menyiapkan anak agar bisa berkontribusi pada komunitas atau lingkungannya. Misalnya, anak seorang petani tidak lantas menjadi lebih paham tentang pertanian dibanding orangtuanya yang tidak mengenyam sekolah formal. Mungkin justru sebaliknya. Bersekolah membuat anak enggan untuk menjadi petani atau belajar tentang pertanian.
 
Ketimpangan kualitas belajar
 
Masalah ketiga dalam pendidikan kita adalah besarnya kesenjangan hasil belajar. Ini sama sekali bukan rahasia. Hampir semua orang tahu bahwa di tiap kota ada sekolah-sekolah favorit. SMP-SMP yang menjadi supplier bagi SMA favorit. Dan SMA-SMA yang menjadi supplier mahasiswa universitas favorit. Kesenjangan antar sekolah favorit dan yang lainnya ini luar biasa.
 
Dari pengalaman pribadi ketika anak saya mendaftar SMA di Surabaya, saya mendapati nilai terendah siswa yang diterima di SMA favorit masih lebih tinggi dibanding hampir semua SMA negeri lain di Surabaya. Secara nasional, juga terlihat kesenjangan besar antar sekolah dan daerah dalam literasi membaca, sains, dan matematika murid. Silakan cek, misalnya, perbandingan antara Jakarta, Yogyakarta, dan wilayah Indonesia lainnya di laporan nasional PISA 2018.
 
Kesenjangan hasil belajar ini beriringan dengan kesenjangan sosial-ekonomi. Anak dari keluarga miskin lebih mungkin bersekolah di sekolah yang buruk dan memperoleh hasil belajar yang lebih buruk juga. Peluang siswa dari keluarga miskin untuk berkuliah pun menjadi lebih rendah dari seharusnya. Ini berarti bahwa sekolah seringkali gagal menjadi instrumen mobilitas vertikal.
 
Persoalan kesenjangan mutu ini sudah disadari pemerintah, yang sejak beberapa tahun terakhir menerapkan sistem zonasi dan afirmasi dalam seleksi siswa baru. Kebijakan ini secara teoretis membuka pintu lebih lebar bagi siswa miskin untuk memasuki sekolah negeri (termasuk sekolah favorit). Namun kebijakan ini juga menimbulkan pesoalan karena meningkatkan variasi murid di dalam tiap sekolah. Ini menuntut adanya penyesuaian mindset guru dan praktik pedagogi. Tanpa itu, ada risiko bahwa kebijakan ini berhenti pada pemerataan akses namun gagal untuk menutup kesenjangan kualitas pengalaman dan hasil belajar.
 
Demikian argumen saya tentang masalah utama pendidikan di Indonesia. Tentu ada banyak masalah lain tidak kalah pentingnya. Tapi saya percaya bahwa kita perlu menempatkan problem belajar sebagai titik tolak untuk merumuskan masalah-masalah lain tersebut.

Wednesday, October 21, 2020

MENGUBAH PENDIDIKAN, MENGUBAH MASYARAKAT

Oleh: Anindito Aditomo | Terbit pertama 27 Oktober 2019 di portal KAGAMA 

 

Lazimnya orang berpikir bahwa pendidikan adalah instrumen perubahan sosial. Artinya, memperbaiki pendidikan adalah jalan untuk menghasilkan perubahan positif pada masyarakat.
 
Pandangan ini benar, tapi hanya separuh saja. Separuh lainnya adalah bahwa perubahan pendidikan seringkali mensyaratkan perubahan pada masyarakat. Lebih tepatnya, perbaikan sistem pendidikan perlu didahului oleh perubahan cara berpikir masyarakat.
 
Ada beberapa contoh yang mengilustrasikan dinamika tersebut. Yang pertama berasal dari Jerman. Pada awal 2009 koalisi partai Kristen Demokrat dan partai Hijau memenangkan pemilu Hamburg, sebuah kota sekaligus negara bagian di Jerman. Salah satu agenda utama koalisi tersebut adalah reformasi pendidikan, yakni perpanjangan masa sekolah dasar dari 4 menjadi 6 tahun. Karena memang menjadi platform kampanye, usul tersebut disetujui parlemen pada Oktober 2009.
 
Namun gelombang protes segera muncul. Sedemikian keras protes yang dilancarkan sampai pemerintah setuju untuk mengadakan referendum. Dilangsungkan pada Juli 2010, hampir 500 ribu orang mengikuti referendum. Bukan jumlah yang kecil di sebuah kota berpenduduk sekitar 1.7 juta orang! Sekitar 55.8% peserta referendum menolak memperpanjang masa sekolah dasar.
 
Reformasi yang diusulkan di Hamburg itu sebenarnya memiliki landasan yang kuat. Di Hamburg, siswa kelas 5 dipisahkan ke dalam dua jalur sekolah: Gymnasium dan non-Gymnasium. Gymnasium adalah sekolah untuk siswa yang dipandang lebih berbakat akademik. Non-Gymnasium adalah untuk siswa yang lainnya. Berbagai riset menunjukkan bahwa sistem tersebut melestarikan kesenjangan sosial-ekonomi. Perpanjangan masa sekolah dasar dimaksudkan agar siswa mendapat 2 tahun ekstra untuk mendapat pendidikan akademik yang komprehensif sebelum harus dipisah ke dalam dua jalur.
 
Lantas mengapa masyarakat Hamburg menolak usul tersebut? Saya tidak tahu persis, tapi sebagian sentimen penolakan terbaca dari slogan utama aktivisnya: Wir wollen lernen! Kami ingin belajar! Lho, apakah perpanjangan masa sekolah dasar menghambat anak-anak untuk belajar? Di sini menariknya. Slogan ini mencerminkan pandangan bahwa belajar bisa berlangsung lebih baik ketika siswa dipisahkan berdasarkan bakat akademiknya. Perpanjangan masa sekolah dasar berarti memperpendek masa sekolah menengah-atas yang dianggap sebagai masa ketika anak „benar-benar belajar“!
 
Contoh kedua adalah rangkaian kebijakan “yutori kyōiku” yang diterapkan di Jepang. Reformasi yutori adalah respon terhadap besarnya tekanan mental yang dirasakan siswa Jepang karena luasnya cakupan kurikulum sekolah. Selain berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis siswa, kurikulum yang terlalu luas juga dinilai melanggengkan metode pengajaran yang satu arah dan tidak mengembangkan kreativitas, kemandirian dan nalar kritis.
 
Reformasi yutori mendapatkan momentum mulai akhir 1990an. Jam pelajaran mulai dikurangi; hari Sabtu yang sebelumnya merupakan hari sekolah menjadi libur. Manifestasi reformasi yutori yang paling jelas adalah pemangkasan 30% konten kurikulum nasional pada tahun 2002. Setelah itu, pemerintah menerbitkan panduan mata pelajaran teringetrasi tentang tema-tema besar seperti lingkungan dan teknologi. Sejalan dengan hal itu, guru juga didorong untuk lebih banyak menggunakan metode problem- dan project-based learning.
 
Seperti usulan perpanjangan masa sekolah dasar di Hamburg, reformasi yutori juga memiliki landasan yang kuat. Kreativitas, kolaborasi, dan nalar kritis sulit berkembang jika guru terlalu sibuk „menyelesaikan“ konten kurikulum yang penuh sesak. Tekanan psikologis yang berlebihan juga berdampak buruk pada pemahaman materi dan kesehatan mental.
 
Apa yang terjadi? Seperti juga di Hamburg, masyarakat Jepang memandang reformasi yutori sebagai kemunduran. Pengurangan konten dan jam belajar dianggap sebagai penurunan standar akademik. Turunnya hasil tes internasional seperti PISA pada tahun 2003 dipersepsi sebagai bukti dampak buruk yutori. Banyak orangtua yang bahkan menyerbu les-lesan (kursus) yang menawarkan konten dan gaya pengajaran seperti yang dulu diperoleh di sekolah sebelum reformasi yutori!
 
Sebenarnya persepsi tentang penurunan standar akademik tidak sepenuhnya benar. Tes PISA, yang pada 2003 dijadikan salah satu bukti dampak negatif yutori, justru menunjukkan bahwa siswa Jepang menjadi semakin mahir menjawab open ended problems yang membutuhkan kreativitas dan nalar kritis. 
 
Menurut Andreas Schleicher, sang perancang PISA, peningkatan kemampuan problem solving siswa Jepang pada periode 2003-2009 adalah yang paling pesat di dunia. Ini persis seperti yang dimaksudkan oleh penggagas reformasi yutori! Namun apa lacur. Respon negatif masyarakat Jepang mendorong pemerintah untuk berkompromi dan membatalkan beberapa aspek reformasi yutori. Konten kurikulum pun berangsur ditambah kembali.
 
Contoh ketiga adalah reformasi seleksi masuk sekolah berbasis yang baru saja diterapkan di Indonesia. Ya, kebijakan zonasi adalah sebuah reformasi pendidikan yang cukup radikal. Mirip dengan perpanjangan masa sekolah dasar di Hamburg, zonasi dilatarbelakangi oleh niat untuk mengurangi kesenjangan sosial dalam pendidikan. Dengan zonasi, komposisi sosial-ekonomi siswa di tiap sekolah diharapkan menjadi lebih merata. Dengan demikian, semakin banyak siswa dari keluarga miskin yang bisa masuk ke sekolah yang selama ini dianggap favorit.
 
Seperti juga kasus Hamburg dan Jepang, zonasi di Indonesia juga direspon secara negatif oleh masyarakat. Respon tersebut sebagian dipicu oleh implementasi yang buruk. Tapi sebagian lagi alasannya lebih fundamental: zonasi melanggar beberapa keyakinan masyarakat tentang sekolah dan pendidikan. Misalnya, banyak orang merasa bahwa zonasi tidak adil karena menghukum siswa yang sudah belajar keras untuk menghadapi ujian. Secara implisit, ini mencerminkan keyakinan bahwa seleksi masuk sekolah adalah urusan kompetisi antar siswa. Mereka yang rajin dan berbakat memang seharusnya mendapat reward diterima di sekolah yang lebih baik.
 
Pada akhirnya, kebijakan zonasi pun mengalami kompromi. Daerah diperbolehkan menggunakan nilai ujian sebagai salah satu komponen seleksi. Beberapa daerah bahkan konon menolak menerapkan kebijakan tersebut.
 
Ketiga contoh ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah cermin dari masyarakat. Sistem pendidikan yang kita miliki, dengan segala baik buruknya, sampai titik tertentu merupakan perwujudan dari nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki masyarakat. Atau lebih tepatnya: kelompok yang dominan dalam masyarakat. Konsekuensinya, perbaikan pendidikan seringkali perlu disertai – dan mungkin didahului – oleh perubahan keyakinan masyarakat. Dengan kata lain: disrupsi pendidikan perlu diawali dengan disrupsi cara berpikir masyarakat!

Saturday, October 17, 2020

Benarkah Asesmen Nasional Tidak Punya Landasan Hukum?

Oleh: Anindito Aditomo

Kemendikbud telah meluncurkan Asesmen Nasional sebagai pengganti Ujian Nasional. Berbeda dengan Ujian Nasional (UN), Asesmen Nasional (AN) tidak menilai prestasi murid sebagai individu. AN murni dirancang sebagai evaluasi terhadap sistem pendidikan.

Dari pengamatan saya di beberapa forum yang membicarakan AN, salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah soal landasan hukum. Persoalan ini menjadi perhatian utama para birokrat dan pejabat pendidikan, baik di pusat maupun daerah. Dalam alam pikir birokrasi, tampaknya segala sesuatu memang dianggap haram kecuali yang diperbolehkan. Dengan kata lain, tidak ada program yang bisa dijalankan kalau belum jelas landasan hukumnya. Tanpa landasan hukum, AN adalah barang ilegal yang haram untuk dijalankan.

Nah, apakah penghapusan UN memiliki landasan hukum? Bagaimana dengan penyelenggaraan AN itu sendiri, apakah ada landasan hukumnya? Jawaban pendeknya: ada di level undang-undang, tapi belum ada peraturan turunannya. Mari kita bahas sedikit lebih rinci.

Penghapusan UN


Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengatur soal evaluasi pendidikan melalui tiga pasal kunci: Pasal 57, 58, dan 59. Penghapusan UN didasarkan pada Pasal 58 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:
"Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan."
Ayat di atas jelas menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Bukan oleh pemerintah atau lembaga eksternal. Ini masuk akal karena yang dapat mengetahui hasil belajar murid secara komprehensif adalah para gurunya. Tes-tes terstandar seperti UN dan AN tidak mungkin menangkap hasil belajar murid secara utuh. 

Dengan demikian Pasal 58 ayat 1 menjadi dasar untuk menghapus UN. Sebagai informasi, UN selama ini digunakan bukan hanya untuk pemetaan mutu, tapi juga untuk menilai pencapaian individual murid. Ini terlihat dari kewajiban setiap murid kelas 9 dan 12 mengikuti UN. Ini juga terlihat dari adanya sertifikat hasil UN sebagai pengakuan atas prestasi tiap murid, yang kemudian digunakan sebagai kriteria seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Sekali lagi, Pasal 58 ayat 1 secara jelas menyatakan bahwa evaluasi terhadap murid merupakan wewenang guru. Karena itu penghapusan UN sebagai alat evaluasi murid punya justifikasi yang kuat. Tapi ini menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi landasan hukum UN selama ini? 

Lemahnya landasan hukum UN


Di tingkat undang-undang, UN sebenarnya tidak memiliki landasan yang kokoh. Yang biasa dikutip sebagai landasan UN adalah Pasal 58 ayat 2. Berikut bunyi lengkap ayat tersebut:
“Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.”
Frase “evaluasi peserta didik” dalam ayat ini memang sepintas membenarkan penilaian hasil belajar murid oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tapi jika dibaca secara lengkap, sebenarnya jelas bahwa ayat tersebut berbicara tentang evaluasi terhadap sistem pendidikan. Bukan evaluasi terhadap prestasi murid sebagai individu.

Hal ini terlihat dari pemberian mandat pada lembaga mandiri untuk melakukan evaluasi yang menyeluruh dan sistemik. Pelaksanaan oleh lembaga mandiri menjadi relevan ketika tujuan evaluasi adalah untuk menilai kinerja sekolah dan pemerintah daerah (sebagai penyelenggara sekolah). Evaluasi terhadap kinerja sekolah - apalagi secara menyeluruh dan sistemik - tentu tidak bisa dilakukan oleh guru dan pengelola sekolah itu sendiri.

Penyebutan standar nasional pendidikan (SNP) dalam ayat tersebut menegaskan lagi bahwa evaluasi yang dimaksud adalah evaluasi terhadap sistem. Seperti diketahui, SNP terdiri dari delapan komponen, termasuk komponen sarana prasarana, pembiayaan, kualitas dan jumlah guru, serta pengelolaan sekolah. Pemenuhan standar untuk hal-hal ini jelas merupakan kewajiban pemerintah. Pengukurannya adalah bagian dari evaluasi terhadap sistem, bukan murid sebagai individu.

Dengan demikian, Pasal 58 ayat 2 UU Sisdiknas seharusnya tidak digunakan sebagai justifikasi atas pengukuran prestasi murid oleh negara. Ayat ini lebih tepat dibaca sebagai landasan hukum akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Nasional. 

Landasan hukum Asesmen Nasional


Bagaimana dengan AN itu sendiri? Di tingkat UU, landasan hukum AN justru kuat. Ada dua pasal dalam UU Sisdiknas yang menjadi landasan AN. Yang pertama adalah Pasal 57 yang memuat 2 ayat sebagai berikut:
"1. Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 
2. Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan."
Kedua ayat ini memerintahkan adanya evaluasi terhadap murid dan sekolah sebagai bentuk pengendalian mutu dan pertanggungjawaban publik. Ini jelas merupakan evaluasi terhadap sistem. Kalau pun murid ikut menjadi peserta dalam evaluasi ini, maka hal itu dilakukan untuk menilai kinerja sistem. Bukan untuk mengevaluasi prestasi mereka sebagai individu.

Implikasinya adalah evaluasi semacam ini tidak perlu dilakukan pada semua murid sebagaimana halnya UN. Evaluasi terhadap sistem cukup didasarkan pada sampel murid yang mewakili masing-masing sekolah yang sedang dinilai kinerjanya. Dan persis inilah yang akan dilakukan dalam AN.

Pasal lain yang menjadi landasan hukum AN adalah Pasal 59 ayat 1 yang berbunyi: 
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.”
Di sini jelas bahwa UU memberi mandat pada pemerintah untuk melakukan evaluasi yang bertujuan untuk menilai mutu pengelolaan sekolah di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Ini menjadi justifikasi yang kuat bagi pemerintah - dalam hal ini Kemendikbud - untuk melaksanakan AN yang akan diterapkan untuk menilai kinerja sekolah di jalur formal maupun nonformal, jenjang dasar dan menengah, serta jenis pendidikan umum maupun vokasi.

Menata regulasi turunan UU


Uraian di atas menunjukkan bahwa di tingkat undang-undang, AN memiliki landasan hukum yang kuat. Jauh lebih kuat dibanding UN yang sudah diterapkan selama belasan tahun. Dengan demikian, tidak benar jika dikatakan bahwa AN tidak memiliki landasan hukum. 

Tentu yang menjadi pekerjaan selanjutnya bagi Kemendikbud adalah merevisi peraturan perundangan turunannya. Ini berarti mencabut pasal-pasal di Peraturan Pemerintah nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan yang memberi mandat pada BSNP untuk melaksanakan UN, kemudian menggantikannya dengan norma yang sejalan dengan filosofi dan desain AN. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...