Sunday, November 1, 2020

BELAJAR MENERIMA KEKALAHAN ADALAH BELAJAR BERDEMOKRASI

Oleh: Anindito Aditomo

Pagi tadi kami sekeluarga menonton pidato kemenangan Kamala Harris dan Joe Biden. Saya dan Ade ingin agar kedua anak perempuan kami menyaksikan momen ketika seorang perempuan multi-etnis keturunan imigran Asia dan Jamaika terpilih menjadi wakil presiden sebuah negara adidaya.

Pidato bu Harris tidak mengecewakan. Ia berbicara tentang perjalanan panjang perempuan dan kaum minoritas di Amerika untuk memperoleh hak-hak sipil seperti memilih dalam pemilu.  Penyampaiannya runtut, jelas, dan hangat. Pidatonya jauh lebih bagus dari pidato pak Biden yang berbicara setelah itu :D

Tiba-tiba ragil kami, Ayesha, bertanya, Wait, so does that mean almost half of the country doesn’t want Biden as president? Lho, jadi hampir separuh orang Amerika nggak mendukung Biden sebagai presiden?

Good question! Pertanyaan bagus, saya menimpali dengan pujian.

Pujian ini bukan basa-basi belaka. Jika ditelusuri lebih jauh, pertanyaan sederhana anak kelas 6 SD ini menyentuh salah satu problem mendasar dari demokrasi. Bahwa demokrasi tidak menghasilkan kesepakatan (mufakat). Bahwa selalu ada pihak yang kalah, pihak yang tidak terwakili dalam demokrasi.  

Sebelum menjawab lebih lanjut saya mencoba memahami apa yang ada di kepala Ayesha.

Why do you ask? Why are you concerned about that? Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa yang ada dalam pikiranmu? Saya bertanya balik.

Ternyata yang ia khawatirkan adalah penerimaan dari pendukung Trump. Bagaimana perasaan mereka? Apa mau menerima kekalahan calon yang mereka dukung?

Saya lantas teringat akan tradisi pidato pengakuan kekalahan, concession speech. Pidato kekalahan ini lazimnya disampaikan kandidat yang kalah sebelum pemenang menyampaikan pidato kemenangan. Kombinasi pidato kekalahan dan kemenangan adalah penanda penting dari berakhirnya pemilihan (election) sebagai sebuah babak dalam proses berdemokrasi.

Dilihat dari fungsinya dalam demokrasi, pidato kekalahan mungkin lebih penting dibanding pidato kemenangan. Pihak yang kalah-lah yang secara psikologis perlu diajak bicara agar mau legowo, menerima kekalahan. Pihak yang menang sih secara otomatis bergembira :D

Karena itu kandidat yang baik akan menyampaikan pidato kekalahan yang menyejukkan. Pidato yang mengajak menekankan pada persamaan ketimbang perbedaan. Pidato yang mengingatkan pentingnya menghargai proses dan hasil pemilihan yang demokratis.

Saya lantas teringat pidato kekalahan John McCain pada pemilu 2008 ketika ia melawan Obama. Menurut referensi saya yang terbatas, pidato McCain adalah pidato kekalahan terbaik yang pernah saya dengar.

McCain memulai dengan mengakui kemenangan Obama sebagai calon presiden. Pembukaan ini disambut dengan cemooh oleh audiens. Tapi McCain melanjutkan pidatonya justru dengan menjelaskan mengapa kemenangan Obama merupakan pencapaian yang patut membuat bangga seluruh warga Amerika.

Dalam penutup pidatonya, McCain menegaskan komitmennya sendiri untuk mendukung Obama sebagai presiden terpilih dan mengajak pendukungnya untuk melakukan hal yang sama. Kata-kata persisnya layak dikutip secara lebih utuh:

“... I urge all Americans who supported me to join me in not just congratulating him, but offering our next president our good will and earnest effort to find the necessary compromises to bridge our differences …”

Perhatikan bahwa McCain tidak hanya mengajak untuk memberi selamat. Pemberian selamat adalah langkah pertama dalam menerima kekalahan. McCain mengajak pendukungnya untuk mengambil langkah berikutnya yang jauh lebih sulit, yaitu mencari kompromi dan membangun jembatan antara kedua kubu.

Diucapkan dengan sungguh-sungguh, pidato kekalahan McCain yang semula dicemooh pun perlahan diganjar tepuk tangan. Meski saya yakin itu adalah tepuk tangan yang disertai uraian air mata. 

Ya, inheren dalam demokrasi adalah kekalahan dan rasa sakit yang menyertainya. Karena itu demokrasi mensyaratkan kemampuan untuk menerima kekalahan. Dan karena tidak ada orang yang senang kalah, kemampuan menerima kekalahan ini harus dibangun melalui pendidikan.

Pertanyaannya, apakah sistem pendidikan kita sudah dirancang untuk membantu anak-anak menerima kekalahan? Lebih jauh lagi, apakah pendidikan kita dirancang untuk menumbuhkan sikap-sikap demokratis lain seperti berpikir kritis, mandiri, peduli, dan terbuka?

Saya khawatir bahwa jawabannya adalah belum. Pendidikan kita saat ini lebih ingin menjejali anak-anak kita dengan hal-hal yang kita percayai benar, ketimbang membantu mereka untuk menjadi manusia-manusia yang siap berdemokrasi. Bagaimana cara mengubahnya? Mari kita pikirkan bersama!

Catatan: pidato John McCain bisa dilihat di sini:
https://www.facebook.com/NowThisNews/videos/1004529363381837

Saturday, October 31, 2020

BANYAK BERSEKOLAH TAPI TIDAK (BANYAK) BELAJAR

Oleh: Anindito Aditomo

Aktivitas membaca bebas di kelas
Tulisan ini dipantik oleh pertanyaan mas Ainun Najib di forum diskusi Kawal Pendidikan: apa masalah utama pendidikan di Indonesia? Saya mencoba menjawabnya melalui tulisan ini.
 
Kalau disebutkan satu per satu, daftar masalah pendidikan akan sangat panjang dan cenderung debilitating. Bikin depresi karena seperti memasuki terowongan yang tak kelihatan ujungnya. Karena itu, perlu perspektif untuk merumuskan masalah pokok dan baru kemudian mengidentifikasi masalah-masalah turunannya.
 
Bagi saya, masalah pokok pendidikan kita adalah soal belajar. Persoalan-persoalan lain bisa diidentifikasi sebagai masalah ketika berdampak pada persoalan belajar ini.
 
Pandangan ini tentu dipengaruhi disiplin ilmu saya, psikologi pendidikan. Tapi pandangan ini juga sejalan dengan fungsi mendasar pendidikan, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagian esensial dari mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mencerdaskan anak-anak yang bersekolah. Dengan kata lain, apa yang dipelajari – atau tidak dipelajari – para murid di sekolah berpengaruh besar pada keberhasilan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
 
Secara sederhana, belajar adalah proses dari tidak bisa menjadi bisa. Tidak paham menjadi paham. Kikuk menjadi terampil. Berpikiran melompat-lompat menjadi logis dan sistematis. Berwawasan sempit menjadi luas. Dari bersikap penuh prasangka menjadi empatik dan terbuka. Proses belajar ini seharusnya difasilitasi oleh lingkungan sekolah. Sekolah yang baik adalah sekolah di mana proses belajar terjadi karena memang direncanakan, bukan karena kebetulan.
 
Dari perspektif ini, ada pendidikan kita punya tiga masalah pokok.
 
Tidak belajar bernalar
 
Masalah pertama adalah banyak anak yang bersekolah tanpa (banyak) belajar. Memang, Indonesia boleh berbangga untuk urusan akses (enrollment) pendidikan dasar. Sebagian besar anak-anak Indonesia sudah bersekolah sampai kelas 9. Akses ke pendidikan dasar ini juga boleh dibilang berhasil memfasilitasi kemampuan baca-tulis-berhitung alias literasi dasar.
 
Sayangnya, keberhasilan pendidikan kita berhenti di sana. Kebanyakan sekolah gagal membantu anak-anak mengembangkan kemampuan bernalar. Data PISA menunjukkan bahwa setelah bersekolah selama 9 atau 10 tahun, hanya sedikit murid Indonesia (sekitar 30%) yang bisa menarik simpulan dari bacaan fiksi maupun non-fiksi. Lebih sedikit lagi yang cakap mengevaluasi keabsahan informasi yang mereka baca. Data PISA juga menunjukkan bahwa kualitas belajar anak-anak Indonesia mengalami stagnasi sejak tahun 2000 sampai 2018. Grafik berikut saya ambil dari presentasi Yuri Belfall (wakil OECD) saat memaparkan hasil PISA 2018 di Jakarta pada bulan Desember 2019.
 
 
Problem rendahnya kualitas belajar sudah sangat disadari oleh Kemendikbud. Survei-survei nasional (AKSI) yang dilakukan oleh Balitbang sendiri mengkonfirmasi problem ini. Seperti judul infografis yang diterbitkan Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang (kini Pusat Asesmen dan Pembelajaran) untuk menanggapi temuan PISA: sudah saatnya Indonesia mengalihkan perhatian dari perluasan akses ke peningkatan kualitas belajar. 
 
Belajar hal yang merusak
 
Masalah kedua adalah anak terkadang justru belajar meyakini hal-hal yang merusak (harmful) di sekolah. Sebagian dari keyakinan ini merusak dalam arti melemahkan fabrik sosial bangsa Indonesia. Contohnya adalah keyakinan bahwa orang beragama lain atau dari etnis tertentu itu jahat. Atau bahwa kelompok tertentu tidak layak diberi tempat hidup di Indonesia. Atau bahwa hanya orang-orang dari agama atau etnis tertentu yang boleh menjadi pemimpin – seperti tercermin pada kasus pemilihan ketua OSIS di sebuah SMA di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
 
Sekolah juga kadang merusak konsep diri anak. Sekolah cenderung mendefinisikan “cerdas” secara sempit pada kecerdasan akademik. Atau mungkin lebih parah lagi, “cerdas” sering tereduksi menjadi rajin dan patuh pada instruksi guru. Anak-anak dengan potensi profil di luar pakem ini terancam dianggap malas, bodoh, atau nakal. Stigma-stigma negatif kadang tersampaikan secara eksplisit, dan kadang secara implisit seperti melalui nilai rapor dan ranking yang rendah. Jika dialami berulang kali, umpan balik negatif ini dapat menciderai konsep diri anak.
 
Dalam cara yang berbeda, sekolah menciderai anak dengan mengajarkan konsep yang keliru tentang ilmu pengetahuan. Di sekolah, ilmu pengetahuan ditampilkan sebagai kepingan fakta dingin yang kadang tidak jelas kegunaannya. Anak belajar bahwa ilmu pengetahuan berharga semata-mata karena termuat di buku teks. Padahal ilmu pengetahuan terus berkembang dalam proses ilmiah yang seru. Ilmu pengetahuan menjadi berharga karena dihasilkan dari proses yang terbukti menghasilkan pemahaman mendalam tentang alam.
 
Apresiasi dan kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan – dan pemahaman dasar tentang cara kerja ilmu (science) – bukan hanya penting bagi ilmuwan atau filsuf. Pemahaman epistemik tentang ilmu ini penting secara praktis juga untuk masyarakat. Hal ini seharusnya terlihat dalam pandemi yang sedang berlangsung. Penanganan pandemi akan jauh lebih mudah jika masyarakat memahami mengapa rekomendasi ilmiah tentang Covid perlu ditaati, meski berubah-ubah dan terasa tidak “nyata” dari kacamata awam. Memakai masker ketika kita sehat, misalnya, adalah tindakan yang terasa janggal jika kita tidak percaya pada pengetahuan yang melandasi rekomendasi itu.
 
Sekolah juga bisa menciderai karena mengajarkan hal-hal yang justru mencerabut anak dari komunitasnya. Kurikulum sekolah sangat disetir oleh logika seleksi akademik. Kurikulum SMA banyak ditentukan oleh apa yang perlu dipelajari untuk siap kuliah. Kurikulum SMP ditentukan oleh apa yang perlu dipelajari agar sukses di SMA. Dan seterusnya ke bawah.
 
Dengan kata lain, kurikulum sekolah tidak bertujuan untuk menyiapkan anak agar bisa berkontribusi pada komunitas atau lingkungannya. Misalnya, anak seorang petani tidak lantas menjadi lebih paham tentang pertanian dibanding orangtuanya yang tidak mengenyam sekolah formal. Mungkin justru sebaliknya. Bersekolah membuat anak enggan untuk menjadi petani atau belajar tentang pertanian.
 
Ketimpangan kualitas belajar
 
Masalah ketiga dalam pendidikan kita adalah besarnya kesenjangan hasil belajar. Ini sama sekali bukan rahasia. Hampir semua orang tahu bahwa di tiap kota ada sekolah-sekolah favorit. SMP-SMP yang menjadi supplier bagi SMA favorit. Dan SMA-SMA yang menjadi supplier mahasiswa universitas favorit. Kesenjangan antar sekolah favorit dan yang lainnya ini luar biasa.
 
Dari pengalaman pribadi ketika anak saya mendaftar SMA di Surabaya, saya mendapati nilai terendah siswa yang diterima di SMA favorit masih lebih tinggi dibanding hampir semua SMA negeri lain di Surabaya. Secara nasional, juga terlihat kesenjangan besar antar sekolah dan daerah dalam literasi membaca, sains, dan matematika murid. Silakan cek, misalnya, perbandingan antara Jakarta, Yogyakarta, dan wilayah Indonesia lainnya di laporan nasional PISA 2018.
 
Kesenjangan hasil belajar ini beriringan dengan kesenjangan sosial-ekonomi. Anak dari keluarga miskin lebih mungkin bersekolah di sekolah yang buruk dan memperoleh hasil belajar yang lebih buruk juga. Peluang siswa dari keluarga miskin untuk berkuliah pun menjadi lebih rendah dari seharusnya. Ini berarti bahwa sekolah seringkali gagal menjadi instrumen mobilitas vertikal.
 
Persoalan kesenjangan mutu ini sudah disadari pemerintah, yang sejak beberapa tahun terakhir menerapkan sistem zonasi dan afirmasi dalam seleksi siswa baru. Kebijakan ini secara teoretis membuka pintu lebih lebar bagi siswa miskin untuk memasuki sekolah negeri (termasuk sekolah favorit). Namun kebijakan ini juga menimbulkan pesoalan karena meningkatkan variasi murid di dalam tiap sekolah. Ini menuntut adanya penyesuaian mindset guru dan praktik pedagogi. Tanpa itu, ada risiko bahwa kebijakan ini berhenti pada pemerataan akses namun gagal untuk menutup kesenjangan kualitas pengalaman dan hasil belajar.
 
Demikian argumen saya tentang masalah utama pendidikan di Indonesia. Tentu ada banyak masalah lain tidak kalah pentingnya. Tapi saya percaya bahwa kita perlu menempatkan problem belajar sebagai titik tolak untuk merumuskan masalah-masalah lain tersebut.

Wednesday, October 21, 2020

MENGUBAH PENDIDIKAN, MENGUBAH MASYARAKAT

Oleh: Anindito Aditomo | Terbit pertama 27 Oktober 2019 di portal KAGAMA 

 

Lazimnya orang berpikir bahwa pendidikan adalah instrumen perubahan sosial. Artinya, memperbaiki pendidikan adalah jalan untuk menghasilkan perubahan positif pada masyarakat.
 
Pandangan ini benar, tapi hanya separuh saja. Separuh lainnya adalah bahwa perubahan pendidikan seringkali mensyaratkan perubahan pada masyarakat. Lebih tepatnya, perbaikan sistem pendidikan perlu didahului oleh perubahan cara berpikir masyarakat.
 
Ada beberapa contoh yang mengilustrasikan dinamika tersebut. Yang pertama berasal dari Jerman. Pada awal 2009 koalisi partai Kristen Demokrat dan partai Hijau memenangkan pemilu Hamburg, sebuah kota sekaligus negara bagian di Jerman. Salah satu agenda utama koalisi tersebut adalah reformasi pendidikan, yakni perpanjangan masa sekolah dasar dari 4 menjadi 6 tahun. Karena memang menjadi platform kampanye, usul tersebut disetujui parlemen pada Oktober 2009.
 
Namun gelombang protes segera muncul. Sedemikian keras protes yang dilancarkan sampai pemerintah setuju untuk mengadakan referendum. Dilangsungkan pada Juli 2010, hampir 500 ribu orang mengikuti referendum. Bukan jumlah yang kecil di sebuah kota berpenduduk sekitar 1.7 juta orang! Sekitar 55.8% peserta referendum menolak memperpanjang masa sekolah dasar.
 
Reformasi yang diusulkan di Hamburg itu sebenarnya memiliki landasan yang kuat. Di Hamburg, siswa kelas 5 dipisahkan ke dalam dua jalur sekolah: Gymnasium dan non-Gymnasium. Gymnasium adalah sekolah untuk siswa yang dipandang lebih berbakat akademik. Non-Gymnasium adalah untuk siswa yang lainnya. Berbagai riset menunjukkan bahwa sistem tersebut melestarikan kesenjangan sosial-ekonomi. Perpanjangan masa sekolah dasar dimaksudkan agar siswa mendapat 2 tahun ekstra untuk mendapat pendidikan akademik yang komprehensif sebelum harus dipisah ke dalam dua jalur.
 
Lantas mengapa masyarakat Hamburg menolak usul tersebut? Saya tidak tahu persis, tapi sebagian sentimen penolakan terbaca dari slogan utama aktivisnya: Wir wollen lernen! Kami ingin belajar! Lho, apakah perpanjangan masa sekolah dasar menghambat anak-anak untuk belajar? Di sini menariknya. Slogan ini mencerminkan pandangan bahwa belajar bisa berlangsung lebih baik ketika siswa dipisahkan berdasarkan bakat akademiknya. Perpanjangan masa sekolah dasar berarti memperpendek masa sekolah menengah-atas yang dianggap sebagai masa ketika anak „benar-benar belajar“!
 
Contoh kedua adalah rangkaian kebijakan “yutori kyōiku” yang diterapkan di Jepang. Reformasi yutori adalah respon terhadap besarnya tekanan mental yang dirasakan siswa Jepang karena luasnya cakupan kurikulum sekolah. Selain berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis siswa, kurikulum yang terlalu luas juga dinilai melanggengkan metode pengajaran yang satu arah dan tidak mengembangkan kreativitas, kemandirian dan nalar kritis.
 
Reformasi yutori mendapatkan momentum mulai akhir 1990an. Jam pelajaran mulai dikurangi; hari Sabtu yang sebelumnya merupakan hari sekolah menjadi libur. Manifestasi reformasi yutori yang paling jelas adalah pemangkasan 30% konten kurikulum nasional pada tahun 2002. Setelah itu, pemerintah menerbitkan panduan mata pelajaran teringetrasi tentang tema-tema besar seperti lingkungan dan teknologi. Sejalan dengan hal itu, guru juga didorong untuk lebih banyak menggunakan metode problem- dan project-based learning.
 
Seperti usulan perpanjangan masa sekolah dasar di Hamburg, reformasi yutori juga memiliki landasan yang kuat. Kreativitas, kolaborasi, dan nalar kritis sulit berkembang jika guru terlalu sibuk „menyelesaikan“ konten kurikulum yang penuh sesak. Tekanan psikologis yang berlebihan juga berdampak buruk pada pemahaman materi dan kesehatan mental.
 
Apa yang terjadi? Seperti juga di Hamburg, masyarakat Jepang memandang reformasi yutori sebagai kemunduran. Pengurangan konten dan jam belajar dianggap sebagai penurunan standar akademik. Turunnya hasil tes internasional seperti PISA pada tahun 2003 dipersepsi sebagai bukti dampak buruk yutori. Banyak orangtua yang bahkan menyerbu les-lesan (kursus) yang menawarkan konten dan gaya pengajaran seperti yang dulu diperoleh di sekolah sebelum reformasi yutori!
 
Sebenarnya persepsi tentang penurunan standar akademik tidak sepenuhnya benar. Tes PISA, yang pada 2003 dijadikan salah satu bukti dampak negatif yutori, justru menunjukkan bahwa siswa Jepang menjadi semakin mahir menjawab open ended problems yang membutuhkan kreativitas dan nalar kritis. 
 
Menurut Andreas Schleicher, sang perancang PISA, peningkatan kemampuan problem solving siswa Jepang pada periode 2003-2009 adalah yang paling pesat di dunia. Ini persis seperti yang dimaksudkan oleh penggagas reformasi yutori! Namun apa lacur. Respon negatif masyarakat Jepang mendorong pemerintah untuk berkompromi dan membatalkan beberapa aspek reformasi yutori. Konten kurikulum pun berangsur ditambah kembali.
 
Contoh ketiga adalah reformasi seleksi masuk sekolah berbasis yang baru saja diterapkan di Indonesia. Ya, kebijakan zonasi adalah sebuah reformasi pendidikan yang cukup radikal. Mirip dengan perpanjangan masa sekolah dasar di Hamburg, zonasi dilatarbelakangi oleh niat untuk mengurangi kesenjangan sosial dalam pendidikan. Dengan zonasi, komposisi sosial-ekonomi siswa di tiap sekolah diharapkan menjadi lebih merata. Dengan demikian, semakin banyak siswa dari keluarga miskin yang bisa masuk ke sekolah yang selama ini dianggap favorit.
 
Seperti juga kasus Hamburg dan Jepang, zonasi di Indonesia juga direspon secara negatif oleh masyarakat. Respon tersebut sebagian dipicu oleh implementasi yang buruk. Tapi sebagian lagi alasannya lebih fundamental: zonasi melanggar beberapa keyakinan masyarakat tentang sekolah dan pendidikan. Misalnya, banyak orang merasa bahwa zonasi tidak adil karena menghukum siswa yang sudah belajar keras untuk menghadapi ujian. Secara implisit, ini mencerminkan keyakinan bahwa seleksi masuk sekolah adalah urusan kompetisi antar siswa. Mereka yang rajin dan berbakat memang seharusnya mendapat reward diterima di sekolah yang lebih baik.
 
Pada akhirnya, kebijakan zonasi pun mengalami kompromi. Daerah diperbolehkan menggunakan nilai ujian sebagai salah satu komponen seleksi. Beberapa daerah bahkan konon menolak menerapkan kebijakan tersebut.
 
Ketiga contoh ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah cermin dari masyarakat. Sistem pendidikan yang kita miliki, dengan segala baik buruknya, sampai titik tertentu merupakan perwujudan dari nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki masyarakat. Atau lebih tepatnya: kelompok yang dominan dalam masyarakat. Konsekuensinya, perbaikan pendidikan seringkali perlu disertai – dan mungkin didahului – oleh perubahan keyakinan masyarakat. Dengan kata lain: disrupsi pendidikan perlu diawali dengan disrupsi cara berpikir masyarakat!

Saturday, October 17, 2020

Benarkah Asesmen Nasional Tidak Punya Landasan Hukum?

Oleh: Anindito Aditomo

Kemendikbud telah meluncurkan Asesmen Nasional sebagai pengganti Ujian Nasional. Berbeda dengan Ujian Nasional (UN), Asesmen Nasional (AN) tidak menilai prestasi murid sebagai individu. AN murni dirancang sebagai evaluasi terhadap sistem pendidikan.

Dari pengamatan saya di beberapa forum yang membicarakan AN, salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah soal landasan hukum. Persoalan ini menjadi perhatian utama para birokrat dan pejabat pendidikan, baik di pusat maupun daerah. Dalam alam pikir birokrasi, tampaknya segala sesuatu memang dianggap haram kecuali yang diperbolehkan. Dengan kata lain, tidak ada program yang bisa dijalankan kalau belum jelas landasan hukumnya. Tanpa landasan hukum, AN adalah barang ilegal yang haram untuk dijalankan.

Nah, apakah penghapusan UN memiliki landasan hukum? Bagaimana dengan penyelenggaraan AN itu sendiri, apakah ada landasan hukumnya? Jawaban pendeknya: ada di level undang-undang, tapi belum ada peraturan turunannya. Mari kita bahas sedikit lebih rinci.

Penghapusan UN


Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengatur soal evaluasi pendidikan melalui tiga pasal kunci: Pasal 57, 58, dan 59. Penghapusan UN didasarkan pada Pasal 58 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:
"Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan."
Ayat di atas jelas menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Bukan oleh pemerintah atau lembaga eksternal. Ini masuk akal karena yang dapat mengetahui hasil belajar murid secara komprehensif adalah para gurunya. Tes-tes terstandar seperti UN dan AN tidak mungkin menangkap hasil belajar murid secara utuh. 

Dengan demikian Pasal 58 ayat 1 menjadi dasar untuk menghapus UN. Sebagai informasi, UN selama ini digunakan bukan hanya untuk pemetaan mutu, tapi juga untuk menilai pencapaian individual murid. Ini terlihat dari kewajiban setiap murid kelas 9 dan 12 mengikuti UN. Ini juga terlihat dari adanya sertifikat hasil UN sebagai pengakuan atas prestasi tiap murid, yang kemudian digunakan sebagai kriteria seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Sekali lagi, Pasal 58 ayat 1 secara jelas menyatakan bahwa evaluasi terhadap murid merupakan wewenang guru. Karena itu penghapusan UN sebagai alat evaluasi murid punya justifikasi yang kuat. Tapi ini menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi landasan hukum UN selama ini? 

Lemahnya landasan hukum UN


Di tingkat undang-undang, UN sebenarnya tidak memiliki landasan yang kokoh. Yang biasa dikutip sebagai landasan UN adalah Pasal 58 ayat 2. Berikut bunyi lengkap ayat tersebut:
“Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.”
Frase “evaluasi peserta didik” dalam ayat ini memang sepintas membenarkan penilaian hasil belajar murid oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tapi jika dibaca secara lengkap, sebenarnya jelas bahwa ayat tersebut berbicara tentang evaluasi terhadap sistem pendidikan. Bukan evaluasi terhadap prestasi murid sebagai individu.

Hal ini terlihat dari pemberian mandat pada lembaga mandiri untuk melakukan evaluasi yang menyeluruh dan sistemik. Pelaksanaan oleh lembaga mandiri menjadi relevan ketika tujuan evaluasi adalah untuk menilai kinerja sekolah dan pemerintah daerah (sebagai penyelenggara sekolah). Evaluasi terhadap kinerja sekolah - apalagi secara menyeluruh dan sistemik - tentu tidak bisa dilakukan oleh guru dan pengelola sekolah itu sendiri.

Penyebutan standar nasional pendidikan (SNP) dalam ayat tersebut menegaskan lagi bahwa evaluasi yang dimaksud adalah evaluasi terhadap sistem. Seperti diketahui, SNP terdiri dari delapan komponen, termasuk komponen sarana prasarana, pembiayaan, kualitas dan jumlah guru, serta pengelolaan sekolah. Pemenuhan standar untuk hal-hal ini jelas merupakan kewajiban pemerintah. Pengukurannya adalah bagian dari evaluasi terhadap sistem, bukan murid sebagai individu.

Dengan demikian, Pasal 58 ayat 2 UU Sisdiknas seharusnya tidak digunakan sebagai justifikasi atas pengukuran prestasi murid oleh negara. Ayat ini lebih tepat dibaca sebagai landasan hukum akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Nasional. 

Landasan hukum Asesmen Nasional


Bagaimana dengan AN itu sendiri? Di tingkat UU, landasan hukum AN justru kuat. Ada dua pasal dalam UU Sisdiknas yang menjadi landasan AN. Yang pertama adalah Pasal 57 yang memuat 2 ayat sebagai berikut:
"1. Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 
2. Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan."
Kedua ayat ini memerintahkan adanya evaluasi terhadap murid dan sekolah sebagai bentuk pengendalian mutu dan pertanggungjawaban publik. Ini jelas merupakan evaluasi terhadap sistem. Kalau pun murid ikut menjadi peserta dalam evaluasi ini, maka hal itu dilakukan untuk menilai kinerja sistem. Bukan untuk mengevaluasi prestasi mereka sebagai individu.

Implikasinya adalah evaluasi semacam ini tidak perlu dilakukan pada semua murid sebagaimana halnya UN. Evaluasi terhadap sistem cukup didasarkan pada sampel murid yang mewakili masing-masing sekolah yang sedang dinilai kinerjanya. Dan persis inilah yang akan dilakukan dalam AN.

Pasal lain yang menjadi landasan hukum AN adalah Pasal 59 ayat 1 yang berbunyi: 
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.”
Di sini jelas bahwa UU memberi mandat pada pemerintah untuk melakukan evaluasi yang bertujuan untuk menilai mutu pengelolaan sekolah di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Ini menjadi justifikasi yang kuat bagi pemerintah - dalam hal ini Kemendikbud - untuk melaksanakan AN yang akan diterapkan untuk menilai kinerja sekolah di jalur formal maupun nonformal, jenjang dasar dan menengah, serta jenis pendidikan umum maupun vokasi.

Menata regulasi turunan UU


Uraian di atas menunjukkan bahwa di tingkat undang-undang, AN memiliki landasan hukum yang kuat. Jauh lebih kuat dibanding UN yang sudah diterapkan selama belasan tahun. Dengan demikian, tidak benar jika dikatakan bahwa AN tidak memiliki landasan hukum. 

Tentu yang menjadi pekerjaan selanjutnya bagi Kemendikbud adalah merevisi peraturan perundangan turunannya. Ini berarti mencabut pasal-pasal di Peraturan Pemerintah nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan yang memberi mandat pada BSNP untuk melaksanakan UN, kemudian menggantikannya dengan norma yang sejalan dengan filosofi dan desain AN. 

Saturday, October 10, 2020

Asesmen Nasional vs. Ujian Nasional: Apa Persamaan dan Perbedaannya?

Oleh: Anindito Aditomo


Mulai tahun depan, Ujian Nasional (UN) akan diganti dengan Asesmen Nasional (AN). Demikian diungkapkan Mendikbud Nadiem Makarim beberapa hari yang lalu. Dalam rencana Kemendikbud, AN akan dilaksanakan di semua sekolah dan diikuti oleh sampel murid dari kelas 5, 8, dan 11. 

Penggantian UN menjadi AN menandakan perubahan mendasar dalam sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. Perubahan ini akan mempengaruhi jutaan murid dan guru di seluruh Indonesia. Karena itu wajar jika banyak pihak yang bertanya-tanya dan merasa cemas. 


Murid dan para orangtuanya akan bertanya-tanya tentang kriteria kelulusan dalam sistem yang baru. Sebagian guru mungkin mencemaskan pendeknya waktu untuk menyiapkan muridnya menghadapi tes yang konon berbeda dari yang mereka kenal. 


Sebagian kepala sekolah akan memikirkan cara agar sekolahnya dinilai berkinerja baik dalam asesmen tersebut. Hal serupa mungkin juga dipikirkan oleh kepala dinas pendidikan yang ingin unjuk kinerja di hadapan kepala daerahnya. 


Tulisan ini membedah persamaan dan perbedaan antara UN dan AN. Harapan saya, pemahaman yang lebih baik tentang AN akan membantu meredam kecemasan guru, murid, dan orangtua dalam menghadapi perubahan sistem evaluasi pendidikan. 

Mengevaluasi sistem, bukan murid

Hal pertama dan paling penting dipahami adalah bahwa AN murni merupakan evaluasi atas mutu sistem pendidikan. AN bukan evaluasi atas prestasi murid sebagai individu. Hasil AN tidak memiliki konsekuensi sedikit pun pada murid yang menjadi pesertanya.


Karakteristik ini berbeda dari UN. UN adalah evaluasi yang mencampuradukkan evaluasi terhadap murid dan evaluasi terhadap sistem pendidikan.


Di satu sisi UN digunakan untuk mengevaluasi penguasaan tiap murid terhadap materi kurikulum. Hasilnya juga digunakan sebagai penentu kelulusan (sampai 2015) dan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. 


Di sisi lain, UN digunakan sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan serta mengevaluasi kinerja sekolah dan pemerintah daerah. Pada tahun-tahun sebelumnya, Kemendikbud secara rutin mengumumkan skor UN semua sekolah dan memberi penghargaan pada sekolah-sekolah “juara UN”.


Perbedaan tujuan AN dan UN ini punya banyak implikasi. Misalnya, tidak semua murid kelas 5, 8, dan 11 perlu mengikuti AN. Untuk menghasilkan potret sebuah sekolah, AN cukup diikuti oleh sampel murid yang dipilih secara acak untuk mewakili murid-murid lain di sekolahnya. 


Konsekuensi lanjutannya adalah hasil AN tidak dilaporkan pada level individu. Murid peserta AN tidak akan memperoleh sertifikat yang menunjukkan skor hasil tesnya. Hasil AN hanya akan dilaporkan dalam bentuk profil sekolah dan daerah.


Hal ini tidak bisa dilakukan dalam UN. Karena dimaksudkan untuk menilai prestasi individu, maka UN harus diikuti oleh semua murid. Hasilnya pun dilaporkan dalam bentuk sertifikat yang menunjukkan skor setiap murid yang menjadi peserta UN. 

Mengukur penalaran, bukan hafalan

Implikasi lain dari perbedaan tujuan AN dan UN adalah pada apa yang diukur. Seperti saya sampaikan di atas, UN dirancang untuk menilai penguasaan murid atas materi kurikulum. Karena itu tes UN seharusnya mencakup semua topik yang pernah dipelajari selama SMP atau SMA. 


Keluasan cakupan materi yang harus diujikan membatasi kedalaman kognitif yang bisa diukur oleh UN. Dengan banyaknya materi yang diujikan dan terbatasnya waktu, sulit bagi UN untuk mengukur daya nalar atau pemahaman. Akibatnya, kebanyakan soal UN cenderung mengukur hafalan. 

 

Sebagai catatan, Kemendikbud sebenarnya sudah berupaya memasukkan soal-soal yang mengukur daya nalar dalam UN. Namun upaya ini tidak maksimal karena UN dibebani dengan tuntutan menguji penguasaan murid terhadap seluruh materi kurikulum.


Hal ini tidak berlaku untuk AN. Dirancang khusus untuk mengevaluasi sistem, AN tidak punya beban untuk mengevaluasi penguasaan murid atas kurikulum. Karena itu, AN bisa difokuskan pada hasil belajar yang paling mendasar saja sebagai ukuran dari keberhasilan sistem pendidikan.


Dalam hal ini, AN akan mengukur literasi dan numerasi murid melalui tes yang disebut Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Literasi adalah kemampuan memahami dan mengevaluasi bacaan. Numerasi adalah kemampuan menerapkan konsep matematika dasar untuk menyelesaikan masalah. 


Sebagai kecakapan mendasar, literasi dan numerasi mencerminkan hasil belajar dari berbagai mata pelajaran. Kebiasaan dan keterampilan membaca tidak cukup ditumbuhkan melalui pelajaran bahasa Indonesia saja, tapi juga melalui pelajaran IPS, IPA, Pancasila, agama, dan pelajaran lain. 


Demikian juga dengan numerasi. Kemampuan berpikir logis untuk mengenali dan merumuskan masalah, kemudian memecahkannya menggunakan alat-alat konseptual tidak bisa hanya dikembangkan melalui pelajaran matematika. IPA, IPS, dan mungkin pelajaran lain juga perlu ikut berkontribusi.


Dengan demikian, kualitas pengajaran sekolah secara tak langsung bisa dinilai melalui tingkat literasi dan numerasi muridnya. Karena itu AN tidak terbebani cakupan materi yang terlalu luas. Soal-soal AKM pun bisa dirancang untuk mengukur daya nalar dan pemahaman yang mendalam.

Bersiap menghadapi Asesmen Nasional

Apa artinya semua ini untuk murid? Apa yang perlu dilakukan murid? 


Kalau yang dimaksud adalah perkara persiapan menghadapi AN, maka jawabannya adalah: tidak ada. Peserta AN akan dipilih secara acak, dan hasilnya tidak punya konsekuensi pada mereka yang menjadi peserta. 


Dengan demikian, murid tidak perlu melakukan persiapan khusus untuk menghadapi AN. Murid kelas 6, 9, dan 12 cukup konsentrasi menghadapi ujian sekolah sebagai penentu kelulusan, serta ujian lain yang menjadi bagian seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. 


Orangtua juga tidak perlu melakukan apapun terkait AN. Sama sekali tidak perlu meminta anak mengikuti bimbingan belajar AKM yang mulai gencar diiklankan. 


Bagaimana dengan guru dan kepala sekolah?  


Untuk 2021, tidak ada yang perlu dirisaukan oleh guru dan kepala sekolah. Mendikbud telah menyatakan bahwa hasil AN 2021 dimaksudkan sebagai peta awal atau baseline mutu sistem pendidikan secara nasional. AN 2021 tidak dipakai untuk mengevaluasi kinerja sekolah maupun daerah. 


Namun dalam jangka panjang, AN secara implisit menuntut guru untuk memperbaiki kualitas pengajarannya. Fokus pada daya nalar dalam bentuk literasi dan numerasi adalah cara Kemendikbud untuk mendorong guru mengubah caranya mengajar. 


Untuk mengembangkan literasi, guru perlu sering mendorong murid membaca secara luas. Bukan hanya membaca buku teks. Guru juga perlu mengajar murid berdiskusi dan mengevaluasi informasi yang dibaca, tidak sekadar meringkas dan mengulang kembali. 


Untuk numerasi, guru perlu memastikan murid memiliki intuisi angka (number sense) dan pemahaman aritmatika dasar sejak dini. Guru juga perlu memandu murid memecahkan masalah yang kompleks. Masalah yang menuntut diskusi dan penalaran, tidak bisa dipecahkan dengan menghafal rumus.

Perubahan kebijakan dan respon publik

Dari kacamata Kemendikbud, perubahan sistem evaluasi adalah upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan secara menyeluruh. Kemendikbud tampaknya menyadari bahwa evaluasi tak boleh berhenti pada judgement. Evaluasi harus membawa perubahan positif pada praktik pengajaran. 


Namun dari kacamata para pelaku di sekolah, perubahan kebijakan ini menimbulkan kecemasan. Hal ini sangat beralasan, mengingat berbagai perubahan kebijakan di masa lampau yang seringkali bukan menjadi angin segar, namun justru menimbulkan trauma. 


Dalam konteks itu, wajar jika banyak pihak yang skeptis dengan AN. Ada guru yang bahkan mencibir: ganti huruf U menjadi A saja kok dibuat heboh? Membangun ruang dialog publik tentang perubahan kebijakan pendidikan adalah sebuah PR bersama pemangku kepentingan dunia pendidikan. 


Tulisan ini adalah kontribusi kecil dalam upaya tersebut. Semoga sedikit membantu pembaca memahami rationale yang melandasi perubahan UN menjadi AN, sekaligus mengurangi kecemasan para murid, guru, dan kepala sekolah dalam menjalani perubahan tersebut.


Catatan: Penjelasan resmi dan contoh soal Asesmen Nasional (komponen AKM) bisa dilihat di laman Pusat Asesmen dan Pembelajaran, Balitbang dan Perbukuan sebagai berikut: https://pusmenjar.kemdikbud.go.id/AKM/ 











Sunday, September 27, 2020

KURIKULUM DAN OTONOMI SEKOLAH

Oleh: Anindito Aditomo

Jika mendengar muatan lokal dalam kurikulum, apa yang terbayang di benak anda? Saya sendiri langsung teringat pelajaran bahasa daerah. Sebagai murid yang sering berpindah tempat tinggal, saya mengalami bahasa daerah sebagai pelajaran yang traumatis. Ibarat dipaksa belajar bahasa asing namun dengan materi yang dibuat untuk penutur asli.

Tentu muatan lokal dalam kurikulum bukan sekadar mata pelajaran bahasa daerah. Sebagai sebuah kebijakan, muatan lokal dalam kurikulum sesungguhnya cukup radikal. Boleh dibilang bahwa kebijakan muatan lokal adalah kali pertama pemerintah pusat memandang guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional.

Buku Indonesian Education karya Christopher Bjork membuat saya memahami bagaimana kebijakan yang dirumuskan pemerintah pusat ini kemudian diterjemahkan dan diterapkan oleh aktor-aktor lokal. Bjork memotret proses ini melalui riset etnografis di 6 SMP di Malang. Hasilnya adalah gambaran yang kaya mengenai proses sensemaking aktor lokal - dan mengapa kebijakan pendidikan kerap gagal membuahkan hasil yang diinginkan perancangnya.

Muatan lokal dalam kurikulum

Mulai digagas pada pertengahan 1980-an, kurikulum muatan lokal merupakan salah satu bentuk reformasi pendidikan paling signifikan pada dekade terakhir Orde Baru. Diterapkan secara nasional pada tahun 1994, kebijakan ini meminta sekolah merancang mata pelajaran baru yang mencerminkan kondisi dan kebutuhan lokal. Mata pelajaran tersebut diberi ruang 20% dari total waktu pelajaran.

Meminta sekolah merancang mata pelajaran bukan perkara sepele. Guru sudah terbiasa - atau mungkin lebih tepatnya dibiasakan - selama sekian puluh tahun terbiasa untuk menyampaikan materi yang ada di buku teks. Ibarat penyanyi kafe yang biasanya melantunkan lagu-lagu orang lain, namun tiba-tiba diminta menggubah lagu orisinil yang sesuai dengan selera pendengar. Tentu bukan hal yang mudah.

Dari perspektif pemerintah pusat, melepaskan kewenangan pembuatan kurikulum juga bukan hal yang mudah. Ibarat pemilik perusahaan yang terbiasa punya kekuasaan mutlak, tiba-tiba diminta untuk membagi sebagian kekuasaan pada bawahannya. Setelah sekian lama menentukan seluruh konten kurikulum, pemerintah pusat harus rela memberi porsi cukup besar pada guru dan kepala sekolah.

Pendek kata, kebijakan muatan lokal dalam kurikulum meminta jutaan guru dan kepala sekolah untuk ikut menentukan arah pendidikan nasional. Seberapa banyak guru yang mampu mengemban tugas ini? Bagaimana jika hasilnya justru lebih buruk dari kurikulum sebelumnya? Demikian kira-kira sebagian kecemasan para pejabat pendidikan di pusat.

Tujuan kebijakan muatan lokal

Jika penuh dengan tantangan, mengapa kebijakan ini diluncurkan? Menurut Bjork, lahirnya kebijakan kurikulum muatan lokal didorong dua faktor utama.

Faktor pertama adalah tekanan lembaga donor internasional. Lembaga seperti Bank Dunia dan ADB getol mendorong desentralisasi dan penguatan otonomi lokal. Kedua hal ini dipandang sebagai obat mujarab untuk berbagai penyakit yang dialami negara-negara berkembang, mulai dari korupsi sampai tidak efektifnya investasi pemerintah pusat. Karena itu, menurut Bjork, lembaga-lembaga donor internasional bahkan menjadikan desentralisasi sebagai syarat untuk mendapatkan kucuran dana. Kebijakan muatan lokal memberi wewenang pada aktor lokal, terutama guru dan kepala sekolah, untuk menentukan arah pendidikan bagi muridnya.

Faktor pendorong kedua adalah turunnya angka partisipasi pada jenjang SMP. Pada tahun 1980-an, jumlah murid SMP mengalami penurunan cukup signifikan. Salah satu yang diduga menjadi penyebab adalah tidak relevannya kurikulum SMP untuk banyak murid. Muatan lokal diharapkan bisa membuat kurikulum menjadi lebih relevan dengan kebutuhan murid.

Para pejabat yang diwawancara Bjork mengatakan bahwa kebijakan muatan lokal juga diharapkan bisa meningkatkan mutu pengajaran. Dengan meminta guru merancang mata pelajaran baru, kebijakan muatan lokal diharapkan memaksa guru untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai desainer kurikulum. Guru dituntut lebih memahami kondisi lokal dan kebutuhan belajar murid, kemudian menerjemahkan pemahaman tersebut menjadi tujuan belajar, aktivitas dan penilaian yang relevan.

Pasang surut otonomi sekolah

Seperti saya tulis di awal, kebijakan muatan lokal otomatis menuntut kepala sekolah untuk tidak hanya berperan sebagai administrator, tetapi juga sebagai pemimpin instruksional. Seorang pemimpin tentu perlu memiliki otonomi untuk membuat keputusan strategis - dalam hal ini tentang 20% dari kurikulum sekolahnya. Kebijakan muatan lokal sesungguhnya merupakan cikal bakal penerapan paradigma otonomi sekolah dalam kebijakan pendidikan di Indonesia.

Saat ini muatan lokal dan otonomi sekolah dalam merancang kurikulum sudah menjadi norma yang ditasbihkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2003. Sudah bukan barang baru lagi. Tapi kalau diperhatikan, sesungguhnya otonomi sekolah dalam hal kurikulum mengalami pasang surut.

Menurut Bjork, kebijakan muatan lokal tahun 1994 memberi kewenangan penuh pada sekolah untuk merancang mata pelajaran baru. Pemerintah, baik di pusat maupun kantor-kantor wilayahnya, diposisikan sebagai fasilitator. Tugas mereka adalah membantu guru dan kepala sekolah untuk memahami tujuan dan cara menerapkan kebijakan muatan lokal. Tanggung jawab utama untuk merancang mata pelajaran ada di pundak sekolah. Ini mencerminkan otonomi sekolah yang besar dalam urusan kurikulum.

Otonomi sekolah ini menjadi sedikit lemah di era reformasi (pasca Orde Baru), ketika penyelenggaraan pendidikan didelegasikan kepada pemerintah daerah. Dalam urusan kurikulum, UU Sisdiknas 2003 menetapkan bahwa pemerintah pusat hanya membuat kerangka dasar dan struktur kurikulum. Kurikulum dalam arti silabus tiap mata pelajaran dibuat oleh satuan pendidikan (sekolah atau madrasah) “di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama”.

Saya tidak tahu apakah hal ini berarti sekolah tidak lagi bebas membuat mata pelajaran sendiri untuk mengisi bagian “muatan lokal” dalam kurikulum. Melihat bahwa sekolah negeri di tiap daerah menawarkan paket mata pelajaran yang sama, saya menduga demikian. Tapi saya belum menemukan riset yang secara langsung menelaah kebijakan dan praktik kurikulum pada periode awal era reformasi.

Yang jelas, sepuluh tahun sejak UU Sisdiknas, otonomi sekolah kembali dipangkas melalui kebijakan Kurikulum 2013. Secara normatif, guru dan sekolah memang masih memiliki kewenangan untuk membuat kurikulumnya sendiri. Namun standar isi dalam Kurikulum 2013 sudah sedemikian rinci sehingga mendorong guru untuk mengadopsi saja rumusan tersebut dalam silabusnya. Guru juga dipaksa menggunakan buku teks yang dibuat dan diedarkan secara nasional oleh pemerintah pusat.

Bagi saya, pasang surut otonomi sekolah dalam urusan kurikulum mencerminkan siklus tak sehat antara rendahnya kapasitas aktor lokal (guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan) dan ketidakpercayaan pemerintah pusat pada aktor lokal. Ini adalah salah satu tantangan utama yang perlu dipecahkan, jika kita ingin melihat perbaikan fundamental dalam kualitas pendidikan.

Referensi

Bjork, C. (2005). Indonesian Education: Teachers, Schools, and Central Bureaucracy. NY: Routledge.


Sunday, September 20, 2020

Polemik Penyederhanaan Kurikulum

Oleh: Anindito Aditomo | 20 September 2020

Menyederhanakan kurikulum bukan perkara sederhana. Kontroversi yang dipicu oleh desas-desus penghilangan mata pelajaran sejarah menjadi buktinya. Meski sudah dibantah Kemendikbud, kontroversi ini mencerminkan tantangan utama upaya penyederhanaan kurikulum: setiap mata pelajaran memiliki kelompok advokat yang akan menolak pemangkasan konten mata pelajaran tersebut.

Tantangan ini lebih bersifat politis ketimbang substantif. Ini wajar karena kebijakan kurikulum selalu melibatkan tarik menarik antar kelompok kepentingan. Apa yang akhirnya tercakup dalam kurikulum nasional adalah hasil negosiasi antar kelompok kepentingan tersebut. Ironisnya, yang kerap tersingkir dalam proses ini adalah kepentingan subjek utama pendidikan, yakni para murid.

Imperatif ekonomi dan sosial-budaya

Sistem persekolahan modern diciptakan untuk menyiapkan calon-calon pekerja. Dalam konteks negara-negara bekas jajahan, penguasa kolonial membangun sekolah untuk melatihkan keterampilan baca-tulis-hitung yang diperlukan dalam menjalankan mesin birokrasi. Di era global sekarang ini, imperatif ekonomi masih kental mewarnai kebijakan pendidikan. Wacana tentang keterampilan abad ke-21, misalnya, merupakan produk organisasi ekonomi seperti World Economic Forum dan OECD.

Selain imperatif ekonomi, kebijakan pendidikan juga disetir oleh imperatif sosial-budaya. Persekolahan modern adalah sarana paling efektif untuk mewariskan tradisi dan nilai-nilai yang menjadi perekat sebuah masyarakat. Dalam konteks negara-negara bekas jajahan, persekolahan modern menjadi instrumen utama untuk membangun identitas sebagai bangsa yang baru lahir. Untuk Indonesia secara khusus, persekolahan modern dimanfaatkan selama puluhan tahun sebagai sarana indoktrinasi ideologi untuk melanggengkan kekuasaan rezim otoriter.

Keberadaan berbagai mata pelajaran dalam kurikulum bisa dijelaskan oleh kedua imperatif ini. Mata pelajaran sains dan matematika, misalnya, diyakini mengajarkan keterampilan yang esensial untuk pekerjaan di semua bidang. Karena itu, keduanya secara hampir secara universal dianggap sebagai menjadi bagian sah dari kurikulum. Mata pelajaran lain mendapat justifikasi dari imperatif sosial-budaya. Di Indonesia, hal ini bahkan tertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional yang secara eksplisit menyebutkan tiga “muatan” wajib kurikulum: agama, Pancasila, dan bahasa Indonesia. Ketiga muatan ini mewakili nilai-nilai pokok kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat Indonesia yang dirasa perlu diwariskan pada generasi selanjutnya.

Kontroversi terkait mata pelajaran sejarah yang baru saja meledak juga dapat dipahami dari kacamata imperatif sosial-budaya (VanSledright, 2008). Protes yang paling kencang berasal dari kalangan yang mengkhawatirkan pudarnya karakter dan identitas kebangsaan. Pemaparan sejarah bangsa di bangku sekolah - terlepas dari efektivitasnya - dipercaya sebagai cara yang sah dan wajar untuk membentuk nasionalisme pada generasi muda. Jangankan penghapusan, dari perspektif ini perubahan status mata pelajaran dari wajib menjadi pilihan pun sudah dipandang sebagai ancaman serius terhadap identitas kebangsaan.

Merancang kurikulum yang berpihak pada murid

Meski tak terhindarkan, imperatif ekonomi dan sosial-budaya dalam pendidikan perlu diimbangi dengan keberpihakan pada murid. Ini berlaku pula dalam merancang kurikulum nasional. Mengapa demikian dan apa artinya?

Murid perlu waktu untuk membangun pemahaman

Pertama, berpihak pada murid berarti memahami bahwa mereka bukan cawan kosong yang bisa diisi dengan fakta dan nilai-nilai. Ilmu kognitif modern menunjukkan bahwa pemahaman hanya bisa terjadi jika murid secara aktif memproses materi pelajaran untuk dirakit menjadi pengetahuan baru. Proses perakitan ini tidak mudah karena informasi selalu diproses dari kacamata pengetahuan lama yang kerap mengandung miskonsepsi. Karena itu, kalaupun murid terlibat aktif dalam memproses materi pelajaran, pemahaman baru yang terbentuk seringkali mengandung distorsi (National Academies of Sciences, Engineering, & Medicine, 2018).

Sebagai contoh, pemahaman bahwa “bumi itu bulat” ternyata tidak bisa begitu saja disampaikan pada murid. Secara natural, anak-anak memiliki prakonsepsi bahwa bumi itu datar (sebagaimana juga diyakini oleh orang dewasa selama berabad-abad). Mengubah prakonsepsi ini menjadi pemahaman ilmiah tentang bentuk bumi memerlukan proses perakitan pengetahuan yang tidak sederhana. Murid perlu diajak bernalar tentang beragam fenomena yang sulit dijelaskan bila bumi memang datar. Tanpa proses tersebut, murid hanya akan memperoleh pemahaman semu yang rapuh. Karena itulah banyak orang dewasa yang saat ini kembali percaya bahwa bumi itu datar (Vosniadou, 2020).  

Jika untuk memahami konsep sesederhana bentuk bumi perlu proses penalaran yang panjang, bayangkan waktu yang diperlukan untuk memahami berbagai konsep kompleks yang ada dalam kurikulum. Mari ambil contoh dari sejarah. Untuk memahami mengapa Soekarno enggan memproklamasikan kemerdekaan pada Agustus 1945, mengapa tujuh kata Piagam Jakarta pada akhirnya tidak masuk dalam rumusan sila pertama Pancasila, atau mengapa revolusi Industri terlahir dari Inggris dan bukan tempat lain, misalnya, murid perlu diberi banyak waktu untuk mengeksplorasi, berdebat, dan berpikir. Hal-hal ini tidak mungkin dilakukan jika kurikulum sejarah masih meminta murid untuk mempelajari secara komprehensif fakta sejarah dari kurun waktu ratusan tahun (National Research Council, 2005).

Pendek kata, jika ingin berpihak pada murid, perancang kurikulum perlu memangkas sebanyak mungkin konten kurikulum. Keluasan (konten) dan kedalaman (pemahaman) adalah dua hal yang tidak bisa berjalan beriringan. Jika disetir semata-mata oleh imperatif ekonomi dan sosial-budaya, kurikulum akan menjadi penuh sesak. Guru akan terpaksa mengajar dengan tergesa-gesa demi “menuntaskan kurikulum”, dan murid akan dipaksa menelan banyak informasi tanpa waktu untuk memahaminya.

Murid memiliki keunikan individual

Kedua, berpihak pada murid berarti memahami bahwa mereka memiliki keunikan bakat, minat, dan cita-cita. Keunikan bakat berarti murid memiliki kecepatan belajar yang berbeda-beda untuk tiap mata pelajaran. Murid yang cepat memahami esensi dari rumus geometri, misalnya, belum tentu tangkas menyelami rasa bahasa yang menjadi ciri penulis atau genre tertentu. Implikasinya, perancang kurikulum perlu memberi ruang bagi guru untuk mengajar secara adaptif, untuk mengubah cara dan kecepatan mengajarnya sesuai dengan kebutuhan murid atau kelompok murid tertentu.

Keunikan minat dan cita-cita berarti murid memiliki motivasi belajar yang berbeda untuk tiap mata pelajaran dan bahkan topik spesifik. Misalnya, murid yang bercita-cita menjadi jurnalis memiliki kesadaran yang lebih kuat tentang pentingnya pelajaran bahasa dibanding mereka yang ingin berkarir sebagai insinyur. Murid yang bercita-cita menjadi influencer, Youtuber, atau pemain game profesional akan memiliki kombinasi preferensi yang lain lagi terhadap mata pelajaran yang ada di sekolah (Schiefele, 1991).

Implikasi paling jelas bagi perancang kurikulum adalah perlunya memberi kesempatan pada murid untuk memilih dan meramu apa yang dipelajari di sekolah. Namun murid tentu tidak bisa memilih apa yang tidak mereka kenali. Karena itu kurikulum pendidikan dasar (setidaknya sampai dengan kelas 9) perlu menyediakan kesempatan mengapresiasi keindahan dan signifikansi ilmu dari berbagai disiplin (Brophy, 2008). Ini paling baik dicapai dengan mempelajari satu atau dua topik dari tiap pelajaran secara mendalam, dan bukan dengan memperkenalkan sebanyak mungkin konten.

Di tingkat SMA, kurikulum perlu mulai memungkinkan murid untuk menjajagi pendalaman bidang-bidang tertentu. Dalam konteks inilah kebijakan untuk TIDAK mewajibkan mata pelajaran menjadi relevan. Kurikulum nasional yang berlaku saat ini sudah memberi sedikit ruang bagi murid bentuk penjurusan. Namun ini masih jauh dari ideal karena pemilihan jurusan tidak didasarkan pada minat murid, melainkan peringkat dalam tes terstandar. Sejalan dengan imperatif ekonomi, kursi jurusan IPA dialokasikan pada murid dengan peringkat yang tinggi.

Selain itu, murid juga tidak diberi kesempatan meramu paket pelajaran lintas disiplin. Padahal banyak murid yang memiliki minat pada masalah-masalah kompleks yang penyelesaiannya membutuhkan pemahaman lintas disiplin. Bukankah bagus jika murid dengan renjana (passion) pada isu perubahan iklim, misalnya, dapat memilih paket pelajaran yang membuatnya memahami mekanisme fisis-kimiawi dari peningkatan suhu bumi, peran sistem ekonomi dalam mendorong konsumsi bahan bakar fosil, sekaligus aspek sejarah, politik, dan etis untuk memahami tanggungjawab negara-negara maju dalam menangani krisis iklim?

Murid memiliki masa depan yang panjang

Ketiga, berpihak pada murid berarti memahami bahwa mereka memiliki masa depan yang panjang. Kebanyakan murid akan berkarir selama 40 sampai 50 tahun setelah mereka lulus SMA ataupun universitas. Masa depan murid tidak terbatas pada karir atau pekerjaan yang menanti mereka ketika lulus kuliah.

Implikasinya, perancang kurikulum perlu memprioritaskan tujuan belajar yang bermanfaat bagi kehidupan murid dalam jangka panjang. Hal ini berarti membantu murid untuk menjadi pelajar sepanjang hayat. Pelajar yang mampu secara mandiri maupun bersama orang lain mengembangkan keahlian baru dan berinovasi menciptakan lapangan kerja. Hal ini juga berarti membantu murid mengembangkan kemampuan bernalar kritis dan kreatif yang bermanfaat di berbagai bidang. Meminta murid menguasai terlalu banyak fakta dan keterampilan spesifik justru menciderai kesempatan mereka untuk beradaptasi dalam dunia yang volatil, tak pasti, kompleks, dan ambigu (Larson & Miller, 2011).

Tanpa keberpihakan pada masa depan murid, imperatif ekonomi dan sosial-budaya akan mendorong perancang kurikulum mengambil perspektif jangka pendek. Kurikulum pelajaran-pelajaran seperti agama, bahasa, dan sejarah akan didominasi dengan konten yang mencerminkan keyakinan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat saat ini (yang bisa saja berubah di masa depan). Perguruan tinggi akan berfokus pada pengetahuan dan keterampilan spesifik yang menjadi kebutuhan pasar saat ini, dengan efek domino pada kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Tujuan belajar di setiap jenjang tereduksi menjadi persiapan untuk memasuki jenjang berikutnya. Sebagai contoh, apa yang ada dalam kurikulum matematika SMA menjadi fungsi dari apa yang diperlukan murid sebagai calon mahasiswa teknik dan ekonomi. Pelajaran matematika SMP dirancang agar murid siap mempelajari matematika SMA. Dan seterusnya.

Dengan mempertimbangkan masa depan murid yang panjang, perancang kurikulum akan menyadari bahwa tujuan belajar tidak boleh dibatasi pada persiapan untuk memasuki pasar kerja dan jenjang pendidikan berikutnya. Kurikulum juga tidak boleh semata disetir keinginan mewariskan tradisi dan nilai-nilai yang saat ini diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Pelajaran sejarah, misalnya, tidak boleh lagi dilihat semata-mata sebagai sarana menumbuhkan identitas kebangsaan. Agar berguna bagi masa depan murid, pelajaran sejarah juga harus membentuk nalar historis yang membuat mereka mengerti bahwa setiap peristiwa selalu memiliki banyak penyebab dan bahwa fenomena sosial jarang bisa direduksi menjadi gambaran hitam-putih atau salah-benar secara mutlak (van Boxtel & van Drie, 2013).

Penutup

Perubahan kurikulum hampir selalu melibatkan polemik. Hal ini sekali lagi terbukti dari kontroversi tentang mata pelajaran sejarah yang digosipkan akan hilang atau menjadi tidak lagi wajib di kurikulum SMA. Polemik ini, sayangnya, didominasi oleh suara orang-orang dewasa yang mewakili kepentingan kelompok-kelompok yang sedang berpengaruh. Padahal murid adalah subjek utama pendidikan dan keberpihakan pada murid memiliki implikasi besar pada rancangan kurikulum.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, berpihak pada murid dalam merancang kurikulum berarti menyadari pentingnya memangkas konten, memberi pilihan yang lebih luas, serta  memprioritaskan kecakapan yang berguna bagi masa depan murid. Dengan kata lain, kurikulum bukan hanya perlu disederhanakan, tapi harus dirombak secara fundamental. Perombakan semacam ini akan menyentuh semua mata pelajaran, tidak hanya sejarah. Yang perlu dipangkas konten dan dirombak tujuannya bukan hanya sejarah, tapi semua mata pelajaran. Yang perlu dipertimbangkan menjadi mata pelajaran pilihan di jenjang SMA bukan hanya sejarah, tapi juga mata pelajaran lain.

Jika benar-benar dilakukan, pemerintah akan menghadapi tekanan politik dari segala penjuru. Tanpa komitmen yang kuat pada kepentingan murid, upaya penyederhanaan kurikulum yang sedang dilakukan terancam layu sebelum berkembang. Yang akan dihasilkan lagi-lagi adalah kurikulum yang penuh sesak dengan konten yang melayani imperatif ekonomi dan sosial-budaya dari semua kelompok yang sedang dominan dalam masyarakat.

Referensi

Brophy, J. (2008) Developing Students' Appreciation for What Is Taught in School, Educational Psychologist, 43:3, 132-141, DOI: 10.1080/00461520701756511 

Larson, L.C. & Miller, T.N. (2011). 21st Century Skills: Prepare Students for the Future, Kappa Delta Pi Record, 47:3, 121-123, DOI: 10.1080/00228958.2011.10516575 

National Research Council (2005). How Students Learn: History, Mathematics, and Science in the Classroom. Washington, DC: The National Academies Press. https://doi.org/10.17226/10126.

National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine. (2018). How People Learn II: Learners, Contexts, and Cultures. Washington, DC: The National Academies Press. https://doi.org/10.17226/24783.

Schiefele, U. (1991) Interest, Learning, and Motivation, Educational Psychologist, 26:3-4, 299-323, DOI: 10.1080/00461520.1991.9653136

Van Boxtel, C. & Van Drie, J. (2013). Historical reasoning in the classroom: What does it look like and how can we enhance it? Teaching History, 150: 44-54.

VanSledright, B. (2008). Narratives of Nation-State, Historical Knowledge, and School History Education. Review of Research in Education, 32(1), 109–146. https://doi.org/10.3102/0091732X07311065

Vosniadou, S.  (2020, July 30). Students’ Misconceptions and Science Education. Oxford Research Encyclopedia of Education. Retrieved 20 Sep. 2020, from https://oxfordre.com/education/view/10.1093/acrefore/9780190264093.001.0001/acrefore-9780190264093-e-965. 

Tentang penulis

Anindito Aditomo baru saja menyelesaikan riset pasca-doktoral di Leibniz Institute for Research and Information in Education, Jerman. Saat ini Anindito adalah peneliti di Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) dan pengajar paruh waktu di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Anindito memperoleh gelar sarjana psikologi dari Universitas Gadjah Mada, dan gelar master serta doktoral di bidang pendidikan dari University of Sydney, Australia.

Saturday, August 29, 2020

MEMBEDAH KURIKULUM 2013 (2)

Oleh: Anindito Aditomo


Melanjutkan tulisan sebelumnya, saya akan membahas bagaimana Kurikulum 2013 memaknai kompetensi. Tulisan tersebut saya akhiri dengan pertanyaan berikut. Adakah yang bermasalah dengan cara Kurikulum 2013 mendeskripsikan kompetensi murid?
 
Jawaban singkatnya: yang problematis adalah pemisahan antara pengetahuan dan keterampilan sebagai kategori kompetensi yang berbeda. Ini bermasalah karena kompetensi sesungguhnya merupakan kesatuan antara keterampilan, pengetahuan, dan juga sikap/keyakinan/disposisi (seperti dalam ilustrasi OECD di bawah).
 
Murid yang kompeten atau cakap memecahkan problem matematika pasti punya pengetahuan tentang konsep dan prinsip-prinsip matematika. Ia juga tentu terampil mengabstraksikan situasi nyata menjadi problem matematika, kemudian memanipulasi problem tersebut, sebelum menerjemahkan hasilnya kembali dalam situasi awal. Murid seperti ini juga biasanya senang atau menikmati menyelesaikan problem matematika.
 
Dengan kata lain, kompetensi bermatematika merupakan perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, dan juga disposisi afektif. Ini berlaku untuk semua mata pelajaran, termasuk yang bersifat lebih praktis seperti olahraga dan seni. Semua kompetensi sejatinya memiliki unsur pengetahuan, keterampilan, dan disposisi afektif - meski komposisi dan kadarnya bisa berbeda-beda.
 
Karena itu kurikulum seharusnya menampilkan pengetahuan dan keterampilan sebagai bagian dari kesatuan kompetensi. Bukan memisahkannya menjadi dua jenis kompetensi seperti yang dilakukan pada Kurikulum 2013. Ini keputusan yang bukan hanya keliru secara epistemologis, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah implementasi.
 
Dengan memisahkan pengetahuan dari keterampilan, Kurikulum 2013 seolah-olah mengatakan bahwa guru diminta mengajarkan dan mengukur pengetahuan abstrak. Pengetahuan yang terpisah dari laku dan konteks tertentu. Bahasa awamnya, sekadar hafalan yang mudah menguap, tidak bisa diterapkan, dan karena itu tidak bermakna.
 
Di sisi lain, guru juga seolah diminta mengajarkan keterampilan yang tidak melibatkan pengetahuan. Dalam banyak pelajaran, hal ini sulit diterapkan karena keterampilan yang diajarkan bersifat kognitif (dan karena itu tidak akan lepas dari pengetahuan).
 
Pada pelajaran tertentu, guru mungkin bisa membayangkan keterampilan konkret yang seolah bisa dipisahkan dari pengetahuan. Keterampilan melakukan percobaan yang mengilustrasikan proses kimiawi tertentu, misalnya. Atau keterampilan membacakan puisi di depan kelas. Atau keterampilan menggiring bola dalam pertandingan sepakbola.
 
Tapi melihat keterampilan sebagai terpisah dari pengetahuan justru membuatnya menjadi tak bermakna. Murid hanya akan menghafal prosedur. Mereka mungkin akan bisa menjalankan prosedur tersebut, tapi secara mekanis saja. Tanpa pengetahuan tentang makna dan fungsi dari prosedur yang dijalankan, murid akan kesulitan menerapkannya di situasi yang berbeda.
 
Dengan kata lain, pemisahan antara pengetahuan dan keterampilan dalam Kurikulum 2013 justru berpotensi memicu praktik buruk di lapangan. Di satu sisi, pengetahuan diajarkan secara kering - lepas dari konteks penerapan yang bermakna. Di sisi lain, keterampilan juga diajarkan secara mekanis - tanpa pemahaman tentang tujuan dan fungsinya.
 
Dari perspektif guru, pemisahan pengetahuan dari keterampilan ini paling merepotkan ketika harus melaporkan nilai di rapor! Sungguh merepotkan ketika sebenarnya hanya ada satu nilai yang mencerminkan sebuah kompetensi, namun aplikasi rapor memaksa guru mengarang dua nilai yang terpisah. Tentu para guru sudah punya solusi kreatif untuk menghadapi masalah ini 😃
 
Balik ke topik yang saya angkat di tulisan pertama: masalah pengajaran bukan melulu soal mutu guru atau kompetensi dalam menerapkan kurikulum. Sebagian akar masalahnya ada pada desain kurikulumnya itu sendiri. Dalam kasus Kurikulum 2013, asumsi paling dasar tentang kompetensi pun sudah bermasalah. Dan sayangnya ini bukan satu-satunya problem konseptual dari kurikulum yang digadang-gadang bervisi jauh ke depan ini.

Friday, August 28, 2020

MEMBEDAH KURIKULUM 2013 (1)

Oleh: Anindito Aditomo


Sudah beberapa waktu yang lalu Presiden Jokowi memerintahkan perubahan kurikulum. Kalau tidak salah, perubahan kurikulum ini adalah salah satu instruksi pertama presiden pada Mendikbud Nadiem. Sila cek berita-berita sekitar bulan Desember 2019. (Ya, belum setahun yang lalu, meski terasa seperti era yang berbeda!)
 
Perubahan kurikulum tentu dimaksudkan untuk mengubah yang saat ini berlaku (Kurikulum 2013) menjadi lebih baik. Ini mensyaratkan evaluasi yang cermat terhadap kebijakan Kurikulum 2013.
Sayangnya, evaluasi kebijakan kurikulum tampaknya belum menjadi tradisi para sarjana maupun pengambil kebijakan pendidikan kita.
 
Evaluasi kurikulum cenderung terfokus pada masalah implementasi. Kalau kurang yakin, cobalah cari di Google Scholar dengan kata kunci evaluasi Kurikulum 2013. Beberapa halaman pertama akan didominasi oleh studi-studi implementasi kurikulum. Masalah implementasi pun kerap disempitkan pada satu faktor, yaitu kemampuan guru dalam menerjemahkan kurikulum.
 
Jadi kalau target belajar yang tertera di kurikulum jarang tercapai, yang paling sering disalahkan adalah guru. Kalau materi kurikulum bahasa Indonesia diajarkan dengan buruk, perhatian segera tertuju pada kompetensi guru. Demikian juga ketika penilaian dipraktikkan sebagai pengukuran hafalan. Gurulah yang salah atau dianggap kurang kompeten.
 
Demikianlah yang saya amati dalam beberapa perbincangan tentang Kurikulum 2013. Pemerintah dan banyak pengamat mengatakan bahwa Kurikulum 2013 sebenarnya bagus. Kurikulum tersebut disebut-sebut sebagai kurikulum yang bervisi jauh ke depan. Kurikulum itu berorientasi pada 21st Century Learning sekaligus menegaskan pentingnya pendidikan karakter yang utuh. Dst dst. Dan karena bervisi jauh ke depan itulah kebanyakan guru dan sekolah tidak mampu menerapkannya dengan baik.
 
Ohya, sedikit latar belakang untuk anda yang bukan orang pendidikan: yang disebut sebagai Kurikulum 2013 sebenarnya bukanlah kurikulum yang siap dipakai oleh guru untuk mengajar. Kurikulum 2013 adalah kerangka yang berlaku secara nasional. Secara legal, Kurikulum 2013 berwujud peraturan tentang serangkaian standar pendidikan, mulai dari kompetensi lulusan, isi atau konten kurikulum, proses belajar-mengajar, sampai penilaian hasil belajar.
 
Kembali ke topik awal. Secara implisit, kualitas belajar-mengajar di sekolah-sekolah kita seolah hanya masalah kompetensi guru. 
 
Tentu ini ada benarnya. Kompetensi guru memang bagian dari persoalan yang perlu ditangani oleh pemerintah. Tapi ingat bahwa perilaku selalu merupakan hasil interaksi antara individu dan lingkungan. Kinerja selalu merupakan fungsi dari kompetensi dan konteks. Perilaku dan kinerja mengajar bukan pengecualian. Buruknya kualitas pendidikan kita bukan sekadar persoalan kompetensi guru.
 
Dalam konteks evaluasi kurikulum, berfokus pada persoalan implementasi adalah sebuah kesalahan. Apalagi kalau secara sempit menganggap masalahnya hanya pada kompetensi guru. Evaluasi kurikulum juga harus mencermati kebijakannya itu sendiri.
 
Apanya dari kebijakan tersebut yang perlu diperbaiki? Apakah ada fitur-fitur Kurikulum 2013 yang - secara tak sengaja - mendorong praktik pengajaran yang kurang baik? Mengapa demikian? Fitur seperti apa yang seharusnya lebih mendorong praktik belajar-mengajar yang lebih baik?
 
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak bisa dijawab kalau pengambil kebijakan hanya menyalahkan guru dan sekolah sebagai pelaksana. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab melalui telaah kritis terhadap kebijakannya itu sendiri. Tentu telaah yang disertai pemahaman tentang praktik implementasi di lapangan. Tapi objek utama evaluasi kurikulum seharusnya tentu kebijakan kurikulum itu sendiri.
 
Untuk kasus Kurikulum 2013, evaluasi ini musti dimulai dari telaah atas asumsi-asumsi epistemologisnya. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, telaah terhadap bagaimana Kurikulum 2013 merumuskan apa itu pengetahuan. 
 
Dengan mengenakan kacamata epistemologis, terlihat bahwa salah satu problem mendasar Kurikulum 2013 adalah permisahan antara "kompetensi pengetahuan" dan "kompetensi keterampilan". Mengapa pemisahan ini bermasalah? Coba amati contoh dalam gambar ini, yang merupakan cuplikan tujuan belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 2 SD dalam Kurikulum 2013. Dapatkah anda menerka mengapa pemisahan ini problematik?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...