Thursday, June 28, 2018
Agar Riset Pendidikan lebih Berdampak
Monday, May 28, 2018
Riset Pendidikan Berbasis Data Tes Internasional (Annotated Bibliography)
The Role of Schooling in Perpetuating Educational Inequity: An International Perspective (Schmidt, dkk., 2015).
Artikel ini mengkaji peran "kesempatan belajar" (opportunity to learn, OTL) sebagai variabel perantara yang menjelaskan kaitan antara status ekonomi sosial (SES) dengan prestasi matematika. Para penulis menyatakan bahwa kaitan antara SES dan prestasi akademik sudah bisa dianggap sebagai fenomena yang well-established. Secara rata-rata, siswa dari keluarga kaya cenderung lebih tinggi prestasinya di sekolah. Dalam artikel ini, Schmidt dkk ingin menunjukkan bahwa salah satu mekanisme pengaruh SES terhadap prestasi adalah melalui kesempatan belajar yang tersedia bagi siswa.
Metode. Schmidt dkk memanfaatkan data PISA 2012 untuk menjawab pertanyaan penelitiannya. OTL dioperasionalkan sebagai "intensitas paparan (exposure) terhadap topik-topik matematika", yang diukur pada level individu siswa. Dalam bahasa yang lebih sederhana, OTL dalam riset ini adalah apakah siswa pernah diperkenalkan pada topik-topik matematika (khususnya aljabar dan geometri). SES dioperasionalkan sebagai komposit (paduan) dari tiga indikator: profesi orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan harta benda di rumah. Beberapa variabel juga dimasukkan untuk dikontrol secara statistik: gender, usia, kelas, dan apakah siswa mengerjakan tes dalam bahasa ibunya. Analisis dilakukan dengan berbagai teknik, termasuk regresi multijenjang dan pemodelan struktural.
Temuan. Secara keseluruhan, hasil analisis menunjukkan adanya kaitan erat antara SES, OTL, dan prestasi matematika. Pemodelan struktural menunjukkan bahwa OTL menjadi variabel perantara bagi kaitan antara SES dan prestasi. Ini terjadi pada level individu, sekolah, maupun negara.
- Pada level individu, siswa dari keluarga SES tinggi cenderung lebih sering diperkenalkan pada berbagai topik matematika, dan cenderung lebih tinggi pula prestasi matematikanya (dibanding siswa SES rendah di sekolah yang sama).
- Pada level berikutnya, siswa yang bersekolah di sekolah ber-SES tinggi cenderung lebih banyak mendapat paparan pada berbagai topik matematika, dan cenderung lebih tinggi pula prestasinya (dibanding siswa dari latar belakang keluarga yang mirip, tapi bersekolah di sekolah dengan SES rendah).
- Pada level negara, kesenjangan OTL berasosiasi dengan kesenjangan prestasi. Dengan kata lain, semakin besar kesenjangan OTL (antar sekolah di sebuah negara), semakin besar pula kesenjangan prestasi (antar sekolah di negara itu).
Sumber: Schmidt, Burroughs, Zoido, dan Houang (2015), halaman 375. |
Implikasi. Temuan-temuan Schmidt dkk menunjukkan bahwa kesenjangan prestasi (matematika) mungkin bisa dikurangi melalui pemberian kesempatan belajar yang lebih setara/seragam. Schmidt dkk mengatakan bahwa mengubah kebijakan pendidikan (untuk mengurangi kesenjangan kesempatan belajar) relatif lebih mudah dibanding intervensi untuk mengurangi SES secara langsung. Tapi saya kok tidak sepakat, mengingat sistem pendidikan tidak kalah kompleksnya dibanding sistem ekonomi. In any case, artikel ini cukup meyakinkan dalam argumen utamanya: perbedaan SES berujung pada kesempatan belajar yang berbeda, yang kemudian membuahkan prestasi yang berbeda pula.
Saturday, May 19, 2018
Asingnya Dunia Ilmu Pengetahuan: Obrolan Sabtu Pagi
Buku yang ia baca judulnya ini adalah salah satu referensi klasik mengenai pengaruh kurikulum terhadap hasil belajar siswa. Terbit tahun 2001 dan ditulis oleh pakar-pakar pendidikan dari Michigan State University (Schmidt dan kawan-kawan), "Why School Matters" didasarkan pada analisis dokumen kurikulum serta hasil tes matematika dan sains pada siswa dari hampir 50 negara.
Merangkumkan isi buku semacam ini untuk siswa kelas 4 bukan hal mudah. Tapi saya juga tidak ingin membuang kesempatan ngobrol tentang buku ini. Karena itulah saya bertanya balik: "What do you think? Menurutmu apa kira-kira isinya?"
Saturday, May 12, 2018
Analisis Data dengan MPlus: Menyiapkan Data dari SPSS
MPlus perlu file data dalam bentuk "Tab Delimited" (ekstensinya .dat). [Baca pengantar tentang MPlus di sini.] Seperti saya tulis di posting sebelumnya, file data ini bisa disiapkan menggunakan spreadsheet editor seperti Open Calc atau Excel.
Bagaimana jika anda sudah memiliki data yang tersimpan dalam format SPSS (.sav)? Mudah saja. Di SPSS, cukup gunakan perintah "Save As" di sebagai file .dat. Seperti terlihat di gambar, klik menu File, kemudian cari tombol Save As ...
Thursday, May 10, 2018
Analisis Data dengan MPlus: Menyiapkan Data dari Excel
OK, anda sudah menginstal MPlus di komputer. Jika belum, baca posting saya sebelumnya.
Hal berikutnya yang perlu dilakukan adalah menyiapkan file data yang hendak dianalisis. Ada beberapa cara untuk menyiapkan file data. Bagi yang terbiasa menggunakan SPSS, penyiapan file data agar sesuai permintaan MPlus ini terasa sedikit "ribet".
Jika data anda masih berupa kuesioner tertulis yang harus diinput ke bentuk digital, maka cara paling mudah barangkali adalah menggunakan aplikasi spreadsheet seperti Open Office Calc (gratis!) atau MS Excel. Berikut langkah-langkahnya:
Wednesday, May 9, 2018
Analisis Data dengan MPlus: Pengantar
MLM sangat berguna (atau bahkan mutlak diperlkan) ketika kita berhadapan dengan data dari sampel berjenjang. Ini terjadi ketika, misalnya saja, seorang peneliti sosial melakukan sampling pada level wilayah geografis (kota, desa, dll.), sebelum memilih responden di wilayah-wilayah yang terpilih tersebut. Atau ketika peneliti pendidikan memilih sejumlah sekolah, sebelum mengambil sampel siswa dari tiap sekolah tersebut.
Ilustrasi sampel dua-jenjang: sekolah dan siswa (sumber: https://www.methods.manchester.ac.uk) |
Tuesday, November 21, 2017
Sekolah Bukan Tempat Menimba Ilmu
Memang, meski populer, teori gaya belajar tidak memiliki landasan ilmiah kuat. Dan justru itulah yang menjadi fokus kuliah tersebut: mengevaluasi kuat lemahnya landasan ilmiah sebuah teori yang populer di kalangan pendidik maupun orang awam. Kuliah saya awali dengan menyampaikan klaim sentral teori gaya belajar, yakni bahwa proses belajar akan lebih efektif jika materi disampaikan sesuai dengan gaya belajar tiap siswa. Saya menanyakan apakah mereka percaya pada klaim tersebut. Mahasiswa kemudian saya ajak merefleksikan pengalaman belajar mereka sendiri. Saya juga membuat simulasi kecil dan merangkumkan hasil-hasil penelitian tentang gaya belajar. Di akhir pertemuan, saya menanyakan lagi apakah mereka percaya klaim teori gaya belajar.
Thursday, October 19, 2017
Ngobrolin Kematian di Meja Makan
Oleh: Anindito Aditomo
"Maksudmu gimana?" saya tanya balik sambil berusaha memahami apa yang ada di benaknya. Entah mengapa, ia sedang galau memikirkan kematian. "Mati kan menakutkan. Setelah itu kita nggak bisa hidup lagi." Betul, saya jawab.
"Kita ada di mana setelah mati?" Saya jawab bahwa kalau menurut ilmu biologi, kematian adalah akhir kehidupan. Tidak ada kelanjutannya. Tapi justru karena sudah mati, kita tidak bisa merasakan apa-apa. Tidak takut, tidak khawatir soal apa-apa lagi.
"Enggak masuk surga?" kejarnya lagi. Saya jawab bahwa menurut keyakinan agama Islam, ruh orang-orang yang baik akan masuk surga setelah mati.
"Di surga ada sungai susu ya? Tapi kalau ruh, apa masih bisa minum? Dan kalau nggak suka susu gimana?" Saya jawab bahwa itu mefatora. Intinya, surga adalah tempat yang menentramkan dan menyenangkan.
"Apa nggak bisa kembali hidup setelah mati? Jadi binatang atau orang lain?" Saya jawab, itu yang terjadi menurut keyakinan sebagian agama Budha. Rupanya konsep reinkarnasi - kemungkinan untuk hidup kembali di dunia yang ia ketahui bentuknya ini - lebih menarik baginya. Tapi saya katakan bahwa tapi saya nggak tahu banyak tentang ajaran itu.
"Jadi yang benar yang mana? Apa yang terjadi setelah kita mati?" Saya bilang, kita nggak bisa tahu pasti apa yang akan terjadi setelah mati. Tapi yang lebih penting adalah apa yang kita lakukan ketika masih hidup. Memikirkan bagaimana supaya hidup kita bahagia dan membuat orang lain bahagia.
Untunglah, jawaban itu membuat anakku berhenti bertanya. Sambil mulai makan, saya mikir kalau jawaban itu sepertinya lebih pantas menjadi nasehat untukku sendiri, hahaha.
Wednesday, September 13, 2017
Menukar Peran Konsep dan Contoh: Cara Sederhana Menghidupkan Kuliah Metode Penelitian
Oleh: Anindito Aditomo
Kemarin malam saya mengajar dasar-dasar metode penelitian kuantitatif menggunakan materi tentang psikologi moral. Biasanya, minggu-minggu awal kuliah metode penelitian saya isi dengan mempresentasikan definisi konsep-konsep dasar seperti penyimpulan induktif vs deduktif dan paradigma penelitian sosial. Tentu saya juga memberi contoh-contoh spesifik. Namun dalam pendekatan mengajar yang biasanya, contoh-contoh spesifik tersebut berperan sebagai ilustrasi saja.
Monday, September 4, 2017
Asal-usul Moralitas
Oleh: Anindito Aditomo
Dari manakah moralitas berasal? Apa yang menentukan penilaian moral (moral judgment) kita? Mengapa dua orang yang sama-sama punya common sense, bisa begitu berbeda pendapat dalam menilai benar-salahnya sebuah tindakan? Saya menjadi tertarik mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan seperti ini semenjak Pilkada Jakarta kemarin.“Sebuah keluarga memiliki seekor anjing peliharaan. Suatu hari, anjing itu mati tertabrak mobil di depan rumah. Salah satu anggota keluarga mengatakan bahwa daging anjing itu enak. Bangkai anjing peliharaan itu pun dipotong-potong, dimasak, dan dimakan bersama. Tidak ada orang yang melihat mereka melakukannya."
“Ada seorang lelaki yang setiap akhir pekan membeli ayam utuh di supermarket. Sesampai di rumah, ia menyetubuhi alias berhubungan seks dengan bangkai ayam tersebut. Setelah itu ia memasak dan menyantap ayam tersebut.”