Tuesday, September 20, 2016
Antara Scopus, Jurnal Predator, dan Pengembangan Ilmu
Pendaratan di Bandara Ahmad Yani, Semarang, kemarin pagi terasa mulus. Di area kedatangan yang kemeruyuk, bu Ika Zenita bergegas menyapa dan menunjukkan arah ke mobil penjemput. Syukurlah, meski penerbangan sempat tertunda satu jam di Bandara Juanda, kami sampai di kampus Psikologi Universitas Diponegoro beberapa menit menjelang jam 10. Masih sempat beramah-tamah dengan dekan dan rehat sejenak sebelum mulai memfasilitasi lokakarya penulisan artikel jurnal rekan-rekan dosen di sini.
Pada sesi pertama, saya diminta memandu peserta untuk memilih jurnal internasional. Ya, urusan memilih jurnal yang cocok sebagai wahana publikasi ini ternyata tidak sederhana. Yang membuatnya pelik bukan hanya pilihan yang semakin banyak, tapi juga adanya jurnal-jurnal “predator” yang semakin pintar menipu para akademisi yang (dibuat) haus publikasi internasional.
Thursday, June 9, 2016
Oleh-oleh dari Aurangabad #1
Enam hari terakhir sungguh mengasyikkan. Atas sponsor beberapa lembaga, saya bersama peserta dari belasan negara mengikuti sebuah lokakarya tentang citizen-led assessment (CLA) yang diadakan ASER Centre, serta tentang beberapa program pembelajaran berbasis komunitas oleh Pratham Institute (induk organisasi ASER). Soal CLA sendiri akan kapan-kapan akan saya tulis tersendiri; untuk sementara, sila tengok website asercentre.org.
Saturday, April 30, 2016
Insting Bahasa dan Kesenjangan Akademik
Karya ahli psikolog dari Harvard University ini bercerita tentang tentang kemampuan berbahasa. Bagi Steven Pinker bahasa, pertama dan terutama, merupakan produk dari biological make-up kita sebagai spesies. Pinker tidak bermaksud menyangkal adanya pengaruh budaya pada bahasa. Yang ia maksud adalah bahwa bahasa tumbuh dari "predisposisi" alias kesiapan biologis setiap manusia normal. Bayi manusia memiliki bakat alami untuk dengan cepat menyerap dan kemudian menggunakan struktur dari bahasa lisan yang digunakan oleh orang lain di sekitarnya.
Pandangan ini sebenarnya tidak baru atau mengejutkan. Noam Chomsky, sang begawan dari MIT, telah mengungkapkan hal tersebut dengan sangat meyakinkan pada 1960an. Dan memang, gagasan-gagasan Chomsky setengah abad yang lalu itu turut melahirkan bidang interdisipliner bernama ilmu-ilmu kognitif (cognitive sciences). Yang tadinya merupakan gagasan revolusioner dan ditentang oleh status quo keilmuan, sekarang ditekuni oleh ribuan ilmuwan. Buku Steven Pinker ini merupakan rajutan temuan ilmiah tentang bahasa yang dihasilkan oleh ilmuwan dari berbagai disiplin.
Di sini saya hanya mengulas salah satu poin menarik Pinker berdasarkan temuan-temuan dari bidang antropologi. Para antropolog, menurut Pinker, belum pernah menemukan komunitas atau kelompok manusia yang TIDAK memiliki bahasa. Setiap suku terpencil yang pernah dijumpai manusia modern memiliki bahasa. Bukan itu saja. Yang penting dicatat adalah bahwa bahasa yang dimiliki suku-suku terpencil itu ternyata sama kompleksnya dengan bahasa yang digunakan masyarakat modern. Ini menunjukkan bahwa bahasa bukan semata produk peradaban modern.
Berangkat dari kenyataan itu, Pinker menyatakan bahwa tidak ada bahasa yang inferior atau superior. Pandangan ini punya implikasi penting untuk pendidikan. Di Amerika dan negara berbahasa Inggris, siswa dari keluarga miskin kerap dianggap punya kemampuan berbahasa yang inferior. Tata bahasa (grammar) yang mereka gunakan kacau balau. Kosakata mereka lebih terbatas dan kurang canggih. Dan karena itulah banyak siswa miskin yang perkembangan literasinya terhambat. Mereka lebih sering menemui kesulitan dalam membaca dan menulis dibanding siswa dari keluarga berada.
Bila bahasa merupakan produk insting yang universal, sebagaimana dikatakan Pinker, maka ketertinggalan akademik siswa miskin tadi bukan karena karena mereka lebih rendah kecerdasan berbahasanya. Pinker menceritakan penelitian William Labov tentang bahasa (lisan) anak muda kulit hitam di Harlem. Labov menemukan bahwa bahasa anak muda kulit hitam - yang secara umum miskin dan jarang berhasil secara akademik - memiliki grammar tersendiri yang tidak kalah sistematis atau rasionalnya dibanding bahasa Inggris "standar".
Dengan demikian, kesulitan akademik siswa miskin, seperti anak-anak muda kulit hitam dari Harlem tersebut, adalah karena mereka harus menggunakan bahasa yang berbeda di sekolah. Bayangkan kalau anda harus menggunakan bahasa asing di sekolah. Atau jika semua buku pelajaran anda ditulis dalam bahasa asing.
Dus, bisa dikatakan bahwa salah satu sumber kesenjangan akademik adalah penggunaan bahasa yang kebetulan dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu. Jadi bagaimana seharusnya? Entahlah. Saya menduga bahwa kesenjangan akademik di Indonesia tidak terlalu dipengaruhi oleh perbedaan bahasa, seperti halnya di Amerika dan dunia berbahasa Inggris. Meski begitu, ada baiknya orang tua dan pendidik merenungkan ajakan bijak Nelson Mandela agar berusaha untuk berbicara dalam bahasa anak-anak dan siswa kita, atau setidak-tidaknya, berbicara dalam bahasa yang mereka mengerti.
Thursday, March 31, 2016
Objektivitas Sains dan Nilai-nilai Moral
== Dalam “Science, Truth, and Democracy” (2001), filsuf sains Philip Kitcher menjabarkan visinya tentang peran yang seharusnya dimainkan sains dalam masyarakat demokratis. Ini adalah bagian dari catatan dan tanggapan saya dalam membaca bab pengantar dari karya tersebut. ==
Friday, November 27, 2015
Membongkar Mitos Gaya Belajar (2)
Andaikan anda seorang guru. Suatu ketika, atas saran seorang kawan, anda mensurvei gaya belajar siswa di kelas anda. Sebagian besar ternyata pembelajar visual: mereka mengaku lebih senang melihat gambar dan diagram daripada membaca teks atau mendengar ceramah suara.
Apa yang sebaiknya anda lakukan? Menurut para pelopor teori gaya belajar, guru yang baik seharusnya menyesuaikan cara mengajar dengan gaya belajar siswanya. Tapi bagaimana caranya? Jangan kuatir, kalau anda belum bisa melakukannya, ada berbagai seminar dan pelatihan yang bisa anda ikuti! Tentu dengan sedikit biaya investasi :)
Thursday, November 26, 2015
Membongkar Mitos Gaya Belajar (1)
Baca juga: Membongkar mitos gaya belajar (2)
Apakah anda lebih suka belajar dengan melihat? Bagaimana kalau dibandingkan belajar dengan mendengarkan orang bicara? Atau sambil bergerak dan melakukan aktivitas secara fisik?
Sebagian besar dari Anda mungkin sudah pernah mendengar pertanyaan-pertanyaan ini. Sebagian mungkin sudah pernah mencoba mengisi kuesioner atau kuis yang memuat pertanyaan-pertanyaan serupa. Di balik pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah gagasan bahwa tiap individu memiliki "gaya belajar" yang unik.
Monday, September 28, 2015
SATU KELAS, BERPULUH LINTASAN BELAJAR
Melbourne skyline dari gedung psikologi, Melbourne University. |
Friday, September 25, 2015
Kemampuan Generik dan Irisannya dengan Mata Pelajaran
Wednesday, September 23, 2015
Kurikulum dan Asesmen Pendidikan: Pengalaman Australia #2
Saturday, September 19, 2015
Reformasi Kurikulum dan Asesmen Pendidikan: Pengalaman Australia (#1)
Oleh: Anindito Aditomo
Australia
memiliki 6 negara bagian (NSW, WA, QLD, VIC, SA, dan TAS) dan 2
teritori otonom (NT dan ACT). Negara-negara bagian tersebut lahir
sebelum Australia terbentuk sebagai federasi. Karena itu tiap negara
bagian punya kebanggaan atas identitas uniknya sendiri. Tidak terlalu
mengherankan jika baru sekarang ini Australia mulai mengembangkan
kurikulum nasional.
Secara historis, pendidikan di Australia
memang berada dalam lingkup wewenang dan tanggung jawab negara bagian.
Karena itu tidak heran jika tiap negara bagian memiliki sistem
pendidikan yang berbeda-beda. Adanya kurikulum nasional yang baru
digagas belakangan tentu akan mengurangi perbedaan antar negara bagian.
Namun kurikulum nasional tidak mencakup kelas 11 dan 12, dan karena itu
tidak akan mengubah sistem pemberian ijazah SMA. Kurikulum nasional juga
tidak akan mengubah perbedaan dalam model kepegawaian masing-masing
departemen pendidikan. Bahkan untuk kurikulum sampai kelas 10 pun, tiap
negara bagian memiliki tafsirnya sendiri-sendiri (more in this in
another article).
Meski banyak perbedaan, saya juga menangkap
adanya beberapa persamaan mendasar antar negara bagian. Atau setidaknya,
antara dua negara bagian yang saya kunjungi (Victoria dan NSW). Salah
satu persamaan tersebut adalah kebijakan terkait transisi kurikulum.
Dalam hal ini, baik NSW maupun Victoria memberi waktu setidaknya 1 tahun
bagi semua guru untuk melihat dan memahami kurikulum baru sebelum
benar-benar diberlakukan.
Sebagai contoh, katakanlah pemerintah
NSW selesai mengadaptasi kurikulum nasional untuk pelajaran Sejarah pada
awal 2015. Pada titik tersebut, guru sudah bisa mengakses bukan saja
deskripsi capaian pembelajaran dan apa yang perlu dipelajari (konten)
untuk pelajaran sejarah, tapi juga resources lain seperti contoh materi
bacaan, video, contoh tugas, dan contoh rubrik penilaian. Kurikulum
tersebut baru akan diumumkan dan diberlakukan paling cepat pada awal
2016.
Masa percobaan tersebut memberi kesempatan bagi guru dan
sekolah untuk “mencicipi” kurikulum baru, sekaligus memberi masukan bagi
perbaikannya. Dengan demikian, guru punya waktu untuk mencoba membuat
lesson plan, mencari atau memadu-padankan bacaan atau resources lain,
membuat tugas asesmen dan rubrik penilaian yang cocok untuk kelasnya.
Mereka juga boleh mencoba menerapkannya di kelas, meski kurikulum
tersebut belum berlaku resmi.
Mengapa perlu waktu satu tahun
penuh untuk mencicipi kurikulum baru? Pendekatan ini, menurut saya,
mencerminkan beberapa keyakinan mendasar tentang pendidikan dan profesi
guru.
Pertama, pendekatan ini mencerminkan keyakinan bahwa
mengajar adalah pekerjaan yang sangat kompleks. Mengajar bukan sekedar
penerapan langkah-langkah yang dituliskan oleh pemerintah dalam sebuah
dokumen. Dengan kata lain, mengajar tidak bisa dilakukan secara
prosedural semata. Penerjemahan kurikulum tertulis menjadi proses
pembelajaran membutuhkan basis pengetahuan yang kompleks. Pengajaran
yang baik mensyaratkan integrasi antara pengetahuan tentang
karakteristik siswa, karakteristik kelas, batasan-batasan (constraint)
fisik dan administratif, metode pengajaran, penggunaan teknologi dan
media digital, selain tentu saja konten pelajaran dan tuntutan
kurikulum.
Berbagai pengetahuan ini tidak cukup sekedar
“diketahui”, tapi musti dikuasai secara mendalam. Penguasaan yang
mendalam inilah yang memungkinkan pelajaran berlangsung lancar, tapi
sekaligus adaptif terhadap respon siswa. Konsekuensinya, persiapan
penerapan kurikulum tidak mungkin didasarkan pada pelatihan top-down
yang berlangsung dalam 3 atau 4 hari, apalagi “pelatihan” berbasis
presentasi Powerpoint. Yang diperlukan guru dan sekolah adalah dukungan
resources (bahan ajar, contoh asesmen, rubrik, dll) yang beragam dan
dalam jumlah besar, serta kesempatan untuk mencoba menerapkannya tanpa
ancaman penalti.
Kedua, pendekatan tersebut juga mencerminkan
kepercayaan terhadap guru dan sekolah. Bahwa guru dan sekolah akan
bertindak in the students’ best interest, untuk kepentingan pembelajaran
siswa. Dan karena tiap siswa, kelas, dan sekolah memiliki karakteristik
dan kebutuhan yang berbeda-beda, pemerintah NSW dan Victoria memberi
otonomi yang luas pada guru/sekolah untuk menafsirkan dan menerapkan
kurikulum baru.
Apakah berarti bahwa kualitas guru dan sekolah
di Australia sudah seragam (dan seragam pada tingkat yang baik)? Tidak
sepenuhnya juga, dan karena itu pemberian otonomi juga mengandung
risiko. Namun demikian, mereka tampaknya merasa bahwa otonomi, dengan
segala risikonya, adalah alternatif yang lebih baik daripada kendali
terpusat.
NOTE: tulisan di atas didasarkan pada catatan kunjungan
saya ke beberapa institusi pendidikan di NSW dan Victoria, sebagai
bagian dari delegasi Balitbang Kemendikbud RI, 12-18 September 2015. Bila ada ketidakakuratan faktual dalam tulisan ini, mohon koreksinya.