Oleh: Anindito Aditomo
Saturday, May 30, 2020
MUTU GURU DAN PENGAJARAN
Saturday, April 18, 2020
AGAR MERDEKA BELAJAR, KITA PERLU BELAJAR MERDEKA
Oleh: Anindito Aditomo
Wednesday, April 8, 2020
NALAR KRITIS ADALAH BAGIAN ESENSIAL DARI KARAKTER
- Mengurangi penggunaan plastik hanya menjadi tindakan bermoral jika dilandasi pengetahuan tentang bagaimana pola konsumsi bisa berdampak pada ekonomi dan lingkungan. Jika dilakukan karena diharuskan sekolah, atau karena ikut-ikutan tren, maka apakah itu bisa dianggap sebagai perilaku yang bermoral? Bagi saya jawabannya tidak.
- Perilaku antri secara tertib hanya menjadi tindakan bermoral ketika dilakukan atas kesadaran bahwa memotong antrian sama saja dengan mengambil hak orang lain. Bahwa memotong antrian, pada tataran abstraksi tertentu, tak jauh beda dari mencuri: mengambil sesuatu yang menjadi hak orang lain. Jika antri sekadar karena diharuskan, karena takut dimarahi, apakah bisa dianggap perilaku bermoral? Menurut saya tidak.
- Tertib berlalu lintas: berhenti ketika lampu merah, parkir hanya di lokasi yang diperbolehkan, tidak menyerobot jalur antrian, dll.
- Kejujuran di tempat kerja: tidak korupsi, menggunakan waktu kerja untuk keperluan kerja, menggunakan wewenang dan jabatan hanya untuk kepentingan profesional, bukan untuk kepentingan pribadi, dll.
Sunday, March 22, 2020
Belajar Mengenal Musuh: Bagaimana Virus Corona Menyebar
Dalam perang, pengetahuan tentang musuh adalah prasyarat untuk menang. Demikian juga dengan perang melawan virus Corona. Kelangsungan hidup kita bergantung pada kemauan dan kemampuan kita semua untuk belajar dan memahami virus yang menjadi musuh bersama ini. Nah, apa yang sudah anda ketahui tentang virus Vorona dan Covid-19, penyakit yang ditimbulkannya?
Sunday, December 1, 2019
Antara Moral dan Nalar
Monday, July 29, 2019
IMPOR REKTOR, JALAN PINTAS YANG SALAH ARAH
Kedua, dan ini yang lebih penting, coba pikirkan mengapa para profesor dan peneliti dari institusi seperti MIT, Caltech, dan Imperial College mau pindah ke Singapura? Yang jelas, bukan karena mereka menikmati suhu dan kelembaban udara negeri tropis. Kebanyakan talenta akademik adalah orang-orang yang punya renjana kuat akan pengetahuan. Mereka ingin bisa meneliti, dan meneliti dengan sebaik-baiknya.
Apakah orang-orang seperti itu akan mau datang ke Indonesia dan berjibaku dengan mekanisme pendanaan riset yang ajaib? Dengan kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban yang lebih mementingkan kelengkapan bon dan meterei daripada substansi ilmiah? Dengan minim dan sulitnya mengimpor alat dan material eksperimen? Dengan tuntutan patuh pada aturan seperti cap jempol sehari dua kali?
Jawabannya adalah, tentu tidak. Mana ada peneliti kelas dunia yang ingin bekerja di lingkungan yang mematikan kreativitas dan daya pikir? Pendek kata, ekosistem akademik pendidikan tinggi kita tidak ramah pada penelitian dan pengembangan ilmu. Jika dipaksakan, strategi impor-imporan dosen/rektor paling banter hanya akan membuahkan hasil seperti liga sepakbola kita.
Yang akan datang hanyalah para pemain dan manajer medioker yang karirnya sudah mentok di tempat asalnya. Jangan mimpi bahwa orang-orang seperti itu bakal membawa klub bola kita ke liga internasional.
Tambahan: Saya diingatkan oleh Ade soal penyetaraan ijazah. Di satu sisi, dosen-dosen Indonesia lulusan luar negeri diwajibkan untuk datang ke Jakarta untuk "menyetarakan" ijazahnya. Di sisi lain, orang-orang asing kini diundang sebagai penyelamat pendidikan tinggi kita. Sulit untuk tidak merasakan bau inferioritas inlander dalam strategi impor-imporan ini :(
Tuesday, April 16, 2019
BELAJAR MEMILIH
Anak saya sebenarnya ogah-ogahan diajak ke TPS hari Sabtu kemarin. Supaya dia lebih bersemangat, dalam perjalanan saya mengajaknya ngobrol tentang pemilu.
Monday, March 18, 2019
Menghapus Ujian Nasional
Oleh: Anindito Aditomo
Mumpung isunya sedang hangat, saya ingin membahas Ujian Nasional (UN) dan evaluasi pendidikan secara lebih umum. Banyak pemerhati pendidikan yang sudah sejak lama mengkritik UN, termasuk saya sendiri. Lantas apakah UN sebaiknya dihapus? Jawabannya bukan ya atau tidak, tapi tergantung. Tergantung pada apa? Saya coba uraikan secara singkat.
Yang pertama perlu diingat adalah mengapa UN banyak dikritik. Pada dasarnya, UN dikritik karena berdampak buruk pada proses belajar-mengajar. UN menyempitkan perhatian sekolah pada pelajaran-pelajaran tertentu. Pelajaran lain seperti seni dan olahraga sering menjadi anak tiri. UN juga cenderung mendorong penggunaan metode pengajaran yang dangkal dan berorientasi hafalan. Ini sebenarnya bukan hanya persoalan UN saja, tetapi soal terlalu luasnya materi kurikulum yang harus tercakup dalam UN. Karena cakupan materi yang sangat luas, UN mendorong guru untuk kebut-kebutan „menuntaskan materi“. Selain itu, sifat UN yang “high stakes” mendorong sebagian siswa, orangtua, guru, dan sekolah untuk melakukan kecurangan.
Dengan memahami alasan kritik terhadap UN ini, kita bisa mengajukan pertanyaan yang sedikit berbeda. Yang perlu dipikirkan bukan apakah UN harus dihapus atau tidak, melainkan apakah penghapusan UN akan membantu menghilangkan dampak-dampak buruk tersebut? Mari berkaca pada pengalaman.
Pemerintah sebenarnya sudah pernah menghapus UN. Ya, UN pada level Sekolah Dasar baru beberapa tahun yang lalu dihapus. Apa yang terjadi? UN sekedar diganti dengan Ujian Daerah. Siswa dan guru SD tetap menghadapi ujian terstandar yang dibuat oleh pihak eksternal. Mutu ujiannya pun belum tentu lebih baik. Dugaan saya, justru menjadi lebih buruk karena kompetensi pembuat Ujian Daerah yang rata-rata di bawah kompetensi tim pembuat UN. Hasilnya, mutu belajar-mengajar SD tidak menjadi lebih baik.
Sunday, January 6, 2019
Bagaimana Seharusnya Sejarah Diajarkan?
Oleh: Anindito Aditomo
Saturday, January 5, 2019
Kurikulum Bencana, Bencana Kurikulum
Oleh: Anindito Aditomo