Biasanya saya malas membaca buku psikologi
populer atau self-help. Bukan karena
buku-buku genre itu tidak berguna, atau sekedar pengalaman personal yang
kemudian dianggap akan berlaku pada semua orang. Saya tahu ada buku-buku
psikologi populer yang bagus, ditulis oleh orang yang ahli, dan tidak melulu
berdasarkan pengalaman personal yang sempit. Mungkin keengganan saya membaca buku
psikologi populer memang irasional. Entahlah, lain kali saya akan menulis
tentang sentimen ini.
Tapi apapun alasannya, beberapa waktu yang lalu saya terpikat pada sebuah buku berjudul “Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less”. Dan mungkin karena persekongkolan beberapa faktor – seperti terbatasnya kesempatan membuka laptop dan tidak ramahnya koneksi internet selama mudik lebaran – saya berhasil membaca buku tersebut dengan tuntas. Sesuatu yang semakin jarang bisa saya lakukan, gara-gara padatnya jadwal mengajar dan aktivitas kerja rutin lainnya.
Tapi apapun alasannya, beberapa waktu yang lalu saya terpikat pada sebuah buku berjudul “Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less”. Dan mungkin karena persekongkolan beberapa faktor – seperti terbatasnya kesempatan membuka laptop dan tidak ramahnya koneksi internet selama mudik lebaran – saya berhasil membaca buku tersebut dengan tuntas. Sesuatu yang semakin jarang bisa saya lakukan, gara-gara padatnya jadwal mengajar dan aktivitas kerja rutin lainnya.