Sumber: Siegal, Nobes, & Panagiotaki (2011). http://www.nature.com/ngeo/journal/v4/n3/full/ngeo1094.html |
Kita
kerap berasumsi bahwa siswa tak punya ide atau pengetahuan mengenai
topik-topik yang akan mereka pelajari di sekolah. Pikiran siswa kita
anggap sebagai kertas kosong yang bisa ditulisi dengan informasi yang
akan mereka dapatkan dari guru dan buku-buku. Namun asumsi ini tak
sepenuhnya benar. Dari pengalaman sehari-hari mereka, siswa seringkali
memiliki ide tentang tentang lingkungan fisik maupun sosial. Yang
penting bagi guru, ide-ide ini berpengaruh pada proses belajar-mengajar!
Ilustrasi
tentang pentingnya pengetahuan intuitif siswa bisa kita baca dari
penelitian Stella Vosniadou, seorang ahli psikologi kognitif, mengenai
pemahaman siswa tentang bentuk bumi. Mungkin anda bertanya-tanya,
bukankah bentuk bumi adalah pengetahuan yang amat sederhana dan karena
itu mudah diajarkan? Kalau ada yang belum tahu tentang bentuk bumi,
cukup katakan saja bahwa bumi itu seperti bola! Justru inilah yang
menarik dari penelitian Vosniadou: ia menunjukkan bahwa untuk hal
sesederhana bentuk bumi, proses belajar siswa ternyata cukup kompleks.
Dalam
penelitiannya, Vosniadou (1992) mewawancara siswa kelas satu, tiga dan
lima sekolah dasar tentang bentuk bumi. Vosniadou tidak hanya
mengajukan pertanyaan “Seperti apa bentuk bumi,” yang akan mudah
dijawab dengan jawaban standar mereka hafalkan dari lingkungannya
(yakni bahwa bumi itu bulat). Ia melanjutkan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menggali lebih dalam pemahaman siswa,
misalnya, “Kalau ada orang berjalan lurus ke depan terus-menerus, dia
akan sampai di mana?”, dan “Apakah bumi punya ujung atau tepi?” Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan lanjutan seperti ini, siswa perlu
menggunakan pemahaman konseptual mereka tentang bentuk bumi. Vosniadou
juga meminta siswa untuk menggambar bumi, kemudian menggambar posisi
langit, bintang dan bulan, serta tempat tinggal manusia.
Seperti
bisa diduga, hampir semua siswa menjawab bahwa bumi itu bulat atau
seperti bola. Mereka juga menggambar bumi sebagai lingkaran. Namun
ketika diminta menguraikan, ternyata muncul jawaban-jawaban yang
menunjukkan bahwa pemahaman mereka tentang bentuk bumi tidak sepenuhnya
sepadan dengan pemahaman ilmiah. Berikut contoh dialog dengan seorang
siswa kelas 1:
Peneliti : Kalau kamu berjalan terus mengikuti garis lurus, nantinya akan sampai di mana?
Siswa : Sampai di kota lain.
Peneliti : Kalau berjalan terus?
Siswa
: Ya ke kota-kota yang berbeda, terus negara lain. Kalau kamu jalan di
sini dan terus berjalan (sambil menunjuk ke pinggir lingkaran yang ia
gambar sebagai bumi), kamu akan keluar dari bumi.
Peneliti : Keluar dari bumi?
Siswa : Ya. Di pinggir bumi kamu harus hati-hati.
Peneliti : Karena bisa jatuh dari bumi?
Siswa : Ya, kalau kamu bermain-main di pinggirnya.
Peneliti : Jatuh ke mana?
Siswa : ... ke planet lain.
Bagi
siswa dalam dialog di atas, bumi lebih mirip cakram datar yang
memiliki pinggir. Pemahaman seperti ini juga tampak pada siswa lain yang
menempatkan bintang, bulan dan langit hanya pada bagian “atas”
lingkaran yang mereka gambar. Vosniadou juga menemukan model pemahaman
selain bumi sebagai cakram. Misalnya, ada siswa yang memahami bumi
seperti bola yang separuh kosong, yang di dalamnya ada bidang datar yang
dipijak oleh manusia. Ada pula yang memahami bumi seperti bola yang
ditekan sehingga bagian “atasnya” menjadi datar. Sekitar separuh dari
siswa kelas 3 dan 5 yang tampaknya sudah memahami bumi sebagai bola.
Mengapa
banyak siswa yang memiliki pemahaman keliru tentang hal sesederhana
bentuk bumi? Hasil penelitian Vosniadou ini mengilustrasikan proses
belajar: bahwa proses membentuk pengetahuan baru selalu disetir oleh
pengetahuan yang sudah dimiliki. Dalam hal ini, dari pengalaman
sehari-hari, anak (dan kita semua) merasakan bumi yang kita pijak
sebagai dataran. Ketika diberitahu bahwa bumi itu bulat, maka anak perlu
memahaminya dalam kerangka pengetahuan yang sudah dimiliki, yakni
bahwa bumi itu datar. Proses ini menghasilkan pemahaman yang
menggabungkan pengetahuan awal dan pengetahuan baru, seperti model bumi
sebagai cakram, atau bumi yang berongga.
Dengan kata
lain, proses belajar tidak seperti menulis di kertas yang kosong, atau
sekedar membangun pengetahuan baru. Untuk membangun pengetahuan baru,
kadang kita perlu membongkar pengetahuan lama. (Anindito Aditomo, 23
Februari 2013)
Sumber bacaan:
Vosniadou, S. (2007). Conceptual change and education.
Human Development, 50, hal. 40-47.
Vosniadou, S. & Brewer, W.F. (1992). Mental models of the earth: a study of conceptual change in childhood.
Cognitive Psychology, 24, hal. 535-585.