Ketika menyiapkan materi pelatihan pembelajaran untuk dosen baru di kampus, saya kebetulan menemukan wawancara singkat yang menarik dengan Dylan William. Beliau adalah seorang profesor emiritus di Universitas London yang telah meneliti tentang asesmen formatif sejak pertengahan 1980an. Namun yang menarik dari wawancara ini bukan tentang asesmen formatif, melainkan refleksinya tentang pendidikan guru dan praktik pengajaran.
Prof. William mengatakan bahwa sebagian besar guru sudah selesai belajar tentang cara mengajar sebelum menginjak usia 18 tahun. Dengan kata lain, semua calon guru sebenarnya sudah menjalani “magang” atau kerja praktik selama mereka menjadi siswa. Tentu, sebagian besar guru pernah mengenyam 4-5 tahun kuliah di fakultas keguruan. Namun bandingkan pengetahuan yang didapat dari kuliah itu dengan pengetahuan (implisit namun konkret) tentang proses belajar mengajar sebagai hasil dari “magang” sebagai siswa selama 12-13 tahun. Menurut Prof. William, pengetahuan yang kedua inilah yang lebih berpengaruh pada cara mengajar seorang guru.
Pengetahuan yang didapat guru melalui kuliah keguruan bersifat deklaratif – kumpulan pernyataan yang eksplisit sekaligus abstrak. Misalnya, bahwa proses belajar bersifat aktif, bahwa tiap siswa memiliki bakat dan minat masing-masing, dan seterusnya. Pengetahuan deklaratif semacam ini mudah diuji, namun sulit diterapkan karena biasanya dipelajari bukan dalam konteks problem atau situasi nyata. Pengetahuan deklaratif mudah “dilaporkan” secara sadar (dalam ujian, misalnya), namun kerap mandul dalam situasi pemecahan masalah yang nyata.
Sebaliknya, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman langsung sebagai siswa bersifat implisit sekaligus kontekstual. Sebagai contoh, sebagai siswa kita terbiasa melihat guru ketika mengajar melontarkan pertanyaan tertutup yang bisa dengan mudah dijawab dengan satu atau dua kata. Bila siswa yang ditunjuk memberi jawaban, guru kemudian biasanya merespon dengan evaluasi singkat (“bagus”, “betul”), sebelum beralih ke pertanyaan atau topik lain. Bila siswa yang semula ditunjuk tidak menjawab, guru biasanya dengan sangat segera mengalihkan pertanyaan pada siswa lain. Pola interaksi seperti ini terekam secara implisit sebagai skrip perilaku yang dapat digunakan pada situasi serupa. Inilah pengetahuan yang saya sebut sudah “mendarah daging”. Dalam situasi mengajar yang memerlukan respon atau keputusan cepat, pengetahuan implisit seperti ini jauh lebih mudah digunakan ketimbang pengetahuan abstrak tentang pedagogi yang didapat melalui kuliah.
Poin yang disampaikan Prof. William ini relevan untuk perancangan pelatihan pembelajaran untuk dosen atau guru. Sekedar tahu prinsip pembelajaran atau teknik pengajaran sama sekali tidak cukup. Misalnya, kita bisa memberitahu seorang guru tahu bahwa ia perlu memberi waktu lebih lama bagi siswa untuk memikirkan dan merumuskan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan. Atau bahwa ia perlu lebih sering melontarkan pertanyaan terbuka. Cukup sampaikan saja informasi ini, beserta argumen bahwa pertanyaan terbuka dan waktu tunggu yang lebih lama akan membuat dialog lebih hidup dan menuntut siswa berpikir lebih mendalam. Sebagian besar guru akan setuju dengan hal ini, bahkan mungkin sudah mengetahuinya. Namun yang sulit adalah membantu guru untuk menerapkan strategi tersebut. Kata Prof. William, ini sama sulitnya dengan meminta seorang pemain golf mengubah caranya mengayun tongkat di tengah sebuah pertandingan.
Konsekuensinya, perbaikan kualitas pembelajaran tidak sulit dilakukan melalui pelatihan-pelatihan yang sekedar membuat guru mengetahui prinsip-prinsip dasar dan teknik-teknik pembelajaran. Apalagi bila pelatihan tersebut dilakukan di ruang pertemuan sebuah hotel dengan puluhan peserta, dan disampaikan melalui ceramah konvensional.
Referensi: wawancara Dylan William di
http://www.youtube.com/watch?v=hiu-jY-xaPg