Ketika pertama kali mengajar, saya termasuk dosen yang mengandalkan ceramah sebagai metode utama. Mungkin karena itulah metode yang paling saya kenal. Lagipula, sebagai siswa, saya merasa bisa belajar banyak dari ceramah yang disampaikan dengan baik. Hakekat mengajar, dalam bayangan saya ketika itu, adalah memahami sesuatu (konsep, informasi) kemudian menyampaikannya dengan jernih kepada mereka yang belum memahaminya.
Karena itu saya berasumsi bahwa ceramah boleh saja digunakan, dengan syarat bahwa si penceramah menguasai materi dan bisa menyajikannya dengan sistematis. Saya pun berusaha untuk memperdalam pemahaman tentang materi ajar, memikirkan contoh-contoh aplikasi, serta merangkai informasi tersebut sebagai presentasi yang menarik.
Semester pertama mengajar saya boleh dikatakan gagal: di akhir semester banyak mahasiswa yang tidak memahami konsep-konsep penting yang saya ajarkan. Saya pun berusaha memperdalam pemahaman saya atas materi ajar. Saya juga mengevaluasi cara penyampaian: barangkali ada urutan penyampaian informasi yang lebih memudahkan siswa menangkap pesan, atau ada gambar, film, atau hal lain yang bisa membuat mahasiswa lebih tertarik. Namun betapa kecewa saya ketika tahu bahwa hasilnya tak jauh beda: banyak mahasiswa yang tidak memahami inti konsep-konsep penting, ataupun menggunakan konsep-konsep itu untuk menganalisis fenomena. Setelah beberapa semester merasa gagal, saya mulai bertanya-tanya, jangan-jangan saya tidak memang berbakat menjadi pengajar?
Sebelum rasa frustrasi berubah menjadi depresi, untunglah saya lantas mendapat beasiswa di Sydney University, Australia, untuk mempelajari ilmu pembelajaran (learning sciences). Prinsip pokok dari ilmu pembelajaran pasti tak asing bagi sebagian besar guru: yakni bahwa belajar adalah proses yang aktif, bahwa pengetahuan tidak bisa ditransfer dari satu kepala ke kepala orang lain. Dan persis di sinilah kesalahan saya sebagai pengajar. Saya berasumsi bahwa pengetahuan dapat ditransfer melalui ceramah. Bahwa efektivitas ceramah bergantung pada seberapa pandai saya mengemas pengetahuan yang akan saya "transfer". Dengan kata lain, berhasil tidaknya ceramah tergantung pada kemahiran pengajar.
Namun bila proses belajar dipahami sebagai proses aktif, maka kita akan melihatnya dengan berbeda. Penentu utama efektivitas ceramah bukanlah guru, melainkan apa yang dilakukan siswa itu sendiri! Sehebat apa pun guru berceramah, semenarik apa pun contoh yang diberikan, selucu apa pun bumbu humor yang diselipkan dalam ceramah, bila siswa tidak berpikir dengan aktif, ia tidak akan mendapatkan pengetahuan baru.
Apakah berarti ceramah tak bisa efektif? Tidak juga. Mendengarkan ceramah tidak identik dengan kepasifan. Sebagian siswa mendengarkan ceramah sambil berpikir keras. Mereka memproses informasi secara mendalam, memikirkan contoh konkret dari konsep yang baru didengar, serta mengaitkan konsep tersebut dengan konsep-konsep yang mereka pelajari di kelas lain. Tak hanya itu, siswa-siswa ini juga memonitor proses kognitif mereka sendiri. Melalui aktivitas metakognitif ini mereka menyadari apa yang mereka pahami, dan juga apa yang masih membingungkan. Dengan demikian, mereka tahu kapan perlu bertanya dan mencari informasi lebih lanjut.
Bagi siswa-siswa seperti ini, ceramah memang metode yang efektif untuk belajar. Persoalannya adalah, seberapa banyak siswa yang secara otomatis memproses informasi secara mendalam ketika mendengar ceramah? Dari pengalaman, rasanya tidak banyak. Jadi, biasanya ceramah hanya efektif untuk sebagian kecil siswa. Untuk sebagian besar siswa, ceramah tidak memicu proses berpikir yang produktif. Mereka memerlukan metode pengajaran yang lebih student-centred (berpusat pada siswa), yang "memaksa" mereka untuk berpikir. Metode pengajaran yang student-centred, bila dijalankan dengan baik, dapat membuat siswa yang biasaya pasif menjadi aktif berpikir.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan satu hal: bahwa guru yang pandai berceramah biasanya membuat siswa MERASA mengerti. Mereka mengangguk-anggukkan kepala mendengar contoh-contoh yang menarik, tertawa mendengar guyonan-guyonan yang dilontarkan. Bahayanya adalah, perasaan mengerti ini seringkali hanyalah ilusi. Ada perbedaan mendasar antara mengerti informasi yang kita dengar, dan kemampuan menggunakan informasi tersebut untuk melakukan kerja intelektual seperti menjelaskan dan menganalisis fenomena. Pencampuran keduanya oleh siswa disebut sebagai "illusion of understanding".
Bila siswanya mengalami illusion of understanding, guru yang pandai berceramah rentan mengalami "illusion of successful teaching"! Merasa berhasil, padahal bila siswa diminta untuk menggunakan konsep untuk menganalisis kasus atau fenomena baru, hanya sebagian kecil yang bisa. Seberapa sering Anda mengalami ilusi ini?
Referensi: Chi, M.T.H., Bassok, M., Lewis, M.W., Reimann, P., & Glaser, R. (1989). Self explanations: How students study and use examples in learning to solve problems. Cognitive Science, 13(2), 145-182.