Sunday, January 31, 2021

Menempatkan Asesmen Sesuai Fungsinya


Oleh: Anindito Aditomo

Dalam konteks pendidikan formal, asesmen dikatakan berpihak pada anak ketika ia mendukung tumbuhnya potensi-potensi terbaik siswa. Dengan ukuran ini, seberapa berpihak pada anakkah asesmen yang dipraktikkan dalam sistem pendidikan Indonesia?

Fungsi-fungsi asesmen

Agar bisa lebih sistematis mendiskusikan hal ini, mari kita petakan dahulu jenis-jenis asesmen secara konseptual. Berdasarkan fungsinya, setidaknya ada empat jenis asesmen: formatif, akuntabilitas, sertifikasi, dan seleksi

Pertama, asesmen formatif berfungsi memahami posisi siswa dalam trajektori belajar: apa yang dipahami dan belum dipahami, apa yang bisa dan belum bisa dilakukan. Hasilnya dipakai sebagai umpan balik bagi siswa dan guru. Untuk memenuhi fungsi ini, asesmen harus bersifat personal dan hasilnya segera diketahui. Secara praktis, asesmen formatif sebenarnya merupakan bagian integral dari pengajaran (instruksi). Segala sesuatu yang dilakukan guru untuk memahami kebutuhan belajar siswa dalam proses pengajaran dapat disebut sebagai asesmen formatif.

Kedua, asesmen bisa digunakan sebagai mekanisme pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Dalam hal ini, hasil asesmen dipakai untuk menilai apakah guru, sekolah, dan dinas pendidikan telah menjalankan tugasnya dengan baik. Agar bisa memenuhi fungsi akuntabilitas, asesmen perlu menggunakan instrumen dan prosedur yang terstandard. Pelaksana asesmen ini adalah pihak dari luar sekolah yang seharusnya impersonal atau tidak punya konflik kepentingan dengan pihak yang dinilai. Akreditasi sekolah dann universitas adalah contoh asesmen untuk akuntabilitas. Ujian Nasional juga berfungsi sebagai akuntabilitas sekolah ketika pemerintah menggunakan hasilnya untuk memberi label „berprestasi“ dan, secara implisit, „tidak berhasil“ pada sekolah-sekolah tertentu.

Ketiga, asesmen bisa dipakai untuk sertifikasi. Artinya, hasil asesmen digunakan untuk menyatakan bahwa seseorang memiliki pengetahuan, keterampilan, atau kompetensi tertentu. Asesmen ini juga formal dan terstandard. Hasilnya dimaknai berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh badan atau pihak yang memiliki kewenangan legal di bidang tertentu. Uji kompetensi untuk calon dokter, akuntan, psikolog, advokat, dll adalah contoh ujian untuk sertifikasi. Kriteria kelulusannya ditentukan oleh masing-masing organisasi profesi. Ketika digunakan untuk syarat kelulusan, Ujian Nasional juga dipakai melayani fungsi sertifikasi, dengan kriteria kelulusan yang (seharusnya) mengacu pada standar capaian lulusan.

Keempat, asesmen juga digunakan untuk menyortir dan menyeleksi individu. Asesmen untuk seleksi juga formal dan terstandard, namun hasilnya dimaknai berdasarkan patokan normatif. Dengan kata lain, skor seseorang dimaknai berdasarkan perbandingannya dengan skor peserta asesmen yang lain, bukan berdasarkan kriteria kualitatif yang apriori. Ujian masuk perguruan tinggi dan tes CPNS, misalnya, adalah asesmen untuk seleksi. Ketika digunakan untuk seleksi masuk sekolah jenjang berikutnya, Ujian Nasional juga melayani fungsi seleksi. Hanya saja, skornya dimaknai bukan berdasarkan standard yang ada di kurikulum, tetapi berdasarkan distribusi skor peserta ujian lain.

Dampak pada proses belajar siswa

Membandingkan keempat jenis asesmen ini, yang paling berpihak pada anak yang asesmen formatif. Bila dipraktikkan dengan baik, asesmen formatif secara otomatis meningkatkan mutu belajar mengajar. Atau dengan kata lain, asesmen formatif adalah bagian dari proses belajar mengajar itu sendiri. Asesmen formatif punya dampak langsung pada tumbuh kembang siswa.

Bagaimana dengan ketiga jenis asesmen yang lain? Sebenarnya masing-masing bisa berdampak positif pada proes belajar siswa, namun hanya secara tidak langsung. Asesmen untuk akuntabilitas guru bisa berdampak positif untuk siswa jika ia membuat guru mengubah dan memperbaiki caranya mengajar. Asesmen untuk akuntabilias sekolah akan berdampak positif pada siswa jika ia mendorong sekolah menerapkan program dan tata kelola yang mendorong guru memperbaiki mutu pengajarannya. Pada level berikutnya, asesmen akuntabilitas dinas bisa berdampak positif pada siswa jika ia mendorong sekolah membuat program yang mendorong guru memperbaiki mutu pengajarannya.

Jika dibuat skema, rantai pengaruhnya akan tampak seperti ini:

Asesmen untuk akuntabilitas => kebijakan pendidikan => tata kelola sekolah => mutu pengajaran guru => proses dan hasil belajar siswa.

Jika satu saja mata rantai di atas terputus, maka asesmen tidak akan berdampak positif pada siswa. Sebaliknya, asesmen semacam itu seringkali memiliki efek samping yang buruk untuk proses belajar, mulai dari stres, penyempitan kurikulum, sampai mendorong manipulasi atau kecurangan. Masalahnya adalah rantai tersebut lebih sering putus daripada nyambungnya. Jika hasil asesmen hanya berupa skor, apakah guru bisa menggunakannya untuk melakukan refleksi dan mengubah caranya belajar? Jika hasil asesmennya diberikan ke sekolah empat atau lima bulan setelah pelaksanaan asesmen, apakah sekolah bisa menggunakannya untuk memperbaiki tata kelolanya? 

Asesmen untuk sertifikasi dan seleksi juga demikian. Dampak positifnya pada anak bersifat tidak langsung, misalnya melalui dorongan pada motivasi siswa untuk belajar. Ini yang sering digunakan oleh guru dan pengambil kebijakan sebagai alasan untuk mempertahankan penggunaan berbagai ujian terstandar di sekolah. Kalau tidak ada ujian, siswa tidak akan termotivasi untuk belajar! Tapi sebenarnya rantai pengaruhnya tidak sesederhana itu. Sebelum berdampak pada hasil belajar, motivasi perlu mewujud sebagai strategi dan perilaku belajar yang efektif.

Asesmen untuk seleksi/sertifikasi => motivasi siswa untuk belajar => perilaku belajar yang efektif => hasil belajar yang lebih baik

Sekali lagi, jika satu saja dari mata rantai ini putus, maka asesmen menjadi tak berguna bagi siswa. Dalam hal ini, problemnya terkait dengan ketimpangan. Agar motivasi bisa mewujud sebagai perilaku belajar yang efektif, siswa tentu harus memiliki pengetahuan dan keterampilan belajar yang baik. Dan hal ini cenderung lebih dimiliki oleh siswa dari keluarga menengah atas yang orangtuanya berpendidikan tinggi. Dengan kata lain, asesmen semacam ini seringkali lebih berdampak positif bagi siswa kaya dibanding yang miskin. Selain itu, kalau pun bisa membuat siswa belajar secara lebih efektif, yang dipelajari belum tentu bermanfaat bagi siswa di luar konteks sertifikasi dan seleksi tersebut.

Dengan kerangka berpikir ini, kita bisa menakar seberapa berpihak pada anak berbagai asesmen yang selama ini diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia.