Saturday, December 5, 2020

Literasi dan Pengajaran Matematika di Madrasah dan Sekolah Umum: Temuan Berdasarkan PISA 2012

Oleh: Anindito Aditomo

Ketika memulai analisis ini, saya menyangka bahwa prestasi sains dan matematika siswa madrasah cenderung lebih rendah dibanding siswa sekolah umum. Namun ketika saya mencoba menelusuri Google Scholar tentang topik ini, tampaknya belum ada yang mengkaji kesenjangan antara madrasah dan sekolah umum. Atau setidaknya, saya gagal menemukan publikasi ilmiah mengenai hal itu. Begitu juga mengenai pemetaan mutu antar sektor lain seperti sekolah negeri vs. swasta di Indonesia. Lantas dari mana prasangka saya ini ya? Yang jelas, bukan dari hasil penelitian 🙂

Sedikitnya publikasi ilmiah mengenai mutu sekolah ini mengherankan. Sebagai bangsa yang gemar tes dan ujian, Indonesia sebenarnya punya banyak data yang relevan. Setiap tahun ada ujian berstandar nasional di tiga tingkat: SD, SMP, dan SMA. Belum lagi asesmen-asesmen yang dilakukan khusus untuk pemetaan seperti AKSI. Plus berbagai asesmen internasional yang setia kita ikuti, termasuk PISA, TIMSS, dan PIRLS. Sulit percaya bahwa data sedemikian banyak tidak dikaji. Apakah kajiannya tidak terbit di jurnal, tapi ditulis sebagai laporan? Itu pun sulit ditemukan. Sebagai perbandingan, PISA national report berbagai negara bisa ditemukan dengan mudah.

Apa pun, kemarin saya mencoba menggunakan data PISA 2012 untuk membandingkan mutu madrasah dan sekolah umum. Analisis difokuskan pada mutu pengajaran dan literasi matematika, yang menjadi domain utama PISA 2012. Hasil lengkapnya akan digunakan sebagai bahan menulis artikel jurnal oleh seorang kawan di Surabaya. Temuan-temuan utamanya saya tampilkan di sini dalam bahasa yang lebih mudah dipahami.

Literasi Matematika dalam PISA 2012

Berbeda dari kebanyakan asesmen, PISA tidak mengacu pada konten kurikulum tertentu. Sebaliknya, PISA berangkat dari analisis mengenai apa yang dibutuhkan oleh seseorang untuk bisa berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan modern dan demokratis. Karena itu, PISA mendefinisikan literasi sebagai kompetensi dalam menggunakan pengetahuan bahasa, matematika, dan sains pada berbagai problem yang kerap dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk matematika, literasi digambarkan sebagai proses pemodelan yang mencakup empat aktivitas kognitif: (1) memformulasikan problem matematis berdasarkan problem konkret, (2) menerapkan pengetahuan matematika pada problem matematis, (3) menafsirkan makna hasil operasi matematis dalam konteks konkret, dan (4) mengevaluasi makna tersebut dalam kaitannya dengan problem awal. Bagi yang tertarik mempelajari lebih lanjut, sila baca dokumentasi PISA dan buku Assessing Mathematical Literacy: The PISA Experience karya Kaye Stacey dan Ross Turner (2015).

.

Literasi matematika menurut PISA 2012 Assessment and Analytical Framework (OECD, 2013)

.

Konsep literasi matematika ini diimplementasikan dalam soal-soal yang menekankan pada proses berpikir, biasanya tanpa melibatkan perhitungan yang rumit. Di bawah ini adalah contoh salah satu soal PISA 2012. Dalam soal tersebut, siswa diberi sekumpulan informasi mengenai stasiun pembangkit tenaga angin, mulai dari nama model, tinggi menara, sampai efisiensi operasionalnya. Siswa kemudian diminta mengevaluasi benar tidaknya beberapa pernyataan terkait, seperti “Pembangunan tiga pembangkit akan memerlukan biaya XXX” dan “Pembangkit ini tidak beroperasi selama 97 hari dalam setahun.”

.

Versi bahasa Inggris sebuah soal literasi matematika PISA 2012 (Sumber: PISA Released Items https://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/pisa-test-questions.htm)

.

Soal-soal semacam ini diterapkan pada sampel siswa berusia 15 tahun (kelas 9-10) di tiap negara yang berpartisipasi dalam PISA. Sudah jamak diketahui bahwa secara umum, kemampuan siswa Indonesia tergolong paling rendah dibanding negara-negara lain. Yang belum banyak dilakukan adalah menggunakan data semacam ini untuk memetakan dan menjelaskan mutu sekolah di Indonesia.

Mengukur Pengajaran Matematika

Ada banyak pendekatan untuk mendefinisikan dan mengukur mutu pengajaran. Dalam PISA 2012, mutu pengajaran matematika diukur berdasarkan konsep opportunity to learn (OTL), yakni kesempatan yang disediakan sekolah bagi siswa untuk mempelajari materi sebuah pelajaran. Pada awalnya, istilah OTL digunakan oleh J.B. Caroll pada 1963 untuk merujuk pada waktu yang tersedia untuk mempelajari materi pelajaran. Dalam konsepsi ini, jumlah jam pelajaran yang dialokasikan dapat digunakan sebagai indikator mutu pengajaran di sebuah sekolah atau sistem pendidikan. Pelajaran yang dianggap penting akan diberi porsi waktu yang lebih besar dibanding pelajaran lain.

OTL juga dapat diukur berdasarkan penekanan yang diberikan oleh guru pada konten kurikulum yang dianggap penting dalam sebuah pelajaran. PISA 2012 menyediakan dua indikator penekanan konten. Yang pertama adalah indikator penekanan pada aplikasi matematika terhadap problem atau situasi konkret (semacam soal literasi matematika PISA itu sendiri). Indikator ini disebut sebagai penekanan pada “matematika terapan” dan diperoleh berdasarkan respon siswa pada butir-butir kuesioner seperti berikut:

.

.

Indikator kedua terkait konten adalah penekanan guru matematika pada soal-soal aljabar, geometri, dan teori angka secara lebih abstrak. Dalam PISA 2012, ini disebut sebagai penekanan pada “matematika formal” dan juga diperoleh dari laporan siswa. Berikut contoh butir kuesioner yang mengukur indikator matematika formal:

.

.

Tentu, alokasi waktu dan penekanan konten kurikulum hanya dua indikator kasar dari mutu pengajaran. Bahkan keduanya mungkin sulit dianggap mencerminkan kualitas pengajaran dalam pengertian yang lebih dalam. Di sisi lain, keduanya dapat dilihat sebagai prasyarat dasar yang harus ada agar siswa memiliki kesempatan untuk memahami sebuah pelajaran. Bagi yang tertarik, artikel Elliott dan Bartlett (2019) memberi penjelasan ringkas namun cukup komprehensif mengenai konsep opportunity to learn dalam riset pendidikan.

Pengajaran dan Literasi Matematika di Madrasah vs. Sekolah Umum

Bagaimana gambaran literasi dan pengajaran matematika di madrasah? Bagaimana perbandingannya dengan sekolah umum di Indonesia? Dan jika ada kesenjangan antara literasi siswa madrasah dan sekolah umum, apakah hal itu terjadi karena perbedaan alokasi waktu dan penekanan konten pelajaran matematika?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya menerapkan analisis regresi linear multijenjang (multilevel modelling) pada sampel Indonesia di PISA 2012. Sampel terdiri atas 3658 siswa dari 172 sekolah yang dipilih secara acak untuk mewakili populasi siswa berusia 15 tahun di Indonesia. Analisis yang melibatkan skor literasi dilakukan 10 kali masing-masing pada plausible value yang berbeda. Tingkat pendidikan orang tua digunakan sebagai variabel kontrol pada level siswa maupun sekolah. Jenjang sekolah (SMP/MTS vs. SMA/MA) digunakan sebagai variabel kontrol pada level sekolah.

Hasil analisis mengkonfirmasi dugaan bahwa ada kesenjangan literasi matematika antara madrasah dan sekolah umum. Namun kesenjangannya tidak sebesar yang saya sangka. Secara rata-rata, skor literasi siswa madrasah hanya lebih rendah sekitar 16 poin dibanding sekolah umum. Sebagai perbandingan, analisis OECD menunjukkan bahwa (secara internasional), selisih 30 poin setara dengan ketertinggalan 1 tahun pelajaran. Dengan demikian, secara rata-rata siswa madrasah tertinggal sekitar 1/2 tahun pelajaran dibanding siswa sekolah umum.

Selanjutnya, apakah madrasah dan sekolah umum berbeda dalam hal pelajaran matematika? Dan jika ya, apakah perbedaan tersebut dapat menjelaskan kesenjangan dalam literasi matematika siswanya? Kedua pertanyaan ini terjawab sekaligus melalui analisis mediasi berikut. Analisis saya lakukan secara terpisah untuk ketiga indikator OTL, sebelum digabung dalam satu model utuh.

Pertama, analisis menunjukkan bahwa sekolah umum mengalokasikan waktu lebih banyak untuk pelajaran matematika dibanding madrasah. Selisihnya sekitar 24 menit/minggu. Alokasi waktu ini kemudian juga berhubungan positif dengan skor literasi matematika siswa (yang dirata-rata untuk tiap sekolah, karena ini adalah hasil analisis pada level sekolah). Tambahan satu menit/minggu memprediksi peningkatan 0.45 poin pada skor literasi sekolah.

Dengan memasukkan variabel alokasi waktu dalam model, hubungan langsung antara jenis sekolah (madrasah vs. sekolah umum) dengan skor literasi matematika menjadi tidak signifikan. Dengan demikian, alokasi waktu untuk pelajaran matematika tampaknya menjadi salah satu faktor yang menjelaskan kesenjangan literasi matematika antara madrasah dan sekolah umum di Indonesia.

.

Kedua, analisis menunjukkan bahwa penekanan pada matematika terapan berkaitan positif dengan skor literasi matematika siswa. Sekolah-sekolah yang gurunya sering memberi kesempatan pada siswa untuk mencoba mengerjakan soal-soal matematika terapan juga merupakan sekolah yang memiliki skor rata-rata literasi lebih tinggi. Selisih antara sekolah yang “kadang-kadang” dan yang “sering” menggunakan soal matematika terapan cukup besar: 77 poin. Ini setara dengan hasil belajar selama 2 tahun pelajaran.

Meski demikian, guru-guru madrasah dan sekolah umum tidak berbeda dalam penekanan mereka pada matematika terapan. Jadi indikator OLT ini tidak berperan dalam kesenjangan literasi matematika antara madrasah dan sekolah umum.

.

Ketiga, dibanding guru madrasah, guru sekolah umum cenderung memberi penekanan lebih besar pada matematika formal. Penekanan pada matematika formal selanjutnya memprediksi literasi matematika yang lebih tinggi. Sekolah-sekolah yang gurunya “sering” menekankan pada matematika formal secara rata-rata memiliki skor literasi yang 116 poin lebih tinggi dibanding sekolah di mana gurunya hanya “kadang-kadang” melakukannya. Ini tergolong selisih yang sangat besar. Bila kita percaya pada estimasi OECD, selisih ini hampir setara dengan 4 tahun pelajaran!

Selain itu, analisis juga menunjukkan bahwa penekanan pada matematika formal dapat menjelaskan kesenjangan literasi antara madrasah dan sekolah umum.

.

Analisis terakhir saya lakukan untuk melihat peran ketiga indikator opportunity to learn secara bersamaan. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya penekanan pada matematika formal saja yang tetap terkait dengan jenis sekolah, sekaligus menjadi prediktor signifikan terhadap skor literasi matematika.

Hasil terakhir ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi waktu dan penekanan lebih besar pada matematika terapan tidak banyak bermanfaat, jika tidak dibarengi dengan penekanan pada matematika formal. Penafsiran saya, ini menegaskan pentingnya memberi kesempatan pada siswa untuk bergelut dengan konsep-konsep matematika itu sendiri. Waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan soal-soal cerita yang menarik (“terapan”) tidak berguna jika hal itu tidak melibatkan penggunaan ide-ide matematika.

Jika temuan-temuan ini benar, tampaknya pengajaran berperan penting dalam menjelaskan kesenjangan literasi matematika antara madrasah dan sekolah umum. Dengan demikian, kebijakan yang dirancang untuk menutup kesenjangan ini dapat menyasar pada perbaikan opportunity to learn berupa alokasi waktu, penekanan pada matematika terapan, dan (terutama) penekanan pada matematika formal.

Keterbatasan penelitian

Analisis di atas tentu terbatas karena didasarkan pada data cross-sectional. Meski saya sudah berusaha mengendalikan beberapa variabel yang diketahui berpengaruh pada literasi siswa (terutama latar belakang orang tua), analisis ini tidak bisa menyimpulkan secara definitif bahwa hubungan sebab-akibat antar variabelnya. Perlu penelitian lain untuk melihat apakah temuan-temuan di atas dapat direplikasi menggunakan data dan pendekatan analisis yang berbeda.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...