Monday, November 30, 2020

Fasilitas di rumah dan ketimpangan pendidikan

 Oleh: Anindito Aditomo

Salah satu topik yang sedang menjadi fokus riset saya adalah ketimpangan pendidikan (educational inequality). Riset di bidang ini berusaha memahami mengapa siswa yang dari keluarga miskin cenderung meraih prestasi dan jenjang pendidikan lebih rendah daripada rekannya dari keluarga lebih mapan. Ketimpangan pendidikan sudah terdokumentasi dan menjadi perhatian peneliti di Barat sejak sekitar pertengahan abad ke-20. Di Amerika, Coleman report menjadi pemantik kesadaran tentang besarnya ketimpangan antar kelompok ras/etnis (yang tumpang tindih dengan kelompok sosial-ekonomi). Di Eropa, ketimpangan pendidikan menjadi perhatian ilmuwan sosial terkemuka seperti Basil Bernstein di Inggris dan Pierre Bourdieu di Perancis. Survei-survei internasional seperti PISA dan TIMSS menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.

Apa penyebab terjadinya ketimpangan pendidikan? Di antara banyak faktor lainnya, salah satu penyebabnya adalah ketimpangan dalam hal fasilitas yang ada di rumah (home resources). Orangtua yang lebih berpendidikan dan lebih mapan secara ekonomi otomatis juga lebih mampu menyediakan berbagai fasilitas di rumah. Akses pada fasilitas ini kemudian sedikit banyak membantu anak untuk menjadi lebih berprestasi di sekolah. Namun fasilitas rumah seperti apa saja yang berpengaruh positif pada prestasi anak di sekolah? Bersama Dr. Jia He (peneliti di DIPF dan Tilburg University), saya berusaha menjawab pertanyaan ini untuk konteks Indonesia. Sampel yang kami gunakan adalah sekitar 6500 siswa dari 236 sekolah dari seluruh Indonesia yang merupakan bagian dari studi PISA 2015.

Jenis fasilitas di rumah

Studi PISA mengukur pencapaian akademik diukur melalui tes penalaran matematika, sains, dan bahasa. PISA juga mengumpulkan informasi mengenai latar belakang siswa, termasuk tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua serta berbagai fasilitas yang dimiliki di rumah. Jenis fasilitas rumah ini bisa dikelompokkan dalam empat kategori. Yang pertama adalah fasilitas yang menjadi penanda kekayaan secara umum, seperti jumlah kamar, TV, motor, dan mobil.

Yang kedua adalah karya seni dan sastra seperti buku puisi, novel klasik, dan lukisan. Kategori ini dianggap penting dalam teori modal budaya Bourdieu. Meski tidak secara langsung terkait pelajaran sekolah, karya sastra dan seni dianggap Bourdieu sebagai cermin nilai-nilai dan cara berpikir “kelas atas”. Dengan mencerna karya-karya sastra dan seni, siswa berkesempatan menginternalisasi nilai-nilai dan cara berpikir yang dipandang “tinggi” dan dihargai di sekolah. Secara teoretis, ketimpangan akses fasilitas budaya di rumah berkontribusi pada ketimpangan pendidikan.

Yang ketiga adalah hal-hal yang secara tradisional dianggap sebagai fasilitas belajar seperti meja belajar, tempat yang nyaman untuk belajar, serta kamus dan buku-buku pelajaran sekolah. Secara teoretis, kategori fasilitas ini seharusnya mendukung proses belajar siswa. Dengan demikian, ketimpangan akses fasilitas pendidikan di rumah ikut melanggengkan ketimpangan dalam hal prestasi dan pencapaian akademik lainnya di sekolah.

Yang terakhir adalah fasilitas ICT. Dalam rancangan awal PISA, kategori ini sebenarnya merujuk pada barang-barang digital secara umum seperti koneksi internet, tablet digital, komputer, dan ponsel pintar. Namun analisis kami menunjukkan bahwa “software pendidikan” dan “laptop untuk keperluan sekolah” justru menjadi dua indikator paling penting kategori ini untuk konteks Indonesia. (Evaluasi model pengukuran ini akan saya ceritakan dalam tulisan lain.) Dengan demikian, kategori ICT ini lebih tepat disebut sebagai fasilitas belajar berbasis ICT. Sama dengan kategori ketiga, fasilitas ICT seharusnya turut berkontribusi pada ketimpangan pendidikan.

Analisis dan temuan

Data kami analisis menggunakan pemodelan persamaan struktural (structural equation modeling, SEM) dengan bantuan Mplus. Analisis juga memperhatikan sifat data PISA yang clustered (kelompok siswa dalam sekolah). Secara konseptual, tingkat pendidikan dan profesi orangtua ditempatkan sebagai variabel independen (manifes), sedangkan empat kategori fasilitas rumah sebagai variabel perantara (mediator laten). Kedua kelompok variabel tersebut digunakan untuk memprediksi skor tes penalaran matematika, sains, dan bahasa (dalam tiga model terpisah).

Hasil analisis menunjukkan bahwa fasilitas belajar – terutama yang berbasis ICT – memiliki daya prediksi paling kuat terhadap skor penalaran di ketiga bidang yang diteliti. Kenaikan satu jenjang fasilitas pendidikan konvensional (buku, meja belajar, dll.) diikuti oleh kenaikan sekitar 30 poin penalaran. Untuk fasilitas pendidikan berbasis ICT (software pendidikan, koneksi internet, dll.), kenaikan satu jenjang diikuti oleh kenaikan sekitar 50 poin penalaran. Dalam estimasi OECD, 30 poin dalam tes PISA secara rata-rata mencerminkan efek dari satu tahun pelajaran. Dengan demikian, asosiasi antara fasilitas pendidikan di rumah dengan skor penalaran bisa dianggap cukup kuat.

Yang tidak diduga adalah temuan terkait fasilitas budaya. Hasil analisis menunjukkan bahwa fasilitas budaya tidak terkait secara signifikan dengan skor penalaran bahasa dan sains (dan justru sedikit negatif untuk penalaran matematika). Ini bertentangan dengan teori modal budaya Bourdieu dan juga hasil penelitian empiris sebelumnya. Analisis data PISA di banyak negara anggota OECD menunjukkan bahwa fasilitas budaya memiliki kaitan erat dengan prestasi akademik. Di negara-negara tersebut, fasilitas belajar di rumah justru tidak berdampak pada prestasi siswa di sekolah. Perbedaan antara temuan dari negara OECD vs. temuan dari Indonesia ini mungkin mencerminkan perbedaan konteks sosial-ekonomi. Di negara-negara yang ekonominya sudah lebih maju, fasilitas belajar di sekolah dan komunitas (misalnya, perpustakaan umum) lebih banyak tersedia. Karena itu, fasilitas belajar di rumah menjadi tak terlalu penting.

Selain itu, fasilitas penanda kekayaan justru terkait secara negatif dengan skor penalaran di ketiga bidang. Besaran asosiasinya juga sekitar 50 poin, namun dengan arah negatif (kenaikan satu jenjang kekayaan diikuti oleh penurunan 50 poin penalaran). Artinya, ketika kita membandingkan siswa dari keluarga dengan level sosial-ekonomi setara (dalam hal pendidikan/profesi ortu, fasilitas budaya, dan fasilitas belajar), maka mereka yang memiliki lebih banyak benda-benda penanda kekayaan (mobil, motor, kamera digital) cenderung lebih buruk prestasinya.

Terakhir, hasil uji mediasi menunjukkan bahwa fasilitas belajar menjelaskan sekitar 60 sampai 75% dari asosiasi antara tingkat pendidikan dan profesi orangtua dengan skor penalaran bahasa, matematika, dan sains siswa. Ini mendukung hipotesis bahwa fasilitas belajar (konvensional dan ICT) berperan penting dalam ketimpangan pendidikan. Dengan kata lain, akses fasilitas belajar di rumah adalah salah satu alasan mengapa siswa yang orangtuanya berpendidikan tinggi dan memiliki profesi bergengsi (kelas menengah-atas) juga cenderung berprestasi lebih baik di sekolah.

Simpulan

Analisis data PISA yang kami lakukan menggarisbawahi pentingnya keputusan investasi orangtua. Dengan sumberdaya yang sama, orangtua bisa memilih untuk berinvestasi pada hal-hal seperti kamera/motor/mobil vs. untuk fasilitas belajar, dengan dampak yang berbeda pada prestasi akademik anak. Dari perspektif kebijakan, hasil analisis ini menunjukkan bahwa fasilitas belajar yang bisa diakses oleh publik (seperti perpustakaan umum) mungkin merupakan komponen penting dalam upaya menutup ketimpangan pendidikan. Temuan-temuan ini juga menunjukkan manfaat dari analisis sekunder yang kontekstual terhadap data PISA.

Saturday, November 28, 2020

Mengukur Kualitas Pengajaran: Validitas Konstruk

Oleh: Anindito Aditomo

Dalam tulisan sebelumnya saya memaparkan bias-bias yang kerap muncul ketika guru dan siswa diminta menilai kualitas pengajaran. Akibat bias-bias tersebut, skor hasil pengukuran tidak hanya memuat eror yang acak, tapi eror yang sistematis. Semakin besar eror sistematis dalam hasil pengukuran, semakin buruk validitasnya. Tulisan ini membahas lebih lanjut apa itu validitas hasil pengukuran.

Dalam hal ini saya mengambil perspektif validitas konstruk yang pertama dicetuskan oleh Cronbach dan Meehl (1955) dan terus dikembangkan sebagai bagian dari standar asesmen oleh organisasi-organisasi seperti AERA, NCME, dan APA. Dalam perspektif ini, validasi pengukuran adalah sebuah proses pengujian teori. Mengapa demikian? Hal ini akan lebih jelas jika kita ingat kaitan antara indikator dan konstruk laten.

Lompatan dari indikator ke konstruk laten

Pengukuran psikologis melibatkan inferensi dari indikator-indikator yang terlihat menuju simpulan tentang sebuah konstruk laten seperti kualitas pengajaran. Lompatan inferensial ini tidak mungkin sempurna. Simpulan kita tentang konstruk laten tidak mungkin 100% pasti. Karena itu kapan pun ada lompatan dari indikator ke konstruk laten, konsep validitas konstruk menjadi relevan. Validitas konstruk menjadi relevan when we wish to go beyond what we can observe.

Apakah validitas konstruk selalu relevan dalam pengukuran? Tidak. Kita bisa saja menggunakan indikator sebagai data. Dalam arti, menggunakan data bukan sebagai penanda dari sesuatu yang ada di balik indikator tersebut. Sebagai contoh, ijazah tertinggi bisa digunakan untuk mengukur tingkat pendidikan formal.

Ijazah tertinggi ==> Tingkat pendidikan formal

Perhatikan bahwa di sini (hampir) tidak ada lompatan inferensi. Tingkat pendidikan hanya sinonim saja dari ijazah tertinggi. Seseorang dengan ijazah tertinggi SMA kita sebut sebagai memiliki tingkat pendidikan SMA. Kita tidak sedang membuat lompatan dari indikator tampak ke hal yang bersifat lebih abstrak. Lain halnya jika kita ingin mengukur kemampuan bernalar, misalnya.

Ijazah tertinggi ==> Kemampuan bernalar

Ijazah tertinggi memang bisa saja digunakan sebagai indikator dari kemampuan bernalar. Catatannya adalah bahwa kemampuan bernalar bukan sinonim dari ijazah tertinggi. Dengan kata lain, ketika anda membuat simpulan tentang kemampuan bernalar seseorang berdasarkan ijazah tertingginya, anda sedang membuat inferensi dari indikator ke sebuah konstruk laten. Dari sesuatu yang tampak ke sesuatu yang bersifat teoretis.

Sekarang mari ambil contoh yang terkait dengan pengajaran. Katakanlah anda mengumpulkan data berupa keterlambatan masuk kelas. Data ini dikumpulkan untuk setiap hari untuk setiap guru. Di akhir semester, data tersebut bisa dijumlahkan dan digunakan sebagai indeks ketepatan waktu guru selama satu semester.

Keterlambatan masuk kelas ==> Ketepatan waktu dalam mengajar

Perhatikan bahwa ketepatan waktu dan keterlambatan hanya sinonim belaka. Tidak ada inferensi atau lompatan konseptual dari satu ke yang lainnya. Sekarang bayangkan jika data tersebut digunakan untuk mengukur kualitas pengajaran.

Keterlambatan masuk kelas ==> Kualitas pengajaran

Di sini ada lompatan konseptual dari data ke simpulan. Dengan kata lain, ada inferensi dari indikator ke konstruk laten yang ingin diukur. Keterlambatan dan kualitas pengajaran jelas bukan hal yang sama.

Teori dan validitas konstruk

Secara skematis, lompatan dari indikator ke konstruk laten bisa digambarkan seperti ini:

Validitas berbicara tentang seberapa kuat simpulan yang bisa diambil tentang sebuah konstruk berdasarkan observasi terhadap sekumpulan indikator. Dengan kata lain, validitas dikatakan tinggi ketika kita bisa dengan yakin membuat simpulan berdasarkan hasil sebuah pengukuran. Sebaliknya, validitas dikatakan rendah jika kita ragu-ragu tentang apa yang bisa disimpulkan dari hasil pengukuran. 

Melanjutkan contoh di atas, misalkan saya ingin mengambil simpulan tentang guru-guru yang layak diberi penghargaan berdasarkan kualitas pengajarannya. Jika indikator yang saya gunakan hanya keterlambatan masuk kelas dari tiap guru, apakah saya bisa membuat simpulan yang kuat tentang kualitas pengajaran tiap guru dan siapa saja yang layak diberi penghargaan? Rasanya tidak.

Bagaimana cara agar hasil pengukuran memiliki validitas tinggi?

Dari perspektif validitas konstruk, hal pertama yang perlu dilakukan adalah merumuskan atau memetakan apa yang hendak diukur secara cermat. Apa esensi dari konstruk sasaran kita? Apa saja bagian-bagian utamanya? Apa saja indikator yang mencerminkan manifestasi dari tiap bagian konstruk tersebut? Proses ini adalah kebalikan dari proses inferensi.

Jika ingin mengukur kualitas pengajar, maka kita perlu punya gambaran yang jelas tentang apa itu pengajaran yang berkualitas. Rumusan atau peta konstruk sasaran lazimnya kita peroleh dari teori yang relevan.

Untuk kualitas pengajaran, ada beberapa teori yang bisa digunakan. Ada teori yang memotret kualitas pengajaran secara generik (umum) berdasarkan iklim atau suasana kelas. Termasuk di sini adalah teori tiga dimensi kualitas pengajaran yang diajukan oleh Klieme dkk [lihat artikel ini dan ini]. Kalau disederhanakan, pengajaran dikatakan berkualitas menurut teori ini ketika berhasil menciptakan iklim kelas yang memiliki tiga hal:

  • struktur dan keteraturan yang memungkinkan siswa memusatkan perhatian pada materi belajar,
  • dukungan afektif yang mendorong siswa untuk merasa nyaman dan menikmati proses belajar, dan
  • aktivitas kognitif dan metakognitif yang relevan untuk tujuan belajar.

Dari uraian awal ini kita bisa mulai membayangkan bagaimana kualitas pengajaran akan diukur. Misalnya, kita tahu bahwa setidaknya ada tiga hal atau dimensi yang perlu diukur. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi indikator yang tepat untuk tiap dimensi tersebut. Ini memerlukan pemahaman yang lebih rinci tentang teori tersebut dan penelitian-penelitian yang mendukungnya.

Tentu, teori tiga dimensi generik ini bukan satu-satunya teori yang bisa digunakan untuk mengukur kualitas pengajaran. Kelompok teori lain yang mendefinisikan kualitas pengajaran berdasarkan praktik yang diterapkan oleh guru. Dalam pendekatan ini, pengajaran dianggap berkualitas ketika menerapkan praktik-praktik tertentu yang menurut penelitian terbukti efektif membantu siswa belajar.

Misalnya, pengajaran yang melibatkan aktivitas inkuiri yang terstruktur dipandang efektif terutama untuk matematika dan sains. Menggunakan teori ini, kualitas pengajaran bisa diukur dengan melihat frekuensi dan jenis aktivitas inkuiri serta struktur/panduan yang digunakan oleh guru. Semakin sering guru menerapkan aktivitas inkuiri dengan panduan yang tepat, semakin baik kualitas pengajaran guru tersebut. Jika ingin menggunakan teori ini untuk mengukur kualitas pengajaran, kita perlu mengkaji literatur untuk mengidentifikasi aktivitas inkuiri dan panduan yang efektif untuk tujuan belajar tertentu.

Memilih teori

Jika ada beberapa alterantif, teori mana yang sebaiknya kita gunakan? Pada prinsipnya, teori yang baik adalah yang memiliki basis empiris yang kuat. Dengan kata lain, teori yang didukung oleh hasil penelitian ilmiah.

Selain itu, tentu kita ingin teori yang sesuai dengan keperluan. Jika anda perlu melihat kualitas pengajaran secara komprehensif pada berbagai pelajaran dan jenjang pendidikan, maka teori tiga dimensi generik mungkin cocok. Namun jika anda ingin melihat dampak pengajaran pada luaran kognitif pada pelajaran tertentu, mungkin anda lebih memerlukan teori tentang efektivitas praktik atau metode pengajaran pada pelajaran tersebut.

Sebagai penutup, tidak ada hasil pengukuran yang 100% valid. Sekuat apa pun teori yang digunakan, sebanyak apa pun indikator yang digunakan, dan sebaik apa pun instrumen serta prosedur yang diterapkan untuk mengumpulkan data, lompatan inferensial dari indikator ke konstruk laten tidak mungkin sempurna. Kuat lemah validitas inferensi ini selalu perlu dievaluasi dan dijustifikasi.

Sunday, November 15, 2020

Mengukur Kualitas Pengajaran: Konstruk Laten dan Eror Pengukuran

Oleh: Anindito Aditomo

Pengajaran boleh dibilang sebagai salah satu proses paling penting yang berlangsung di sekolah. Pengajaran adalah wahana utama bagi proses belajar siswa. Sebagian besar waktu siswa di sekolah digunakan untuk mengikuti pelajaran di kelas. Sebagian besar waktu guru juga didedikasikan untuk merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pengajaran di kelas.

Mengingat peran pentingnya, kualitas pengajaran seharusnya menjadi salah satu indikator utama mutu sebuah sekolah. Persoalannya, mengukur kualitas pengajaran secara valid bukan hal yang mudah. Bahkan pengukuran kualitas pengajaran adalah sebuah topik yang tergolong cutting edge dan juga kontroversial dalam riset pendidikan.

Dalam tulisan ini, pengukuran kualitas pengajaran saya pakai sebagai ilustrasi untuk menjelaskan beberapa konsep dasar pengukuran variabel laten. Saya mulai dengan membahas konsep konstruk laten dan eror pengukuran.

Kualitas pengajaran sebagai konstruk laten

Tidak seperti meja atau kursi, kualitas pengajaran bukan barang fisik yang bisa langsung dihitung jumlahnya dan diukur dimensinya dengan meteran. Kualitas pengajaran adalah sebuah gagasan, sebuah deskripsi mengenai karakteristik dari fenomena sosial-psikologis yang disebut pengajaran.

Dalam istilah psikologi, kualitas pengajaran disebut sebagai konstruk laten. Disebut konstruk karena merupakan hasil konstruksi pemikiran. Disebut laten karena tidak tampak secara nyata alias tersembunyi. Sebagian besar variabel yang menjadi topik penelitian ilmu sosial adalah konstruk laten. Sebagai contoh, berikut adalah konstruk-konstruk laten yang populer di bidang psikologi dan pendidikan: kompetensi, kepribadian, motivasi, prestasi akademik, kecerdasan, harga diri, kesejahteraan psikologis, efikasi diri, strategi belajar, dst.

Karena bersifat laten, konstruk-konstruk tersebut hanya bisa diukur secara tidak langsung melalui hal-hal yang diasumsikan sebagai indikatornya. Indikator dari konstruk-konstruk dalam ilmu psikologi dan pendidikan adalah perasaan, pemikiran, dan perilaku.

Sebagai contoh sederhana, kepribadian ekstrover bisa diukur melalui frekuensi mengikuti acara-acara sosial bersama teman. Motivasi instrinsik bisa diukur dari frekuensi mengalami perasaan gembira ketika mempelajari sesuatu. Efikasi diri bisa diukur melalui kuat lemahnya keyakinan (pemikiran) tentang kemampuan menyelesaikan sebuah tugas dengan baik. Kecerdasan bisa diukur dari perilaku ketika mengerjakan soal-soal tes yang menuntut pemikiran logis. Dan seterusnya.

Bias respon dan eror pengukuran

Bagaimana dengan kualitas pengajaran? Indikator apa saja yang relevan untuk mengukurnya? Untuk mengidentifikasi indikator yang tepat untuk mengukur pengajaran, hal pertama yang sebenarnya kita butuhkan adalah sebuah teori yang kuat dan relevan. Teori-teori ini akan saya bahas dalam tulisan lain. Di sini saya akan ambil jalan pintas untuk mengilustrasikan konsep eror pengukuran.

Tanpa teori yang kuat, salah satu jalan pintas yang bisa kita ambil adalah dengan meminta guru untuk menilai kualitas pengajarannya sendiri. Dengan kata lain, kita sedang berasumsi bahwa penilaian diri ini merupakan sebuah indikator yang bisa digunakan untuk mengetahui konstruk laten.

Misalnya, guru bisa diminta untuk menjawab pertanyaan semacam ini:

Seberapa baik kualitas pengajaran anda dalam seminggu terakhir?

Opsi jawabannya bisa berupa skala dengan label yang mencerminkan tingkatan kualitas, misalnya:

Nol („hancur lebur") sampai 10 („sempurna tanpa cela“) 

Data bisa dikumpulkan tiap hari Jumat sehingga pada akhir semester kita akan memperoleh sebuah angka yang mewakili kualitas pengajaran tiap guru.

Mudah dibayangkan bahwa penilaian diri semacam ini mengandung bias. Sebagian besar guru tentu ingin menampilkan diri sebagai pengajar yang baik. Bias ini akan semakin kuat jika skornya dipakai untuk keperluan resmi seperti penilaian kinerja dan kenaikan pangkat.

Selain keinginan sadar untuk tampil positif, manusia juga punya kebutuhan intrinsik untuk merasa sebagai orang baik. Ini adalah hal yang wajar. Namun dalam konteks pengukuran, kebutuhan psikologis ini menjadi sumber bias. Guru yang berusaha jujur pun akan secara tidak sadar memberi penilaian yang positif mengenai dirinya. [Baca artikel berikut untuk lebih paham tentang bias-bias ini: artikel 1, artikel 2artikel 3.]

Bias-bias ini merupakan sumber eror sistematis dalam pengukuran. Disebut eror karena indikator yang kita lihat tidak mencerminkan konstruk laten secara akurat. Disebut sistematis karena eror tersebut memiliki arah tertentu. Dalam contoh, erornya memiliki arah positif sehingga indikator yang kita peroleh (penilaian diri) merupakan estimasi yang terlalu tinggi dari konstruk yang ingin diukur (kualitas pengajaran).

Penilaian siswa sebagai indikator kualitas pengajaran

Selain dari penilaian diri guru, kualitas pengajaran sering diukur dari persepsi atau penilaian siswa. Pada dasarnya, persepsi siswa merupakan hasil observasi. Siswa diasumsikan sebagai pengamat atas proses pengajaran. Dibanding pihak lain, siswa sebenarnya tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi sehari-hari di kelas. Karena itu penilaian siswa memang bisa digunakan untuk mengukur kualitas pengajaran.

Aspek apa saja dari proses pengajaran yang perlu diperhatikan dan dilaporkan oleh siswa? Di sini lagi-lagi kita perlu teori. Tapi jika mau mengambil jalan pintas dan sekadar mengandalkan common sense, kita bisa meminta siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam:

„Apakah cara mengajar guru X membuat anda mengerti materi pelajaran?“

Secara keseluruhan, seberapa efektifkah metode pengajaran guru X?“

Sebagaimana laporan diri guru, jawaban siswa terhadap pertanyaan semacam ini juga rentan mengandung bias dan karena itu bukan indikator yang baik untuk mengukur kualitas pengajaran.

Salah satu sumber eror ini adalah ketidakmampuan siswa untuk mengukur tingkat pemahamannya sendiri. Persepsi siswa seringkali lebih dipengaruhi oleh gaya penyampaian informasi guru daripada tingkat pemahaman yang benar-benar dimiliki siswa. Jika guru menyampaikan materi secara satu arah dengan lancar dan menyenangkan, siswa cenderung merasa paham. Sebaliknya, jika guru sering melontarkan pertanyaan dan tugas yang menuntut siswa berpendapat dan berpikir, siswa akan cenderung merasa kurang memahami materi.

Akibatnya, guru yang pandai dan gemar berceramah cenderung dinilai siswa secara lebih positif dibanding guru yang menggunakan metode interaktif. Masalahnya, apakah benar bahwa guru yang pandai ceramah itu memang lebih efektif dalam mengembangkan pemahaman siswa? Justru sebaliknya: riset menunjukkan bahwa metode interaktif seringkali lebih efektif dibanding metode ceramah. Dengan demikian, sebagaimana kecenderungan guru untuk menilai diri secara positif, bias dalam penilaian siswa juga bersifat sistematis. Pengajaran yang sebenarnya lebih efektif justru cenderung dinilai negatif oleh siswa.

Eror acak dan sistematis

Uraian di atas menunjukkan bahwa penilaian diri dan penilaian siswa tentang kualitas pengajaran seringkali mengandung bias. Bias-bias yang saya contohkan di atas adalah sumber eror yang bersifat sistematis. Ini berbeda dari eror yang sifatnya acak. Eror yang acak kadang positif dan kadang negatif. Karena itu, eror acak bisa diatasi dengan mudah, yakni dengan menambah indikator atau frekuensi pengukuran.

Agar lebih jelas, saya analogikan dengan lemparan dadu. Eror pengukuran yang acak sama seperti peluang munculnya angka tertentu dari lemparan dadu. Jika kita hanya melempar tiga atau empat kali, mungkin saja kita memperoleh angka tertentu secara berturut-turut.

Tapi jika kita lemparkan terus, lama-kelamaan kita akan memperoleh semua angka dengan frekuensi yang kurang lebih sama. Dalam jangka (sangat) panjang, rata-rata peluang tiap angka adalah 1/6, yakni peluang sesungguhnya dari lemparan dadu. [Tentu saja, ini mengasumsikan lemparan dadunya adil.]

Kembali ke pengukuran kualitas pengajaran: jika erornya bersifat acak, solusinya mudah. Ukur saja dengan sebanyak mungkin indikator, dari sebanyak mungkin siswa, dengan frekeunsi yang sesering mungkin. Rata-rata dari seluruh pengukuran itu akan mencerminkan tingkat kualitas pengajaran yang „sesungguhnya.“

Gagasan menambah indikator dan frekuensi hasil pengukuran untuk memperoleh skor murni (true score) ini adalah asumsi dasar dalam teori tes klasik. Sayangnya, cara ini tidak bisa mengatasi eror yang sistematis. Upaya untuk mengidentifikasi dan mengatasi sumber eror sistematis ini adalah persoalan validitas konstruk.

Penutup

Bagaimana cara meningkatkan dan mengevaluasi validitas konstruk dalam pengukuran kualitas pengajaran? Konsep validitas konstruk akan saya uraikan dalam tulisan lain. Di sini, yang ingin saya tekankan adalah bahwa upaya meningkatkan validitas bertumpu pada teori tentang konstruk yang ingin diukur.

Kalau pembahasan di atas menunjukkan bahwa penilaian guru dan siswa mengandung bias, bukan berarti bahwa kedua sumber informasi tersebut tidak boleh dipakai untuk mengukur kualitas pengajaran. Sekali lagi, poinnya adalah bahwa penentuan indikator harus didasarkan pada teori yang kuat dan relevan tentang kualitas pengajaran.

Sunday, November 1, 2020

BELAJAR MENERIMA KEKALAHAN ADALAH BELAJAR BERDEMOKRASI

Oleh: Anindito Aditomo

Pagi tadi kami sekeluarga menonton pidato kemenangan Kamala Harris dan Joe Biden. Saya dan Ade ingin agar kedua anak perempuan kami menyaksikan momen ketika seorang perempuan multi-etnis keturunan imigran Asia dan Jamaika terpilih menjadi wakil presiden sebuah negara adidaya.

Pidato bu Harris tidak mengecewakan. Ia berbicara tentang perjalanan panjang perempuan dan kaum minoritas di Amerika untuk memperoleh hak-hak sipil seperti memilih dalam pemilu.  Penyampaiannya runtut, jelas, dan hangat. Pidatonya jauh lebih bagus dari pidato pak Biden yang berbicara setelah itu :D

Tiba-tiba ragil kami, Ayesha, bertanya, Wait, so does that mean almost half of the country doesn’t want Biden as president? Lho, jadi hampir separuh orang Amerika nggak mendukung Biden sebagai presiden?

Good question! Pertanyaan bagus, saya menimpali dengan pujian.

Pujian ini bukan basa-basi belaka. Jika ditelusuri lebih jauh, pertanyaan sederhana anak kelas 6 SD ini menyentuh salah satu problem mendasar dari demokrasi. Bahwa demokrasi tidak menghasilkan kesepakatan (mufakat). Bahwa selalu ada pihak yang kalah, pihak yang tidak terwakili dalam demokrasi.  

Sebelum menjawab lebih lanjut saya mencoba memahami apa yang ada di kepala Ayesha.

Why do you ask? Why are you concerned about that? Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa yang ada dalam pikiranmu? Saya bertanya balik.

Ternyata yang ia khawatirkan adalah penerimaan dari pendukung Trump. Bagaimana perasaan mereka? Apa mau menerima kekalahan calon yang mereka dukung?

Saya lantas teringat akan tradisi pidato pengakuan kekalahan, concession speech. Pidato kekalahan ini lazimnya disampaikan kandidat yang kalah sebelum pemenang menyampaikan pidato kemenangan. Kombinasi pidato kekalahan dan kemenangan adalah penanda penting dari berakhirnya pemilihan (election) sebagai sebuah babak dalam proses berdemokrasi.

Dilihat dari fungsinya dalam demokrasi, pidato kekalahan mungkin lebih penting dibanding pidato kemenangan. Pihak yang kalah-lah yang secara psikologis perlu diajak bicara agar mau legowo, menerima kekalahan. Pihak yang menang sih secara otomatis bergembira :D

Karena itu kandidat yang baik akan menyampaikan pidato kekalahan yang menyejukkan. Pidato yang mengajak menekankan pada persamaan ketimbang perbedaan. Pidato yang mengingatkan pentingnya menghargai proses dan hasil pemilihan yang demokratis.

Saya lantas teringat pidato kekalahan John McCain pada pemilu 2008 ketika ia melawan Obama. Menurut referensi saya yang terbatas, pidato McCain adalah pidato kekalahan terbaik yang pernah saya dengar.

McCain memulai dengan mengakui kemenangan Obama sebagai calon presiden. Pembukaan ini disambut dengan cemooh oleh audiens. Tapi McCain melanjutkan pidatonya justru dengan menjelaskan mengapa kemenangan Obama merupakan pencapaian yang patut membuat bangga seluruh warga Amerika.

Dalam penutup pidatonya, McCain menegaskan komitmennya sendiri untuk mendukung Obama sebagai presiden terpilih dan mengajak pendukungnya untuk melakukan hal yang sama. Kata-kata persisnya layak dikutip secara lebih utuh:

“... I urge all Americans who supported me to join me in not just congratulating him, but offering our next president our good will and earnest effort to find the necessary compromises to bridge our differences …”

Perhatikan bahwa McCain tidak hanya mengajak untuk memberi selamat. Pemberian selamat adalah langkah pertama dalam menerima kekalahan. McCain mengajak pendukungnya untuk mengambil langkah berikutnya yang jauh lebih sulit, yaitu mencari kompromi dan membangun jembatan antara kedua kubu.

Diucapkan dengan sungguh-sungguh, pidato kekalahan McCain yang semula dicemooh pun perlahan diganjar tepuk tangan. Meski saya yakin itu adalah tepuk tangan yang disertai uraian air mata. 

Ya, inheren dalam demokrasi adalah kekalahan dan rasa sakit yang menyertainya. Karena itu demokrasi mensyaratkan kemampuan untuk menerima kekalahan. Dan karena tidak ada orang yang senang kalah, kemampuan menerima kekalahan ini harus dibangun melalui pendidikan.

Pertanyaannya, apakah sistem pendidikan kita sudah dirancang untuk membantu anak-anak menerima kekalahan? Lebih jauh lagi, apakah pendidikan kita dirancang untuk menumbuhkan sikap-sikap demokratis lain seperti berpikir kritis, mandiri, peduli, dan terbuka?

Saya khawatir bahwa jawabannya adalah belum. Pendidikan kita saat ini lebih ingin menjejali anak-anak kita dengan hal-hal yang kita percayai benar, ketimbang membantu mereka untuk menjadi manusia-manusia yang siap berdemokrasi. Bagaimana cara mengubahnya? Mari kita pikirkan bersama!

Catatan: pidato John McCain bisa dilihat di sini:
https://www.facebook.com/NowThisNews/videos/1004529363381837

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...