Oleh: Anindito Aditomo
Salah satu topik yang sedang menjadi fokus riset saya adalah ketimpangan pendidikan (educational inequality). Riset di bidang ini berusaha memahami mengapa siswa yang dari keluarga miskin cenderung meraih prestasi dan jenjang pendidikan lebih rendah daripada rekannya dari keluarga lebih mapan. Ketimpangan pendidikan sudah terdokumentasi dan menjadi perhatian peneliti di Barat sejak sekitar pertengahan abad ke-20. Di Amerika, Coleman report menjadi pemantik kesadaran tentang besarnya ketimpangan antar kelompok ras/etnis (yang tumpang tindih dengan kelompok sosial-ekonomi). Di Eropa, ketimpangan pendidikan menjadi perhatian ilmuwan sosial terkemuka seperti Basil Bernstein di Inggris dan Pierre Bourdieu di Perancis. Survei-survei internasional seperti PISA dan TIMSS menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Apa penyebab terjadinya ketimpangan pendidikan? Di antara banyak faktor lainnya, salah satu penyebabnya adalah ketimpangan dalam hal fasilitas yang ada di rumah (home resources). Orangtua yang lebih berpendidikan dan lebih mapan secara ekonomi otomatis juga lebih mampu menyediakan berbagai fasilitas di rumah. Akses pada fasilitas ini kemudian sedikit banyak membantu anak untuk menjadi lebih berprestasi di sekolah. Namun fasilitas rumah seperti apa saja yang berpengaruh positif pada prestasi anak di sekolah? Bersama Dr. Jia He (peneliti di DIPF dan Tilburg University), saya berusaha menjawab pertanyaan ini untuk konteks Indonesia. Sampel yang kami gunakan adalah sekitar 6500 siswa dari 236 sekolah dari seluruh Indonesia yang merupakan bagian dari studi PISA 2015.
Jenis fasilitas di rumah
Studi PISA mengukur pencapaian akademik diukur melalui tes penalaran matematika, sains, dan bahasa. PISA juga mengumpulkan informasi mengenai latar belakang siswa, termasuk tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua serta berbagai fasilitas yang dimiliki di rumah. Jenis fasilitas rumah ini bisa dikelompokkan dalam empat kategori. Yang pertama adalah fasilitas yang menjadi penanda kekayaan secara umum, seperti jumlah kamar, TV, motor, dan mobil.
Yang kedua adalah karya seni dan sastra seperti buku puisi, novel klasik, dan lukisan. Kategori ini dianggap penting dalam teori modal budaya Bourdieu. Meski tidak secara langsung terkait pelajaran sekolah, karya sastra dan seni dianggap Bourdieu sebagai cermin nilai-nilai dan cara berpikir “kelas atas”. Dengan mencerna karya-karya sastra dan seni, siswa berkesempatan menginternalisasi nilai-nilai dan cara berpikir yang dipandang “tinggi” dan dihargai di sekolah. Secara teoretis, ketimpangan akses fasilitas budaya di rumah berkontribusi pada ketimpangan pendidikan.
Yang ketiga adalah hal-hal yang secara tradisional dianggap sebagai fasilitas belajar seperti meja belajar, tempat yang nyaman untuk belajar, serta kamus dan buku-buku pelajaran sekolah. Secara teoretis, kategori fasilitas ini seharusnya mendukung proses belajar siswa. Dengan demikian, ketimpangan akses fasilitas pendidikan di rumah ikut melanggengkan ketimpangan dalam hal prestasi dan pencapaian akademik lainnya di sekolah.
Yang terakhir adalah fasilitas ICT. Dalam rancangan awal PISA, kategori ini sebenarnya merujuk pada barang-barang digital secara umum seperti koneksi internet, tablet digital, komputer, dan ponsel pintar. Namun analisis kami menunjukkan bahwa “software pendidikan” dan “laptop untuk keperluan sekolah” justru menjadi dua indikator paling penting kategori ini untuk konteks Indonesia. (Evaluasi model pengukuran ini akan saya ceritakan dalam tulisan lain.) Dengan demikian, kategori ICT ini lebih tepat disebut sebagai fasilitas belajar berbasis ICT. Sama dengan kategori ketiga, fasilitas ICT seharusnya turut berkontribusi pada ketimpangan pendidikan.
Analisis dan temuan
Data kami analisis menggunakan pemodelan persamaan struktural (structural equation modeling, SEM) dengan bantuan Mplus. Analisis juga memperhatikan sifat data PISA yang clustered (kelompok siswa dalam sekolah). Secara konseptual, tingkat pendidikan dan profesi orangtua ditempatkan sebagai variabel independen (manifes), sedangkan empat kategori fasilitas rumah sebagai variabel perantara (mediator laten). Kedua kelompok variabel tersebut digunakan untuk memprediksi skor tes penalaran matematika, sains, dan bahasa (dalam tiga model terpisah).
Hasil analisis menunjukkan bahwa fasilitas belajar – terutama yang berbasis ICT – memiliki daya prediksi paling kuat terhadap skor penalaran di ketiga bidang yang diteliti. Kenaikan satu jenjang fasilitas pendidikan konvensional (buku, meja belajar, dll.) diikuti oleh kenaikan sekitar 30 poin penalaran. Untuk fasilitas pendidikan berbasis ICT (software pendidikan, koneksi internet, dll.), kenaikan satu jenjang diikuti oleh kenaikan sekitar 50 poin penalaran. Dalam estimasi OECD, 30 poin dalam tes PISA secara rata-rata mencerminkan efek dari satu tahun pelajaran. Dengan demikian, asosiasi antara fasilitas pendidikan di rumah dengan skor penalaran bisa dianggap cukup kuat.
Yang tidak diduga adalah temuan terkait fasilitas budaya. Hasil analisis menunjukkan bahwa fasilitas budaya tidak terkait secara signifikan dengan skor penalaran bahasa dan sains (dan justru sedikit negatif untuk penalaran matematika). Ini bertentangan dengan teori modal budaya Bourdieu dan juga hasil penelitian empiris sebelumnya. Analisis data PISA di banyak negara anggota OECD menunjukkan bahwa fasilitas budaya memiliki kaitan erat dengan prestasi akademik. Di negara-negara tersebut, fasilitas belajar di rumah justru tidak berdampak pada prestasi siswa di sekolah. Perbedaan antara temuan dari negara OECD vs. temuan dari Indonesia ini mungkin mencerminkan perbedaan konteks sosial-ekonomi. Di negara-negara yang ekonominya sudah lebih maju, fasilitas belajar di sekolah dan komunitas (misalnya, perpustakaan umum) lebih banyak tersedia. Karena itu, fasilitas belajar di rumah menjadi tak terlalu penting.
Selain itu, fasilitas penanda kekayaan justru terkait secara negatif dengan skor penalaran di ketiga bidang. Besaran asosiasinya juga sekitar 50 poin, namun dengan arah negatif (kenaikan satu jenjang kekayaan diikuti oleh penurunan 50 poin penalaran). Artinya, ketika kita membandingkan siswa dari keluarga dengan level sosial-ekonomi setara (dalam hal pendidikan/profesi ortu, fasilitas budaya, dan fasilitas belajar), maka mereka yang memiliki lebih banyak benda-benda penanda kekayaan (mobil, motor, kamera digital) cenderung lebih buruk prestasinya.
Terakhir, hasil uji mediasi menunjukkan bahwa fasilitas belajar menjelaskan sekitar 60 sampai 75% dari asosiasi antara tingkat pendidikan dan profesi orangtua dengan skor penalaran bahasa, matematika, dan sains siswa. Ini mendukung hipotesis bahwa fasilitas belajar (konvensional dan ICT) berperan penting dalam ketimpangan pendidikan. Dengan kata lain, akses fasilitas belajar di rumah adalah salah satu alasan mengapa siswa yang orangtuanya berpendidikan tinggi dan memiliki profesi bergengsi (kelas menengah-atas) juga cenderung berprestasi lebih baik di sekolah.
Simpulan
Analisis data PISA yang kami lakukan menggarisbawahi pentingnya keputusan investasi orangtua. Dengan sumberdaya yang sama, orangtua bisa memilih untuk berinvestasi pada hal-hal seperti kamera/motor/mobil vs. untuk fasilitas belajar, dengan dampak yang berbeda pada prestasi akademik anak. Dari perspektif kebijakan, hasil analisis ini menunjukkan bahwa fasilitas belajar yang bisa diakses oleh publik (seperti perpustakaan umum) mungkin merupakan komponen penting dalam upaya menutup ketimpangan pendidikan. Temuan-temuan ini juga menunjukkan manfaat dari analisis sekunder yang kontekstual terhadap data PISA.
No comments:
Post a Comment