Oleh: Anindito Aditomo
Tulisan ini dipantik oleh pertanyaan mas Ainun Najib di forum diskusi Kawal Pendidikan: apa masalah utama pendidikan di Indonesia? Saya mencoba menjawabnya melalui tulisan ini.
Kalau disebutkan satu per satu, daftar masalah pendidikan akan sangat panjang dan cenderung debilitating. Bikin depresi karena seperti memasuki terowongan yang tak kelihatan ujungnya. Karena itu, perlu perspektif untuk merumuskan masalah pokok dan baru kemudian mengidentifikasi masalah-masalah turunannya.
Bagi saya, masalah pokok pendidikan kita adalah soal belajar. Persoalan-persoalan lain bisa diidentifikasi sebagai masalah ketika berdampak pada persoalan belajar ini.
Pandangan ini tentu dipengaruhi disiplin ilmu saya, psikologi pendidikan. Tapi pandangan ini juga sejalan dengan fungsi mendasar pendidikan, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagian esensial dari mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mencerdaskan anak-anak yang bersekolah. Dengan kata lain, apa yang dipelajari – atau tidak dipelajari – para murid di sekolah berpengaruh besar pada keberhasilan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara sederhana, belajar adalah proses dari tidak bisa menjadi bisa. Tidak paham menjadi paham. Kikuk menjadi terampil. Berpikiran melompat-lompat menjadi logis dan sistematis. Berwawasan sempit menjadi luas. Dari bersikap penuh prasangka menjadi empatik dan terbuka. Proses belajar ini seharusnya difasilitasi oleh lingkungan sekolah. Sekolah yang baik adalah sekolah di mana proses belajar terjadi karena memang direncanakan, bukan karena kebetulan.
Dari perspektif ini, ada pendidikan kita punya tiga masalah pokok.
Tidak belajar bernalar
Masalah pertama adalah banyak anak yang bersekolah tanpa (banyak) belajar. Memang, Indonesia boleh berbangga untuk urusan akses (enrollment) pendidikan dasar. Sebagian besar anak-anak Indonesia sudah bersekolah sampai kelas 9. Akses ke pendidikan dasar ini juga boleh dibilang berhasil memfasilitasi kemampuan baca-tulis-berhitung alias literasi dasar.
Sayangnya, keberhasilan pendidikan kita berhenti di sana. Kebanyakan sekolah gagal membantu anak-anak mengembangkan kemampuan bernalar. Data PISA menunjukkan bahwa setelah bersekolah selama 9 atau 10 tahun, hanya sedikit murid Indonesia (sekitar 30%) yang bisa menarik simpulan dari bacaan fiksi maupun non-fiksi. Lebih sedikit lagi yang cakap mengevaluasi keabsahan informasi yang mereka baca. Data PISA juga menunjukkan bahwa kualitas belajar anak-anak Indonesia mengalami stagnasi sejak tahun 2000 sampai 2018. Grafik berikut saya ambil dari presentasi Yuri Belfall (wakil OECD) saat memaparkan hasil PISA 2018 di Jakarta pada bulan Desember 2019.
Problem rendahnya kualitas belajar sudah sangat disadari oleh Kemendikbud. Survei-survei nasional (AKSI) yang dilakukan oleh Balitbang sendiri mengkonfirmasi problem ini. Seperti judul infografis yang diterbitkan Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang (kini Pusat Asesmen dan Pembelajaran) untuk menanggapi temuan PISA: sudah saatnya Indonesia mengalihkan perhatian dari perluasan akses ke peningkatan kualitas belajar.
Belajar hal yang merusak
Masalah kedua adalah anak terkadang justru belajar meyakini hal-hal yang merusak (harmful) di sekolah. Sebagian dari keyakinan ini merusak dalam arti melemahkan fabrik sosial bangsa Indonesia. Contohnya adalah keyakinan bahwa orang beragama lain atau dari etnis tertentu itu jahat. Atau bahwa kelompok tertentu tidak layak diberi tempat hidup di Indonesia. Atau bahwa hanya orang-orang dari agama atau etnis tertentu yang boleh menjadi pemimpin – seperti tercermin pada kasus pemilihan ketua OSIS di sebuah SMA di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Sekolah juga kadang merusak konsep diri anak. Sekolah cenderung mendefinisikan “cerdas” secara sempit pada kecerdasan akademik. Atau mungkin lebih parah lagi, “cerdas” sering tereduksi menjadi rajin dan patuh pada instruksi guru. Anak-anak dengan potensi profil di luar pakem ini terancam dianggap malas, bodoh, atau nakal. Stigma-stigma negatif kadang tersampaikan secara eksplisit, dan kadang secara implisit seperti melalui nilai rapor dan ranking yang rendah. Jika dialami berulang kali, umpan balik negatif ini dapat menciderai konsep diri anak.
Dalam cara yang berbeda, sekolah menciderai anak dengan mengajarkan konsep yang keliru tentang ilmu pengetahuan. Di sekolah, ilmu pengetahuan ditampilkan sebagai kepingan fakta dingin yang kadang tidak jelas kegunaannya. Anak belajar bahwa ilmu pengetahuan berharga semata-mata karena termuat di buku teks. Padahal ilmu pengetahuan terus berkembang dalam proses ilmiah yang seru. Ilmu pengetahuan menjadi berharga karena dihasilkan dari proses yang terbukti menghasilkan pemahaman mendalam tentang alam.
Apresiasi dan kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan – dan pemahaman dasar tentang cara kerja ilmu (science) – bukan hanya penting bagi ilmuwan atau filsuf. Pemahaman epistemik tentang ilmu ini penting secara praktis juga untuk masyarakat. Hal ini seharusnya terlihat dalam pandemi yang sedang berlangsung. Penanganan pandemi akan jauh lebih mudah jika masyarakat memahami mengapa rekomendasi ilmiah tentang Covid perlu ditaati, meski berubah-ubah dan terasa tidak “nyata” dari kacamata awam. Memakai masker ketika kita sehat, misalnya, adalah tindakan yang terasa janggal jika kita tidak percaya pada pengetahuan yang melandasi rekomendasi itu.
Sekolah juga bisa menciderai karena mengajarkan hal-hal yang justru mencerabut anak dari komunitasnya. Kurikulum sekolah sangat disetir oleh logika seleksi akademik. Kurikulum SMA banyak ditentukan oleh apa yang perlu dipelajari untuk siap kuliah. Kurikulum SMP ditentukan oleh apa yang perlu dipelajari agar sukses di SMA. Dan seterusnya ke bawah.
Dengan kata lain, kurikulum sekolah tidak bertujuan untuk menyiapkan anak agar bisa berkontribusi pada komunitas atau lingkungannya. Misalnya, anak seorang petani tidak lantas menjadi lebih paham tentang pertanian dibanding orangtuanya yang tidak mengenyam sekolah formal. Mungkin justru sebaliknya. Bersekolah membuat anak enggan untuk menjadi petani atau belajar tentang pertanian.
Ketimpangan kualitas belajar
Masalah ketiga dalam pendidikan kita adalah besarnya kesenjangan hasil belajar. Ini sama sekali bukan rahasia. Hampir semua orang tahu bahwa di tiap kota ada sekolah-sekolah favorit. SMP-SMP yang menjadi supplier bagi SMA favorit. Dan SMA-SMA yang menjadi supplier mahasiswa universitas favorit. Kesenjangan antar sekolah favorit dan yang lainnya ini luar biasa.
Dari pengalaman pribadi ketika anak saya mendaftar SMA di Surabaya, saya mendapati nilai terendah siswa yang diterima di SMA favorit masih lebih tinggi dibanding hampir semua SMA negeri lain di Surabaya. Secara nasional, juga terlihat kesenjangan besar antar sekolah dan daerah dalam literasi membaca, sains, dan matematika murid. Silakan cek, misalnya, perbandingan antara Jakarta, Yogyakarta, dan wilayah Indonesia lainnya di laporan nasional PISA 2018.
Kesenjangan hasil belajar ini beriringan dengan kesenjangan sosial-ekonomi. Anak dari keluarga miskin lebih mungkin bersekolah di sekolah yang buruk dan memperoleh hasil belajar yang lebih buruk juga. Peluang siswa dari keluarga miskin untuk berkuliah pun menjadi lebih rendah dari seharusnya. Ini berarti bahwa sekolah seringkali gagal menjadi instrumen mobilitas vertikal.
Persoalan kesenjangan mutu ini sudah disadari pemerintah, yang sejak beberapa tahun terakhir menerapkan sistem zonasi dan afirmasi dalam seleksi siswa baru. Kebijakan ini secara teoretis membuka pintu lebih lebar bagi siswa miskin untuk memasuki sekolah negeri (termasuk sekolah favorit). Namun kebijakan ini juga menimbulkan pesoalan karena meningkatkan variasi murid di dalam tiap sekolah. Ini menuntut adanya penyesuaian mindset guru dan praktik pedagogi. Tanpa itu, ada risiko bahwa kebijakan ini berhenti pada pemerataan akses namun gagal untuk menutup kesenjangan kualitas pengalaman dan hasil belajar.
Demikian argumen saya tentang masalah utama pendidikan di Indonesia. Tentu ada banyak masalah lain tidak kalah pentingnya. Tapi saya percaya bahwa kita perlu menempatkan problem belajar sebagai titik tolak untuk merumuskan masalah-masalah lain tersebut.
No comments:
Post a Comment