Mulai tahun depan, Ujian Nasional (UN) akan diganti dengan Asesmen Nasional (AN). Demikian diungkapkan Mendikbud Nadiem Makarim beberapa hari yang lalu. Dalam rencana Kemendikbud, AN akan dilaksanakan di semua sekolah dan diikuti oleh sampel murid dari kelas 5, 8, dan 11.
Penggantian UN menjadi AN menandakan perubahan mendasar dalam sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. Perubahan ini akan mempengaruhi jutaan murid dan guru di seluruh Indonesia. Karena itu wajar jika banyak pihak yang bertanya-tanya dan merasa cemas.
Murid dan para orangtuanya akan bertanya-tanya tentang kriteria kelulusan dalam sistem yang baru. Sebagian guru mungkin mencemaskan pendeknya waktu untuk menyiapkan muridnya menghadapi tes yang konon berbeda dari yang mereka kenal.
Sebagian kepala sekolah akan memikirkan cara agar sekolahnya dinilai berkinerja baik dalam asesmen tersebut. Hal serupa mungkin juga dipikirkan oleh kepala dinas pendidikan yang ingin unjuk kinerja di hadapan kepala daerahnya.
Tulisan ini membedah persamaan dan perbedaan antara UN dan AN. Harapan saya, pemahaman yang lebih baik tentang AN akan membantu meredam kecemasan guru, murid, dan orangtua dalam menghadapi perubahan sistem evaluasi pendidikan.
Mengevaluasi sistem, bukan murid
Hal pertama dan paling penting dipahami adalah bahwa AN murni merupakan evaluasi atas mutu sistem pendidikan. AN bukan evaluasi atas prestasi murid sebagai individu. Hasil AN tidak memiliki konsekuensi sedikit pun pada murid yang menjadi pesertanya.
Karakteristik ini berbeda dari UN. UN adalah evaluasi yang mencampuradukkan evaluasi terhadap murid dan evaluasi terhadap sistem pendidikan.
Di satu sisi UN digunakan untuk mengevaluasi penguasaan tiap murid terhadap materi kurikulum. Hasilnya juga digunakan sebagai penentu kelulusan (sampai 2015) dan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
Di sisi lain, UN digunakan sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan serta mengevaluasi kinerja sekolah dan pemerintah daerah. Pada tahun-tahun sebelumnya, Kemendikbud secara rutin mengumumkan skor UN semua sekolah dan memberi penghargaan pada sekolah-sekolah “juara UN”.
Perbedaan tujuan AN dan UN ini punya banyak implikasi. Misalnya, tidak semua murid kelas 5, 8, dan 11 perlu mengikuti AN. Untuk menghasilkan potret sebuah sekolah, AN cukup diikuti oleh sampel murid yang dipilih secara acak untuk mewakili murid-murid lain di sekolahnya.
Konsekuensi lanjutannya adalah hasil AN tidak dilaporkan pada level individu. Murid peserta AN tidak akan memperoleh sertifikat yang menunjukkan skor hasil tesnya. Hasil AN hanya akan dilaporkan dalam bentuk profil sekolah dan daerah.
Hal ini tidak bisa dilakukan dalam UN. Karena dimaksudkan untuk menilai prestasi individu, maka UN harus diikuti oleh semua murid. Hasilnya pun dilaporkan dalam bentuk sertifikat yang menunjukkan skor setiap murid yang menjadi peserta UN.
Mengukur penalaran, bukan hafalan
Implikasi lain dari perbedaan tujuan AN dan UN adalah pada apa yang diukur. Seperti saya sampaikan di atas, UN dirancang untuk menilai penguasaan murid atas materi kurikulum. Karena itu tes UN seharusnya mencakup semua topik yang pernah dipelajari selama SMP atau SMA.
Keluasan cakupan materi yang harus diujikan membatasi kedalaman kognitif yang bisa diukur oleh UN. Dengan banyaknya materi yang diujikan dan terbatasnya waktu, sulit bagi UN untuk mengukur daya nalar atau pemahaman. Akibatnya, kebanyakan soal UN cenderung mengukur hafalan.
Sebagai catatan, Kemendikbud sebenarnya sudah berupaya memasukkan soal-soal yang mengukur daya nalar dalam UN. Namun upaya ini tidak maksimal karena UN dibebani dengan tuntutan menguji penguasaan murid terhadap seluruh materi kurikulum.
Hal ini tidak berlaku untuk AN. Dirancang khusus untuk mengevaluasi sistem, AN tidak punya beban untuk mengevaluasi penguasaan murid atas kurikulum. Karena itu, AN bisa difokuskan pada hasil belajar yang paling mendasar saja sebagai ukuran dari keberhasilan sistem pendidikan.
Dalam hal ini, AN akan mengukur literasi dan numerasi murid melalui tes yang disebut Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Literasi adalah kemampuan memahami dan mengevaluasi bacaan. Numerasi adalah kemampuan menerapkan konsep matematika dasar untuk menyelesaikan masalah.
Sebagai kecakapan mendasar, literasi dan numerasi mencerminkan hasil belajar dari berbagai mata pelajaran. Kebiasaan dan keterampilan membaca tidak cukup ditumbuhkan melalui pelajaran bahasa Indonesia saja, tapi juga melalui pelajaran IPS, IPA, Pancasila, agama, dan pelajaran lain.
Demikian juga dengan numerasi. Kemampuan berpikir logis untuk mengenali dan merumuskan masalah, kemudian memecahkannya menggunakan alat-alat konseptual tidak bisa hanya dikembangkan melalui pelajaran matematika. IPA, IPS, dan mungkin pelajaran lain juga perlu ikut berkontribusi.
Dengan demikian, kualitas pengajaran sekolah secara tak langsung bisa dinilai melalui tingkat literasi dan numerasi muridnya. Karena itu AN tidak terbebani cakupan materi yang terlalu luas. Soal-soal AKM pun bisa dirancang untuk mengukur daya nalar dan pemahaman yang mendalam.
Bersiap menghadapi Asesmen Nasional
Apa artinya semua ini untuk murid? Apa yang perlu dilakukan murid?
Kalau yang dimaksud adalah perkara persiapan menghadapi AN, maka jawabannya adalah: tidak ada. Peserta AN akan dipilih secara acak, dan hasilnya tidak punya konsekuensi pada mereka yang menjadi peserta.
Dengan demikian, murid tidak perlu melakukan persiapan khusus untuk menghadapi AN. Murid kelas 6, 9, dan 12 cukup konsentrasi menghadapi ujian sekolah sebagai penentu kelulusan, serta ujian lain yang menjadi bagian seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
Orangtua juga tidak perlu melakukan apapun terkait AN. Sama sekali tidak perlu meminta anak mengikuti bimbingan belajar AKM yang mulai gencar diiklankan.
Bagaimana dengan guru dan kepala sekolah?
Untuk 2021, tidak ada yang perlu dirisaukan oleh guru dan kepala sekolah. Mendikbud telah menyatakan bahwa hasil AN 2021 dimaksudkan sebagai peta awal atau baseline mutu sistem pendidikan secara nasional. AN 2021 tidak dipakai untuk mengevaluasi kinerja sekolah maupun daerah.
Namun dalam jangka panjang, AN secara implisit menuntut guru untuk memperbaiki kualitas pengajarannya. Fokus pada daya nalar dalam bentuk literasi dan numerasi adalah cara Kemendikbud untuk mendorong guru mengubah caranya mengajar.
Untuk mengembangkan literasi, guru perlu sering mendorong murid membaca secara luas. Bukan hanya membaca buku teks. Guru juga perlu mengajar murid berdiskusi dan mengevaluasi informasi yang dibaca, tidak sekadar meringkas dan mengulang kembali.
Untuk numerasi, guru perlu memastikan murid memiliki intuisi angka (number sense) dan pemahaman aritmatika dasar sejak dini. Guru juga perlu memandu murid memecahkan masalah yang kompleks. Masalah yang menuntut diskusi dan penalaran, tidak bisa dipecahkan dengan menghafal rumus.
Perubahan kebijakan dan respon publik
Dari kacamata Kemendikbud, perubahan sistem evaluasi adalah upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan secara menyeluruh. Kemendikbud tampaknya menyadari bahwa evaluasi tak boleh berhenti pada judgement. Evaluasi harus membawa perubahan positif pada praktik pengajaran.
Namun dari kacamata para pelaku di sekolah, perubahan kebijakan ini menimbulkan kecemasan. Hal ini sangat beralasan, mengingat berbagai perubahan kebijakan di masa lampau yang seringkali bukan menjadi angin segar, namun justru menimbulkan trauma.
Dalam konteks itu, wajar jika banyak pihak yang skeptis dengan AN. Ada guru yang bahkan mencibir: ganti huruf U menjadi A saja kok dibuat heboh? Membangun ruang dialog publik tentang perubahan kebijakan pendidikan adalah sebuah PR bersama pemangku kepentingan dunia pendidikan.
Tulisan ini adalah kontribusi kecil dalam upaya tersebut. Semoga sedikit membantu pembaca memahami rationale yang melandasi perubahan UN menjadi AN, sekaligus mengurangi kecemasan para murid, guru, dan kepala sekolah dalam menjalani perubahan tersebut.
Catatan: Penjelasan resmi dan contoh soal Asesmen Nasional (komponen AKM) bisa dilihat di laman Pusat Asesmen dan Pembelajaran, Balitbang dan Perbukuan sebagai berikut: https://pusmenjar.kemdikbud.go.id/AKM/
No comments:
Post a Comment