Saturday, October 31, 2020

BANYAK BERSEKOLAH TAPI TIDAK (BANYAK) BELAJAR

Oleh: Anindito Aditomo

Aktivitas membaca bebas di kelas
Tulisan ini dipantik oleh pertanyaan mas Ainun Najib di forum diskusi Kawal Pendidikan: apa masalah utama pendidikan di Indonesia? Saya mencoba menjawabnya melalui tulisan ini.
 
Kalau disebutkan satu per satu, daftar masalah pendidikan akan sangat panjang dan cenderung debilitating. Bikin depresi karena seperti memasuki terowongan yang tak kelihatan ujungnya. Karena itu, perlu perspektif untuk merumuskan masalah pokok dan baru kemudian mengidentifikasi masalah-masalah turunannya.
 
Bagi saya, masalah pokok pendidikan kita adalah soal belajar. Persoalan-persoalan lain bisa diidentifikasi sebagai masalah ketika berdampak pada persoalan belajar ini.
 
Pandangan ini tentu dipengaruhi disiplin ilmu saya, psikologi pendidikan. Tapi pandangan ini juga sejalan dengan fungsi mendasar pendidikan, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagian esensial dari mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mencerdaskan anak-anak yang bersekolah. Dengan kata lain, apa yang dipelajari – atau tidak dipelajari – para murid di sekolah berpengaruh besar pada keberhasilan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
 
Secara sederhana, belajar adalah proses dari tidak bisa menjadi bisa. Tidak paham menjadi paham. Kikuk menjadi terampil. Berpikiran melompat-lompat menjadi logis dan sistematis. Berwawasan sempit menjadi luas. Dari bersikap penuh prasangka menjadi empatik dan terbuka. Proses belajar ini seharusnya difasilitasi oleh lingkungan sekolah. Sekolah yang baik adalah sekolah di mana proses belajar terjadi karena memang direncanakan, bukan karena kebetulan.
 
Dari perspektif ini, ada pendidikan kita punya tiga masalah pokok.
 
Tidak belajar bernalar
 
Masalah pertama adalah banyak anak yang bersekolah tanpa (banyak) belajar. Memang, Indonesia boleh berbangga untuk urusan akses (enrollment) pendidikan dasar. Sebagian besar anak-anak Indonesia sudah bersekolah sampai kelas 9. Akses ke pendidikan dasar ini juga boleh dibilang berhasil memfasilitasi kemampuan baca-tulis-berhitung alias literasi dasar.
 
Sayangnya, keberhasilan pendidikan kita berhenti di sana. Kebanyakan sekolah gagal membantu anak-anak mengembangkan kemampuan bernalar. Data PISA menunjukkan bahwa setelah bersekolah selama 9 atau 10 tahun, hanya sedikit murid Indonesia (sekitar 30%) yang bisa menarik simpulan dari bacaan fiksi maupun non-fiksi. Lebih sedikit lagi yang cakap mengevaluasi keabsahan informasi yang mereka baca. Data PISA juga menunjukkan bahwa kualitas belajar anak-anak Indonesia mengalami stagnasi sejak tahun 2000 sampai 2018. Grafik berikut saya ambil dari presentasi Yuri Belfall (wakil OECD) saat memaparkan hasil PISA 2018 di Jakarta pada bulan Desember 2019.
 
 
Problem rendahnya kualitas belajar sudah sangat disadari oleh Kemendikbud. Survei-survei nasional (AKSI) yang dilakukan oleh Balitbang sendiri mengkonfirmasi problem ini. Seperti judul infografis yang diterbitkan Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang (kini Pusat Asesmen dan Pembelajaran) untuk menanggapi temuan PISA: sudah saatnya Indonesia mengalihkan perhatian dari perluasan akses ke peningkatan kualitas belajar. 
 
Belajar hal yang merusak
 
Masalah kedua adalah anak terkadang justru belajar meyakini hal-hal yang merusak (harmful) di sekolah. Sebagian dari keyakinan ini merusak dalam arti melemahkan fabrik sosial bangsa Indonesia. Contohnya adalah keyakinan bahwa orang beragama lain atau dari etnis tertentu itu jahat. Atau bahwa kelompok tertentu tidak layak diberi tempat hidup di Indonesia. Atau bahwa hanya orang-orang dari agama atau etnis tertentu yang boleh menjadi pemimpin – seperti tercermin pada kasus pemilihan ketua OSIS di sebuah SMA di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
 
Sekolah juga kadang merusak konsep diri anak. Sekolah cenderung mendefinisikan “cerdas” secara sempit pada kecerdasan akademik. Atau mungkin lebih parah lagi, “cerdas” sering tereduksi menjadi rajin dan patuh pada instruksi guru. Anak-anak dengan potensi profil di luar pakem ini terancam dianggap malas, bodoh, atau nakal. Stigma-stigma negatif kadang tersampaikan secara eksplisit, dan kadang secara implisit seperti melalui nilai rapor dan ranking yang rendah. Jika dialami berulang kali, umpan balik negatif ini dapat menciderai konsep diri anak.
 
Dalam cara yang berbeda, sekolah menciderai anak dengan mengajarkan konsep yang keliru tentang ilmu pengetahuan. Di sekolah, ilmu pengetahuan ditampilkan sebagai kepingan fakta dingin yang kadang tidak jelas kegunaannya. Anak belajar bahwa ilmu pengetahuan berharga semata-mata karena termuat di buku teks. Padahal ilmu pengetahuan terus berkembang dalam proses ilmiah yang seru. Ilmu pengetahuan menjadi berharga karena dihasilkan dari proses yang terbukti menghasilkan pemahaman mendalam tentang alam.
 
Apresiasi dan kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan – dan pemahaman dasar tentang cara kerja ilmu (science) – bukan hanya penting bagi ilmuwan atau filsuf. Pemahaman epistemik tentang ilmu ini penting secara praktis juga untuk masyarakat. Hal ini seharusnya terlihat dalam pandemi yang sedang berlangsung. Penanganan pandemi akan jauh lebih mudah jika masyarakat memahami mengapa rekomendasi ilmiah tentang Covid perlu ditaati, meski berubah-ubah dan terasa tidak “nyata” dari kacamata awam. Memakai masker ketika kita sehat, misalnya, adalah tindakan yang terasa janggal jika kita tidak percaya pada pengetahuan yang melandasi rekomendasi itu.
 
Sekolah juga bisa menciderai karena mengajarkan hal-hal yang justru mencerabut anak dari komunitasnya. Kurikulum sekolah sangat disetir oleh logika seleksi akademik. Kurikulum SMA banyak ditentukan oleh apa yang perlu dipelajari untuk siap kuliah. Kurikulum SMP ditentukan oleh apa yang perlu dipelajari agar sukses di SMA. Dan seterusnya ke bawah.
 
Dengan kata lain, kurikulum sekolah tidak bertujuan untuk menyiapkan anak agar bisa berkontribusi pada komunitas atau lingkungannya. Misalnya, anak seorang petani tidak lantas menjadi lebih paham tentang pertanian dibanding orangtuanya yang tidak mengenyam sekolah formal. Mungkin justru sebaliknya. Bersekolah membuat anak enggan untuk menjadi petani atau belajar tentang pertanian.
 
Ketimpangan kualitas belajar
 
Masalah ketiga dalam pendidikan kita adalah besarnya kesenjangan hasil belajar. Ini sama sekali bukan rahasia. Hampir semua orang tahu bahwa di tiap kota ada sekolah-sekolah favorit. SMP-SMP yang menjadi supplier bagi SMA favorit. Dan SMA-SMA yang menjadi supplier mahasiswa universitas favorit. Kesenjangan antar sekolah favorit dan yang lainnya ini luar biasa.
 
Dari pengalaman pribadi ketika anak saya mendaftar SMA di Surabaya, saya mendapati nilai terendah siswa yang diterima di SMA favorit masih lebih tinggi dibanding hampir semua SMA negeri lain di Surabaya. Secara nasional, juga terlihat kesenjangan besar antar sekolah dan daerah dalam literasi membaca, sains, dan matematika murid. Silakan cek, misalnya, perbandingan antara Jakarta, Yogyakarta, dan wilayah Indonesia lainnya di laporan nasional PISA 2018.
 
Kesenjangan hasil belajar ini beriringan dengan kesenjangan sosial-ekonomi. Anak dari keluarga miskin lebih mungkin bersekolah di sekolah yang buruk dan memperoleh hasil belajar yang lebih buruk juga. Peluang siswa dari keluarga miskin untuk berkuliah pun menjadi lebih rendah dari seharusnya. Ini berarti bahwa sekolah seringkali gagal menjadi instrumen mobilitas vertikal.
 
Persoalan kesenjangan mutu ini sudah disadari pemerintah, yang sejak beberapa tahun terakhir menerapkan sistem zonasi dan afirmasi dalam seleksi siswa baru. Kebijakan ini secara teoretis membuka pintu lebih lebar bagi siswa miskin untuk memasuki sekolah negeri (termasuk sekolah favorit). Namun kebijakan ini juga menimbulkan pesoalan karena meningkatkan variasi murid di dalam tiap sekolah. Ini menuntut adanya penyesuaian mindset guru dan praktik pedagogi. Tanpa itu, ada risiko bahwa kebijakan ini berhenti pada pemerataan akses namun gagal untuk menutup kesenjangan kualitas pengalaman dan hasil belajar.
 
Demikian argumen saya tentang masalah utama pendidikan di Indonesia. Tentu ada banyak masalah lain tidak kalah pentingnya. Tapi saya percaya bahwa kita perlu menempatkan problem belajar sebagai titik tolak untuk merumuskan masalah-masalah lain tersebut.

Wednesday, October 21, 2020

MENGUBAH PENDIDIKAN, MENGUBAH MASYARAKAT

Oleh: Anindito Aditomo | Terbit pertama 27 Oktober 2019 di portal KAGAMA 

 

Lazimnya orang berpikir bahwa pendidikan adalah instrumen perubahan sosial. Artinya, memperbaiki pendidikan adalah jalan untuk menghasilkan perubahan positif pada masyarakat.
 
Pandangan ini benar, tapi hanya separuh saja. Separuh lainnya adalah bahwa perubahan pendidikan seringkali mensyaratkan perubahan pada masyarakat. Lebih tepatnya, perbaikan sistem pendidikan perlu didahului oleh perubahan cara berpikir masyarakat.
 
Ada beberapa contoh yang mengilustrasikan dinamika tersebut. Yang pertama berasal dari Jerman. Pada awal 2009 koalisi partai Kristen Demokrat dan partai Hijau memenangkan pemilu Hamburg, sebuah kota sekaligus negara bagian di Jerman. Salah satu agenda utama koalisi tersebut adalah reformasi pendidikan, yakni perpanjangan masa sekolah dasar dari 4 menjadi 6 tahun. Karena memang menjadi platform kampanye, usul tersebut disetujui parlemen pada Oktober 2009.
 
Namun gelombang protes segera muncul. Sedemikian keras protes yang dilancarkan sampai pemerintah setuju untuk mengadakan referendum. Dilangsungkan pada Juli 2010, hampir 500 ribu orang mengikuti referendum. Bukan jumlah yang kecil di sebuah kota berpenduduk sekitar 1.7 juta orang! Sekitar 55.8% peserta referendum menolak memperpanjang masa sekolah dasar.
 
Reformasi yang diusulkan di Hamburg itu sebenarnya memiliki landasan yang kuat. Di Hamburg, siswa kelas 5 dipisahkan ke dalam dua jalur sekolah: Gymnasium dan non-Gymnasium. Gymnasium adalah sekolah untuk siswa yang dipandang lebih berbakat akademik. Non-Gymnasium adalah untuk siswa yang lainnya. Berbagai riset menunjukkan bahwa sistem tersebut melestarikan kesenjangan sosial-ekonomi. Perpanjangan masa sekolah dasar dimaksudkan agar siswa mendapat 2 tahun ekstra untuk mendapat pendidikan akademik yang komprehensif sebelum harus dipisah ke dalam dua jalur.
 
Lantas mengapa masyarakat Hamburg menolak usul tersebut? Saya tidak tahu persis, tapi sebagian sentimen penolakan terbaca dari slogan utama aktivisnya: Wir wollen lernen! Kami ingin belajar! Lho, apakah perpanjangan masa sekolah dasar menghambat anak-anak untuk belajar? Di sini menariknya. Slogan ini mencerminkan pandangan bahwa belajar bisa berlangsung lebih baik ketika siswa dipisahkan berdasarkan bakat akademiknya. Perpanjangan masa sekolah dasar berarti memperpendek masa sekolah menengah-atas yang dianggap sebagai masa ketika anak „benar-benar belajar“!
 
Contoh kedua adalah rangkaian kebijakan “yutori kyōiku” yang diterapkan di Jepang. Reformasi yutori adalah respon terhadap besarnya tekanan mental yang dirasakan siswa Jepang karena luasnya cakupan kurikulum sekolah. Selain berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis siswa, kurikulum yang terlalu luas juga dinilai melanggengkan metode pengajaran yang satu arah dan tidak mengembangkan kreativitas, kemandirian dan nalar kritis.
 
Reformasi yutori mendapatkan momentum mulai akhir 1990an. Jam pelajaran mulai dikurangi; hari Sabtu yang sebelumnya merupakan hari sekolah menjadi libur. Manifestasi reformasi yutori yang paling jelas adalah pemangkasan 30% konten kurikulum nasional pada tahun 2002. Setelah itu, pemerintah menerbitkan panduan mata pelajaran teringetrasi tentang tema-tema besar seperti lingkungan dan teknologi. Sejalan dengan hal itu, guru juga didorong untuk lebih banyak menggunakan metode problem- dan project-based learning.
 
Seperti usulan perpanjangan masa sekolah dasar di Hamburg, reformasi yutori juga memiliki landasan yang kuat. Kreativitas, kolaborasi, dan nalar kritis sulit berkembang jika guru terlalu sibuk „menyelesaikan“ konten kurikulum yang penuh sesak. Tekanan psikologis yang berlebihan juga berdampak buruk pada pemahaman materi dan kesehatan mental.
 
Apa yang terjadi? Seperti juga di Hamburg, masyarakat Jepang memandang reformasi yutori sebagai kemunduran. Pengurangan konten dan jam belajar dianggap sebagai penurunan standar akademik. Turunnya hasil tes internasional seperti PISA pada tahun 2003 dipersepsi sebagai bukti dampak buruk yutori. Banyak orangtua yang bahkan menyerbu les-lesan (kursus) yang menawarkan konten dan gaya pengajaran seperti yang dulu diperoleh di sekolah sebelum reformasi yutori!
 
Sebenarnya persepsi tentang penurunan standar akademik tidak sepenuhnya benar. Tes PISA, yang pada 2003 dijadikan salah satu bukti dampak negatif yutori, justru menunjukkan bahwa siswa Jepang menjadi semakin mahir menjawab open ended problems yang membutuhkan kreativitas dan nalar kritis. 
 
Menurut Andreas Schleicher, sang perancang PISA, peningkatan kemampuan problem solving siswa Jepang pada periode 2003-2009 adalah yang paling pesat di dunia. Ini persis seperti yang dimaksudkan oleh penggagas reformasi yutori! Namun apa lacur. Respon negatif masyarakat Jepang mendorong pemerintah untuk berkompromi dan membatalkan beberapa aspek reformasi yutori. Konten kurikulum pun berangsur ditambah kembali.
 
Contoh ketiga adalah reformasi seleksi masuk sekolah berbasis yang baru saja diterapkan di Indonesia. Ya, kebijakan zonasi adalah sebuah reformasi pendidikan yang cukup radikal. Mirip dengan perpanjangan masa sekolah dasar di Hamburg, zonasi dilatarbelakangi oleh niat untuk mengurangi kesenjangan sosial dalam pendidikan. Dengan zonasi, komposisi sosial-ekonomi siswa di tiap sekolah diharapkan menjadi lebih merata. Dengan demikian, semakin banyak siswa dari keluarga miskin yang bisa masuk ke sekolah yang selama ini dianggap favorit.
 
Seperti juga kasus Hamburg dan Jepang, zonasi di Indonesia juga direspon secara negatif oleh masyarakat. Respon tersebut sebagian dipicu oleh implementasi yang buruk. Tapi sebagian lagi alasannya lebih fundamental: zonasi melanggar beberapa keyakinan masyarakat tentang sekolah dan pendidikan. Misalnya, banyak orang merasa bahwa zonasi tidak adil karena menghukum siswa yang sudah belajar keras untuk menghadapi ujian. Secara implisit, ini mencerminkan keyakinan bahwa seleksi masuk sekolah adalah urusan kompetisi antar siswa. Mereka yang rajin dan berbakat memang seharusnya mendapat reward diterima di sekolah yang lebih baik.
 
Pada akhirnya, kebijakan zonasi pun mengalami kompromi. Daerah diperbolehkan menggunakan nilai ujian sebagai salah satu komponen seleksi. Beberapa daerah bahkan konon menolak menerapkan kebijakan tersebut.
 
Ketiga contoh ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah cermin dari masyarakat. Sistem pendidikan yang kita miliki, dengan segala baik buruknya, sampai titik tertentu merupakan perwujudan dari nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki masyarakat. Atau lebih tepatnya: kelompok yang dominan dalam masyarakat. Konsekuensinya, perbaikan pendidikan seringkali perlu disertai – dan mungkin didahului – oleh perubahan keyakinan masyarakat. Dengan kata lain: disrupsi pendidikan perlu diawali dengan disrupsi cara berpikir masyarakat!

Saturday, October 17, 2020

Benarkah Asesmen Nasional Tidak Punya Landasan Hukum?

Oleh: Anindito Aditomo

Kemendikbud telah meluncurkan Asesmen Nasional sebagai pengganti Ujian Nasional. Berbeda dengan Ujian Nasional (UN), Asesmen Nasional (AN) tidak menilai prestasi murid sebagai individu. AN murni dirancang sebagai evaluasi terhadap sistem pendidikan.

Dari pengamatan saya di beberapa forum yang membicarakan AN, salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah soal landasan hukum. Persoalan ini menjadi perhatian utama para birokrat dan pejabat pendidikan, baik di pusat maupun daerah. Dalam alam pikir birokrasi, tampaknya segala sesuatu memang dianggap haram kecuali yang diperbolehkan. Dengan kata lain, tidak ada program yang bisa dijalankan kalau belum jelas landasan hukumnya. Tanpa landasan hukum, AN adalah barang ilegal yang haram untuk dijalankan.

Nah, apakah penghapusan UN memiliki landasan hukum? Bagaimana dengan penyelenggaraan AN itu sendiri, apakah ada landasan hukumnya? Jawaban pendeknya: ada di level undang-undang, tapi belum ada peraturan turunannya. Mari kita bahas sedikit lebih rinci.

Penghapusan UN


Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengatur soal evaluasi pendidikan melalui tiga pasal kunci: Pasal 57, 58, dan 59. Penghapusan UN didasarkan pada Pasal 58 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:
"Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan."
Ayat di atas jelas menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Bukan oleh pemerintah atau lembaga eksternal. Ini masuk akal karena yang dapat mengetahui hasil belajar murid secara komprehensif adalah para gurunya. Tes-tes terstandar seperti UN dan AN tidak mungkin menangkap hasil belajar murid secara utuh. 

Dengan demikian Pasal 58 ayat 1 menjadi dasar untuk menghapus UN. Sebagai informasi, UN selama ini digunakan bukan hanya untuk pemetaan mutu, tapi juga untuk menilai pencapaian individual murid. Ini terlihat dari kewajiban setiap murid kelas 9 dan 12 mengikuti UN. Ini juga terlihat dari adanya sertifikat hasil UN sebagai pengakuan atas prestasi tiap murid, yang kemudian digunakan sebagai kriteria seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Sekali lagi, Pasal 58 ayat 1 secara jelas menyatakan bahwa evaluasi terhadap murid merupakan wewenang guru. Karena itu penghapusan UN sebagai alat evaluasi murid punya justifikasi yang kuat. Tapi ini menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi landasan hukum UN selama ini? 

Lemahnya landasan hukum UN


Di tingkat undang-undang, UN sebenarnya tidak memiliki landasan yang kokoh. Yang biasa dikutip sebagai landasan UN adalah Pasal 58 ayat 2. Berikut bunyi lengkap ayat tersebut:
“Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.”
Frase “evaluasi peserta didik” dalam ayat ini memang sepintas membenarkan penilaian hasil belajar murid oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tapi jika dibaca secara lengkap, sebenarnya jelas bahwa ayat tersebut berbicara tentang evaluasi terhadap sistem pendidikan. Bukan evaluasi terhadap prestasi murid sebagai individu.

Hal ini terlihat dari pemberian mandat pada lembaga mandiri untuk melakukan evaluasi yang menyeluruh dan sistemik. Pelaksanaan oleh lembaga mandiri menjadi relevan ketika tujuan evaluasi adalah untuk menilai kinerja sekolah dan pemerintah daerah (sebagai penyelenggara sekolah). Evaluasi terhadap kinerja sekolah - apalagi secara menyeluruh dan sistemik - tentu tidak bisa dilakukan oleh guru dan pengelola sekolah itu sendiri.

Penyebutan standar nasional pendidikan (SNP) dalam ayat tersebut menegaskan lagi bahwa evaluasi yang dimaksud adalah evaluasi terhadap sistem. Seperti diketahui, SNP terdiri dari delapan komponen, termasuk komponen sarana prasarana, pembiayaan, kualitas dan jumlah guru, serta pengelolaan sekolah. Pemenuhan standar untuk hal-hal ini jelas merupakan kewajiban pemerintah. Pengukurannya adalah bagian dari evaluasi terhadap sistem, bukan murid sebagai individu.

Dengan demikian, Pasal 58 ayat 2 UU Sisdiknas seharusnya tidak digunakan sebagai justifikasi atas pengukuran prestasi murid oleh negara. Ayat ini lebih tepat dibaca sebagai landasan hukum akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Nasional. 

Landasan hukum Asesmen Nasional


Bagaimana dengan AN itu sendiri? Di tingkat UU, landasan hukum AN justru kuat. Ada dua pasal dalam UU Sisdiknas yang menjadi landasan AN. Yang pertama adalah Pasal 57 yang memuat 2 ayat sebagai berikut:
"1. Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 
2. Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan."
Kedua ayat ini memerintahkan adanya evaluasi terhadap murid dan sekolah sebagai bentuk pengendalian mutu dan pertanggungjawaban publik. Ini jelas merupakan evaluasi terhadap sistem. Kalau pun murid ikut menjadi peserta dalam evaluasi ini, maka hal itu dilakukan untuk menilai kinerja sistem. Bukan untuk mengevaluasi prestasi mereka sebagai individu.

Implikasinya adalah evaluasi semacam ini tidak perlu dilakukan pada semua murid sebagaimana halnya UN. Evaluasi terhadap sistem cukup didasarkan pada sampel murid yang mewakili masing-masing sekolah yang sedang dinilai kinerjanya. Dan persis inilah yang akan dilakukan dalam AN.

Pasal lain yang menjadi landasan hukum AN adalah Pasal 59 ayat 1 yang berbunyi: 
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.”
Di sini jelas bahwa UU memberi mandat pada pemerintah untuk melakukan evaluasi yang bertujuan untuk menilai mutu pengelolaan sekolah di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Ini menjadi justifikasi yang kuat bagi pemerintah - dalam hal ini Kemendikbud - untuk melaksanakan AN yang akan diterapkan untuk menilai kinerja sekolah di jalur formal maupun nonformal, jenjang dasar dan menengah, serta jenis pendidikan umum maupun vokasi.

Menata regulasi turunan UU


Uraian di atas menunjukkan bahwa di tingkat undang-undang, AN memiliki landasan hukum yang kuat. Jauh lebih kuat dibanding UN yang sudah diterapkan selama belasan tahun. Dengan demikian, tidak benar jika dikatakan bahwa AN tidak memiliki landasan hukum. 

Tentu yang menjadi pekerjaan selanjutnya bagi Kemendikbud adalah merevisi peraturan perundangan turunannya. Ini berarti mencabut pasal-pasal di Peraturan Pemerintah nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan yang memberi mandat pada BSNP untuk melaksanakan UN, kemudian menggantikannya dengan norma yang sejalan dengan filosofi dan desain AN. 

Saturday, October 10, 2020

Asesmen Nasional vs. Ujian Nasional: Apa Persamaan dan Perbedaannya?

Oleh: Anindito Aditomo


Mulai tahun depan, Ujian Nasional (UN) akan diganti dengan Asesmen Nasional (AN). Demikian diungkapkan Mendikbud Nadiem Makarim beberapa hari yang lalu. Dalam rencana Kemendikbud, AN akan dilaksanakan di semua sekolah dan diikuti oleh sampel murid dari kelas 5, 8, dan 11. 

Penggantian UN menjadi AN menandakan perubahan mendasar dalam sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. Perubahan ini akan mempengaruhi jutaan murid dan guru di seluruh Indonesia. Karena itu wajar jika banyak pihak yang bertanya-tanya dan merasa cemas. 


Murid dan para orangtuanya akan bertanya-tanya tentang kriteria kelulusan dalam sistem yang baru. Sebagian guru mungkin mencemaskan pendeknya waktu untuk menyiapkan muridnya menghadapi tes yang konon berbeda dari yang mereka kenal. 


Sebagian kepala sekolah akan memikirkan cara agar sekolahnya dinilai berkinerja baik dalam asesmen tersebut. Hal serupa mungkin juga dipikirkan oleh kepala dinas pendidikan yang ingin unjuk kinerja di hadapan kepala daerahnya. 


Tulisan ini membedah persamaan dan perbedaan antara UN dan AN. Harapan saya, pemahaman yang lebih baik tentang AN akan membantu meredam kecemasan guru, murid, dan orangtua dalam menghadapi perubahan sistem evaluasi pendidikan. 

Mengevaluasi sistem, bukan murid

Hal pertama dan paling penting dipahami adalah bahwa AN murni merupakan evaluasi atas mutu sistem pendidikan. AN bukan evaluasi atas prestasi murid sebagai individu. Hasil AN tidak memiliki konsekuensi sedikit pun pada murid yang menjadi pesertanya.


Karakteristik ini berbeda dari UN. UN adalah evaluasi yang mencampuradukkan evaluasi terhadap murid dan evaluasi terhadap sistem pendidikan.


Di satu sisi UN digunakan untuk mengevaluasi penguasaan tiap murid terhadap materi kurikulum. Hasilnya juga digunakan sebagai penentu kelulusan (sampai 2015) dan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. 


Di sisi lain, UN digunakan sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan serta mengevaluasi kinerja sekolah dan pemerintah daerah. Pada tahun-tahun sebelumnya, Kemendikbud secara rutin mengumumkan skor UN semua sekolah dan memberi penghargaan pada sekolah-sekolah “juara UN”.


Perbedaan tujuan AN dan UN ini punya banyak implikasi. Misalnya, tidak semua murid kelas 5, 8, dan 11 perlu mengikuti AN. Untuk menghasilkan potret sebuah sekolah, AN cukup diikuti oleh sampel murid yang dipilih secara acak untuk mewakili murid-murid lain di sekolahnya. 


Konsekuensi lanjutannya adalah hasil AN tidak dilaporkan pada level individu. Murid peserta AN tidak akan memperoleh sertifikat yang menunjukkan skor hasil tesnya. Hasil AN hanya akan dilaporkan dalam bentuk profil sekolah dan daerah.


Hal ini tidak bisa dilakukan dalam UN. Karena dimaksudkan untuk menilai prestasi individu, maka UN harus diikuti oleh semua murid. Hasilnya pun dilaporkan dalam bentuk sertifikat yang menunjukkan skor setiap murid yang menjadi peserta UN. 

Mengukur penalaran, bukan hafalan

Implikasi lain dari perbedaan tujuan AN dan UN adalah pada apa yang diukur. Seperti saya sampaikan di atas, UN dirancang untuk menilai penguasaan murid atas materi kurikulum. Karena itu tes UN seharusnya mencakup semua topik yang pernah dipelajari selama SMP atau SMA. 


Keluasan cakupan materi yang harus diujikan membatasi kedalaman kognitif yang bisa diukur oleh UN. Dengan banyaknya materi yang diujikan dan terbatasnya waktu, sulit bagi UN untuk mengukur daya nalar atau pemahaman. Akibatnya, kebanyakan soal UN cenderung mengukur hafalan. 

 

Sebagai catatan, Kemendikbud sebenarnya sudah berupaya memasukkan soal-soal yang mengukur daya nalar dalam UN. Namun upaya ini tidak maksimal karena UN dibebani dengan tuntutan menguji penguasaan murid terhadap seluruh materi kurikulum.


Hal ini tidak berlaku untuk AN. Dirancang khusus untuk mengevaluasi sistem, AN tidak punya beban untuk mengevaluasi penguasaan murid atas kurikulum. Karena itu, AN bisa difokuskan pada hasil belajar yang paling mendasar saja sebagai ukuran dari keberhasilan sistem pendidikan.


Dalam hal ini, AN akan mengukur literasi dan numerasi murid melalui tes yang disebut Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Literasi adalah kemampuan memahami dan mengevaluasi bacaan. Numerasi adalah kemampuan menerapkan konsep matematika dasar untuk menyelesaikan masalah. 


Sebagai kecakapan mendasar, literasi dan numerasi mencerminkan hasil belajar dari berbagai mata pelajaran. Kebiasaan dan keterampilan membaca tidak cukup ditumbuhkan melalui pelajaran bahasa Indonesia saja, tapi juga melalui pelajaran IPS, IPA, Pancasila, agama, dan pelajaran lain. 


Demikian juga dengan numerasi. Kemampuan berpikir logis untuk mengenali dan merumuskan masalah, kemudian memecahkannya menggunakan alat-alat konseptual tidak bisa hanya dikembangkan melalui pelajaran matematika. IPA, IPS, dan mungkin pelajaran lain juga perlu ikut berkontribusi.


Dengan demikian, kualitas pengajaran sekolah secara tak langsung bisa dinilai melalui tingkat literasi dan numerasi muridnya. Karena itu AN tidak terbebani cakupan materi yang terlalu luas. Soal-soal AKM pun bisa dirancang untuk mengukur daya nalar dan pemahaman yang mendalam.

Bersiap menghadapi Asesmen Nasional

Apa artinya semua ini untuk murid? Apa yang perlu dilakukan murid? 


Kalau yang dimaksud adalah perkara persiapan menghadapi AN, maka jawabannya adalah: tidak ada. Peserta AN akan dipilih secara acak, dan hasilnya tidak punya konsekuensi pada mereka yang menjadi peserta. 


Dengan demikian, murid tidak perlu melakukan persiapan khusus untuk menghadapi AN. Murid kelas 6, 9, dan 12 cukup konsentrasi menghadapi ujian sekolah sebagai penentu kelulusan, serta ujian lain yang menjadi bagian seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. 


Orangtua juga tidak perlu melakukan apapun terkait AN. Sama sekali tidak perlu meminta anak mengikuti bimbingan belajar AKM yang mulai gencar diiklankan. 


Bagaimana dengan guru dan kepala sekolah?  


Untuk 2021, tidak ada yang perlu dirisaukan oleh guru dan kepala sekolah. Mendikbud telah menyatakan bahwa hasil AN 2021 dimaksudkan sebagai peta awal atau baseline mutu sistem pendidikan secara nasional. AN 2021 tidak dipakai untuk mengevaluasi kinerja sekolah maupun daerah. 


Namun dalam jangka panjang, AN secara implisit menuntut guru untuk memperbaiki kualitas pengajarannya. Fokus pada daya nalar dalam bentuk literasi dan numerasi adalah cara Kemendikbud untuk mendorong guru mengubah caranya mengajar. 


Untuk mengembangkan literasi, guru perlu sering mendorong murid membaca secara luas. Bukan hanya membaca buku teks. Guru juga perlu mengajar murid berdiskusi dan mengevaluasi informasi yang dibaca, tidak sekadar meringkas dan mengulang kembali. 


Untuk numerasi, guru perlu memastikan murid memiliki intuisi angka (number sense) dan pemahaman aritmatika dasar sejak dini. Guru juga perlu memandu murid memecahkan masalah yang kompleks. Masalah yang menuntut diskusi dan penalaran, tidak bisa dipecahkan dengan menghafal rumus.

Perubahan kebijakan dan respon publik

Dari kacamata Kemendikbud, perubahan sistem evaluasi adalah upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan secara menyeluruh. Kemendikbud tampaknya menyadari bahwa evaluasi tak boleh berhenti pada judgement. Evaluasi harus membawa perubahan positif pada praktik pengajaran. 


Namun dari kacamata para pelaku di sekolah, perubahan kebijakan ini menimbulkan kecemasan. Hal ini sangat beralasan, mengingat berbagai perubahan kebijakan di masa lampau yang seringkali bukan menjadi angin segar, namun justru menimbulkan trauma. 


Dalam konteks itu, wajar jika banyak pihak yang skeptis dengan AN. Ada guru yang bahkan mencibir: ganti huruf U menjadi A saja kok dibuat heboh? Membangun ruang dialog publik tentang perubahan kebijakan pendidikan adalah sebuah PR bersama pemangku kepentingan dunia pendidikan. 


Tulisan ini adalah kontribusi kecil dalam upaya tersebut. Semoga sedikit membantu pembaca memahami rationale yang melandasi perubahan UN menjadi AN, sekaligus mengurangi kecemasan para murid, guru, dan kepala sekolah dalam menjalani perubahan tersebut.


Catatan: Penjelasan resmi dan contoh soal Asesmen Nasional (komponen AKM) bisa dilihat di laman Pusat Asesmen dan Pembelajaran, Balitbang dan Perbukuan sebagai berikut: https://pusmenjar.kemdikbud.go.id/AKM/ 











Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...