Oleh: Anindito Aditomo
Perlukah sekolah dibuka, sementara pendemi belum juga reda? Banyak pengamat dan orangtua yang menolak. Alasan utama - yang amat masuk akal - adalah risiko penularan virus. Sebagai orangtua, saya tentu memahami pertimbangan ini. Jika sekolah akan dibuka dan menerima murid secara fisik, harus dipastikan bahwa ada persiapan yang matang untuk meminimalkan risiko penularan Covid di sekolah.Di sisi lain, saya khawatir bahwa suara para pengamat dan orangtua seperti saya ini bias kelas. Permintaan menutup atau menunda pembukaan sekolah adalah suara kelas menengah atas. Suara orangtua yang mampu menyediakan fasilitas memadai untuk bersekolah dan belajar dari berbagai sumber lain, tanpa meninggalkan kenyamanan rumah kita masing-masing.
Sayangnya, meski menghadapi badai yang sama, kita mengarunginya dengan bahtera yang berbeda-beda. Dalam hal pendidikan, tidak semua anak memiliki kemewahan untuk belajar dari rumah. Bagi banyak anak, sekolah adalah satu-satunya tempat untuk belajar.
Tapi bukankah mutu sekolah kita buruk? Betul bahwa mutu instruksional di kebanyakan sekolah kita buruk, bahkan amat buruk jika dibandingkan sebagian besar negara lain. Sudah banyak sekali studi yang menunjukkan hal itu. Jika demikian, apa gunanya membuka sekolah? Toh tidak banyak yang bisa didapat murid dari sekolah.
Ini tidak keliru. Namun dalam konteks apakah sekolah sebaiknya dibuka atau tidak, perbandingan yang lebih tepat adalah antara kualitas instruksional di sekolah vs di rumah. Tentu jawabannya akan berbeda untuk tiap anak, karena kondisi rumah dan keluarga yang berbeda. Bukti empiris menunjukkan bahwa kualitas instruksional di sekolah masih lebih baik daripada di rumah, terutama bagi siswa miskin. Dan terutama bagi siswa miskin pada masa usia sekolah dasar.
Dengan kata lain, penutupan sekolah jauh lebih merugikan bagi siswa dari keluarga miskin dibanding rekan-rekannya yang lebih kaya. Menunda pembukaan sekolah justru akan melebarkan kesenjangan pendidikan.
No comments:
Post a Comment