Oleh: Anindito Aditomo
Praktik pengajaran seperti apa yang perlu diukur secara nasional dan dipromosikan oleh pengambil kebijakan pendidikan? Tentu praktik-praktik yang terbukti efektif membantu murid belajar. Tapi praktik seperti apa saja itu, persisnya?
Untuk membantu menjawab pertanyaan ini, semalam saya mempelajari lagi karya-karya John Hattie. Orang New Zealand yang sekarang menjadi profesor di Melbourne University ini tentu bukan nama yang asing bagi pemerhati pendidikan. Ia tergolong sebagai superstar di kalangan peneliti pendidikan.
Sebenarnya, studi-studi empiris Hattie sendiri tidak terlalu istimewa. Namun ia adalah seorang synthesiser dan komunikator par excellence. Ia dengan tekun dan sistematis mengumpulkan bukti-bukti empiris terbaik mengenai dampak dari berbagai faktor terhadap hasil belajar murid. Hasilnya tersebut kemudian ditampilkan dengan metafora yang simpel dan visualisasi yang cantik sehingga mudah dimengerti.
Hattie pertama kali menuangkan hasil sintesisnya secara komprehensif dalam buku Visible Learning. Terbit tahun 2008, buku itu segera menjadi karya yang berpengaruh luas. Dalam buku tersebut, Hattie menampilkan rangking berbagai faktor - termasuk beragam metode dan kebijakan pembelajaran - berdasarkan dampaknya pada hasil belajar murid.
Sebagai contoh, pemberian umpan balik, reciprocal teaching, and diskusi kelas adalah metode dan praktik yang berdampak besar dan karena itu rangkingnya tinggi dalam daftar Hattie. Cooperative learning, pemberian PR (homework), dan lingkungan rumah (keluarga) adalah faktor-faktor yang dampaknya tergolong moderat. Sedangkan individualised instruction, mengurangi jumlah siswa per kelas, dan mencocokkan gaya belajar hanya berdampak kecil, bahkan tidak signifikan, pada hasil belajar.
Sayangnya, banyak pembaca karya Hattie yang terpaku pada rangking ini. Fokus pada rangking ini tidak produktif karena banyak faktor dalam rangking Hattie merupakan kategori yang maknanya luas. Diskusi kelas dan PR, misalnya, bisa diterapkan dalam berbagai bentuk. Efektivitas diskusi kelas dan PR bisa jadi sangat berbeda tergantung pada bentuk spesifik, cara menerapkan, dan konteks penerapannya (pada siapa, di sekolah mana, dst.).
Selain itu, sebagian besar studi yang menjadi dasar rangking Hattie mengukur hasil belajar dengan skor tes prestasi. Meski penting, tes prestasi tidak mencerminkan hasil belajar afektif seperti motivasi intrinsik dan metakognisi yang justru amat menentukan apakah murid akan menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Hattie sendiri sangat menyadari keterbatasan dari rangking yang ia buat. Kemanfaatan sintesis Hattie bukanlah untuk mengidentifikasi dan mempromosikan metode, praktik, atau intervensi pendidikan tertentu. Kemanfaatan utamanya ada pada pesan yang tercermin pada judul buku Hattie, Visible Learning: karena dampak dari pengajaran itu bisa sangat beragam (ada yang efektif dan ada yang tidak), guru harus selalu berupaya mengevaluasi pengajaran yang ia terapkan.
Ini berarti guru perlu mengubah cara pandangnya terhadap asesmen. Guru perlu melihat asesmen hasil belajar siswa bukan sebagai evaluasi terhadap murid, melainkan evaluasi terhadap diri dan kualitas pengajarannya! Pentingnya refleksi inilah yang sebenarnya menjadi pesan utama Hattie. Proses dan hasil belajar harus dibuat kasat mata agar guru dapat berefleksi dan terus memperbaiki pengajarannya.
Belakangan, Hattie menjadikan pesan ini sebagai fokus dari tulisannya. Bagi pendidik atau pengambil kebijakan yang ingin belajar dari Hattie, saya sarankan untuk memulai dari buku "Visible Learning for Teachers". Akan terlihat jelas bahwa yang diadvokasi Hattie bukanlah metode atau intervensi tertentu, melainkan fokus pada evaluasi reflektif tentang dampak pengajaran dan kebijakan pada hasil belajar.
Kembali pada pertanyaan yang mendorong saya membaca lagi karya-karya Hattie: praktik pengajaran seperti apa yang perlu diukur dan dipromosikan oleh pengambil kebijakan? Jawaban yang saya peroleh dari Hattie adalah bahwa fokus kebijakan sebaiknya bukan pada metode, pendekatan, atau praktik pengajaran yang spesifik. Pengajaran yang berkualitas bisa mengambil banyak bentuk. Yang perlu diukur dan dipromosikan adalah kemauan dan kemampuan guru melakukan refleksi berdasarkan bukti empiris tentang dampak pengajaran terhadap hasil belajar murid.
Persoalannya, ada banyak "blocker" yang membuat guru jarang mau dan bisa melakukan refleksi berbasis bukti belajar. Mulai dari mindset masing-masing guru, konten kurikulum yang seluas samudra, ujian-ujian yang menekankan pada hafalan, sampai regulasi guru dan paradigma penjaminan mutu sekolah yang terlalu administratif. Ini butuh reformasi menyeluruh yang pasti menjadi semakin menantang dengan adanya pandemi Covid.
Satu hal yang memberi harapan adalah paparan tentang transformasi guru dan kepala sekolah yang dituliskan mas Iwan Syahril, Dirjen GTK kemarin di Kompas. Konsep kepemimpinan instruksional yang dipaparkan sejalan dengan pentingnya refleksi berbasis bukti hasil belajar. Implementasi visi ini yang perlu kita dukung dan kawal bersama.
No comments:
Post a Comment