Oleh: Anindito Aditomo
Pagi ini diminta menjadi narasumber FGD pendidikan karakter yang diadakan Ayu Kartika Dewi, stafsus presiden, bersama Semua Murid Semua Guru (SMSG). Mau ngomong apa lagi kalau bukan soal pentingnya penalaran dalam pendidikan karakter. Topik lawas yang sudah hampir 10 tahun saya omongkan. Semoga belum bosan
Berbicara tentang pendidikan karakter dari perspektif psikologi, satu poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa sebenarnya tidak pemisahan tegas antara karakter dan kognisi.
Dikotomi antara pendidikan karakter dan pendidikan akademik adalah dikotomi palsu. Lebih jauh lagi, ini dikotomi yang menyesatkan dan bisa menghambat reformasi pendidikan.
Mengapa demikian? Pendidikan karakter kerap diasosiasikan dengan moral dan moralitas. Pendidikan karakter dianggap berhasil peserta didik menunjukkan perilaku yang bermoral. Ini tidak keliru.
Yang keliru adalah asumsi bahwa perilaku atau tindakan bermoral ini bisa dipisahkan dari kompetensi kognitif. Justru sebaliknya: sebuah tindakan bisa dikatakan bermoral hanya jika ia dilandasi penalaran (reasoning): pemikiran yang sadar dan sistematis tentang bagaimana prinsip-prinsip moral yang abstrak bisa diterapkan dalam situasi kompleks yang melibatkan pilihan-pilihan yang biasanya ambigu.
Saya ambil beberapa contoh sederhana.
- Mengurangi penggunaan plastik hanya menjadi tindakan bermoral jika dilandasi pengetahuan tentang bagaimana pola konsumsi bisa berdampak pada ekonomi dan lingkungan. Jika dilakukan karena diharuskan sekolah, atau karena ikut-ikutan tren, maka apakah itu bisa dianggap sebagai perilaku yang bermoral? Bagi saya jawabannya tidak.
- Perilaku antri secara tertib hanya menjadi tindakan bermoral ketika dilakukan atas kesadaran bahwa memotong antrian sama saja dengan mengambil hak orang lain. Bahwa memotong antrian, pada tataran abstraksi tertentu, tak jauh beda dari mencuri: mengambil sesuatu yang menjadi hak orang lain. Jika antri sekadar karena diharuskan, karena takut dimarahi, apakah bisa dianggap perilaku bermoral? Menurut saya tidak.
Hal yang sama berlaku untuk berbagai perilaku yang kerap kita kaitkan dengan tujuan pendidikan karakter:
- Tertib berlalu lintas: berhenti ketika lampu merah, parkir hanya di lokasi yang diperbolehkan, tidak menyerobot jalur antrian, dll.
- Kejujuran di tempat kerja: tidak korupsi, menggunakan waktu kerja untuk keperluan kerja, menggunakan wewenang dan jabatan hanya untuk kepentingan profesional, bukan untuk kepentingan pribadi, dll.
Kemampuan berpikir abstrak, berpikir sistematis, dan berpikir kritis adalah bagian esensial dari perilaku moral. Bagian esensial dari apa yang biasa disebut sebagai karakter. Pendidikan karakter tidak bisa dipisahkan dari pengembangan kompetensi berpikir. Justru sebaliknya, pendidikan karakter tidak mungkin berhasil jika tidak melibatkan pengembangan penalaran.
Karena itu pendidikan karakter bisa dan seharusnya embedded dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPA, IPS, dan matematika bisa meminta siswa melakukan analisis situasi dan problem yang kompleks. Sebagian besar mata pelajaran bisa melibatkan aktivitas debat yang mengasah kemampuan melihat sebuah isu dari berbagai perspektif. Juga membiasakan siswa menerima kritik dan menumbuhkan kerendahan hati untuk mengakui kesalahan.
Sekali lagi, dikotomi antara pendidikan karakter dan pendidikan "kognitif" atau akademik adalah dikotomi yang menyesatkan. Tidak ada pengembangan karakter tanpa pengembangan kemampuan bernalar. Upaya apa pun untuk mengembangkan karakter siswa harus melibatkan pengembangan daya nalar.
No comments:
Post a Comment