Oleh: Anindito Aditomo
Anak saya sebenarnya ogah-ogahan diajak ke TPS hari Sabtu kemarin. Supaya dia lebih bersemangat, dalam perjalanan saya mengajaknya ngobrol tentang pemilu.
Anak saya sebenarnya ogah-ogahan diajak ke TPS hari Sabtu kemarin. Supaya dia lebih bersemangat, dalam perjalanan saya mengajaknya ngobrol tentang pemilu.
"Kalau kamu sudah boleh memilih presiden, mau pilih pak Jokowi atau pak Prabowo?" saya membuka obrolan.
"Siapa yang lebih bagus?" dia bertanya balik. Saya memang sudah punya pilihan. Tapi kalau pertanyaan ini saya jawab dengan alasan-alasan pilihan saya, obrolan akan segera berhenti. Saya akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui caranya berpikir, dan dia akan kehilangan kesempatan untuk berusaha merumuskan pendapatnya sendiri.
"Nah, menurutmu apa yang ingin kamu tahu tentang keduanya? Orang seperti apa yang cocok menjadi presiden?" Saya berusaha mengarahkan obrolan pada topik kriteria seorang pemimpin.
"Hmm ... let me think," katanya. Ini memang bukan pertanyaan yang mudah dijawab, dan karena itu saya memberinya waktu untuk berpikir.
"Orangnya seperti apa? Dan apa yang akan mereka lakukan kalau sudah jadi presiden?" dia balik bertanya lagi.
"Pertanyaan yang bagus itu. Yang kamu tanyakan pertama itu soal kepribadian, dan memang itu relevan untuk memilih pemimpin. Yang kedua itu soal program. Itu lebih penting lagi."
Sekarang giliran saya yang harus berpikir. Bagi saya, tantangannya dua: bagaimana memberi jawaban yang mudah dipahami anak-anak, dan jawaban yang netral agar ia tetap perlu membentuk opininya sendiri. Soal netralitas ini yang sulit, hehehe.
"Pak Prabowo itu tegas, keras. Boleh dibilang galak. Kalau pak Jokowi orangnya kalem, sabar. Kurang pinter pidato, tapi lebih disukai anak-anak," jawab saya. Tuh kan, sudah mulai nggak netral, hahaha. Tapi ternyata menurut anak saya, sifat-sifat itu bisa sama baiknya untuk seorang presiden. Ya sudah, lanjut ke soal program.
"Soal program, pak Jokowi nggak mau memberi subsidi untuk bensin. Dulu harga bensin murah karena pemerintah membelikan dulu, kemudian dijual ke masyarakat dengan harga lebih murah. Jadi pemerintah rugi. Harus keluar banyak uang. Pak Jokowi nggak mau lagi memberi subsidi. Dia lebih banyak membangun infrastruktur seperti jalan, rel kereta, bandara, pelabuhan, dan bendungan."
"Kalau pak Prabowo ingin memberi subsidi lagi, supaya semua orang bisa beli bensin lebih murah. Juga untuk listrik. Pembangunan jalan dll mungkin akan dikurangi. Mau dipilih mana saja proyek yang penting."
"Gimana, menurutmu lebih bagus programnya siapa?"
"Aku nggak tahu. Dua-duanya kok sepertinya penting. Tapi aku lebih suka yang membangun kereta dan public transport sih. Nggak papa bensin mahal kalau ke mana-mana kita bisa naik kereta," jawabnya.
"Terus, pengalaman pak Jokowi dan pak Prabowo gimana? Maksudku sebagai kayak pemimpin gitu?" tanyanya lagi.
"Oh, kalau itu gampang. Pak Jokowi pernah memimpin kota Solo dan provinsi Jakarta. Pak Prabowo belum pernah memimpin pemerintahan, tapi punya pengalaman memimpin pasukan perang," jawab saya. "Perang? Wah aku nggak suka perang," sahutnya.
Ya sudah nduk, sepertinya pilihanmu akan sama dengan bapak, hahaha. Yang lebih penting lagi, kamu mau dan bisa berpikir sebelum membuat keputusan