Media sosial memang penuh kegaduhan. Kapan lalu ribut soal drama hoaks Ratna Sarumpaet. Lalu soal gempa Palu dan pertemuan IMF. Kemarin tentang dukungan Gojek terhadap karyawan LGBT-nya. Dan karena ini tahun politik, kita akan terus disuguhi berbagai isu panas yang pasti "maknyus" dijadikan bahan keributan baru.
Apakah ini hal yang buruk? Perdebatan di medsos memang kerap menguras energi. Berita bohong, separuh bohong, dan teori-teori konspirasi tak jarang disebarkan di medsos. Dicampur dengan fakta, dibumbui narasi masuk akal, membuat kita mudah percaya. Demikian juga dengan rasisme dan ujaran kebencian, bebas diumbar. Pertengkaran di kolom komentar bisa berlanjut di lapangan atau kamar tidur
Tapi di sisi lain, kegaduhan medsos juga bisa menjadi sarana belajar yang luar biasa. Dari debat tentang penyebab gempa, kita bisa belajar tentang apa itu sesar bumi, tentang kaitan gempa dan tsunami, tentang kearifan lokal dan mengapa hal itu banyak dilupakan. Dari gaduh soal LGBT, kita bisa belajar tentang perbedaan L, G, B, dan T, tentang apa itu orientasi seksual, tentang mengapa homoseksualitas tak lagi digolongkan sebagai gangguan. Dari geger hoaks Ratna Sarumpaet, kita jadi tahu bahwa oplas itu singkatan dari operasi plastik dan biayanya enggak murah
Persoalannya memang harus diakui bahwa berbagai debat seringkali sekedar memuaskan ego dengan mengejek mereka yang pendapatnya tak kita sukai. Kalau pun belajar, maka itu belajar dalam arti menambah informasi yang menguatkan pandangan kita saja. Tidak benar-benar belajar dalam arti menjadi punya cara pandang yang berbeda dan lebih kaya tentang apa yang diperdebatkan.
Ini tidak mengherankan sebenarnya. Belajar dari guru yang memberikan pelajaran terstruktur saja kadang sulit, apalagi dari medsos yang chaotic dan barbar.
Untuk bisa benar-benar bisa belajar dari medsos, salah satu yang mutlak diperlukan adalah apa yang disebut karakter intelektual. Ini adalah sifat-sifat terkait cara menyikapi informasi dan pengetahuan. Misalnya, salah satu karakter intelektual yang penting adalah keinginan mencari dan mempertimbangkan informasi yang bertentangan dengan pendapat kita. Karakter lainnya adalah toleransi terhadap ketidakpastian dan ambiguitas. Karakter lain lagi adalah kemauan mencermati sesuatu sebelum mengambil simpulan.
Perlu tulisan panjang tersendiri untuk menjabarkan masing-masing karakter intelektual. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa karakter intelektual ini bukan sifat alami manusia. Manusia tidak terlahir dengan sifat-sifat tersebut. Kita mungkin punya bahan-bahan dasarnya, tapi jika tidak diasah dan dilatih lebih lanjut, karakter intelektual tidak akan terbentuk.
Pertanyaannya, apakah sekolah mengajarkan karakter intelektual? Apakah pelajaran sains, ilmu sosial, sejarah, bahasa, agama, dll. secara sengaja dirancang untuk membiasakan siswa menghargai opini yang berseberangan, membuat dan mengakui kesalahan, menganalisis argumen tanpa menyerang pribadi? Sepertinya jarang. Demikian juga dengan institusi sosial lain seperti keluarga dan media.
Untuk mengembangkan karakter intelektual, kita perlu perubahan paradigma. Saat ini sekolah masih menjadi tempat di mana siswa diharapkan untuk belajar menyerap apa yang dikatakan guru dan buku teks, atau bisa meniru dan melakukan apa yang diajarkan oleh sumber-sumber tersebut. Berbagai metode pengajaran dan strategi belajar dirancang untuk membuat proses tersebut lebih efektif. Tapi pada dasarnya sekolah masih menjadi sarana untuk membentuk isi pikiran alias keyakinan siswa. Selama itu tujuannya, sulit berharap siswa memiliki karakter intelektual.
Untuk mulai menumbuhkan karakter intelektual, kita perlu melihat sekolah sebagai tempat untuk melatih siswa mengevaluasi dan membentuk keyakinannya secara mandiri. Hanya dengan begitu mereka akan mampu untuk benar-benar belajar dari belantara medsos dan Internet secara lebih luas.
Ilustrasi: beberapa teknik mengenali hoaks. Karakter intelektual menjadi penentu apakah seseorang mau dan mampu menerapkan masing-masing teknik tersebut.