Tuesday, November 21, 2017

Sekolah Bukan Tempat Menimba Ilmu


“Jadi teori gaya belajar ini salah, pak?” tanya salah satu peserta mata kuliah psikologi pendidikan yang saya asuh. “Lebih tepatnya begini: klaim-klaim utama yang diajukan oleh teori tersebut tidak didukung oleh hasil penelitian,” jawab saya. “Kalau begitu, mengapa teori itu diajarkan di kuliah?” mahasiswa tersebut melanjutkan. “Lho, mengapa tidak boleh menjadi bahan kuliah?” saya balik bertanya. “Begini pak. Kuliah kan seharusnya menyampaikan yang benar, kok pak Nino malah membahas teori yang salah? Bingung saya pak,” katanya dengan nada menggugat.

Memang, meski populer, teori gaya belajar tidak memiliki landasan ilmiah kuat. Dan justru itulah yang menjadi fokus kuliah tersebut: mengevaluasi kuat lemahnya landasan ilmiah sebuah teori yang populer di kalangan pendidik maupun orang awam. Kuliah saya awali dengan menyampaikan klaim sentral teori gaya belajar, yakni bahwa proses belajar akan lebih efektif jika materi disampaikan sesuai dengan gaya belajar tiap siswa. Saya menanyakan apakah mereka percaya pada klaim tersebut. Mahasiswa kemudian saya ajak merefleksikan pengalaman belajar mereka sendiri. Saya juga membuat simulasi kecil dan merangkumkan hasil-hasil penelitian tentang gaya belajar. Di akhir pertemuan, saya menanyakan lagi apakah mereka percaya klaim teori gaya belajar.

Nah, kembali ke protes salah satu mahasiswa saya tadi. Pernyataannya bahwa “kuliah seharusnya menyampaikan hal yang benar” mencerminkan cara pandang yang dimiliki banyak orang, yakni belajar/kuliah sebagai menimba ilmu. Dalam cara pandang ini, tujuan utama belajar adalah mengumpulkan pengetahuan yang sahih.

Dosen dan buku-buku teks menjadi sumbernya, dan ruang kelas tempat untuk menerima kebenaran itu. Siswa/mahasiswa yang “baik” adalah mereka yang memperhatikan dan mencatat, sambil sesekali bertanya untuk mengklarifikasi atau memperdalam pemahaman tentang materi yang disampaikan dosen. Asumsi-asumsi epistemologis inilah yang ada di balik protes mahasiswa saya tadi. Dari perspektif “menimba ilmu”, menghabiskan 3 jam kuliah untuk membahas sebuah teori yang “salah” memang terasa aneh.

Sekarang mari kita coba gunakan kacamata epistemologis yang berbeda. Kita sebut saja sebagai perspektif “belajar untuk berpikir”. Dalam perspektif alternatif ini, tujuan belajar bukan sekedar menimba pengetahuan dari sumber yang kita percayai. Tujuan utamanya adalah mengasah kemampuan berpikir, alias memaknai informasi dan merumuskan simpulan yang berlandaskan alasan rasional. Istilah filosofisnya, belajar untuk memiliki justified beliefs, keyakinan yang beralasan. Keyakinan tersebut bisa jadi keliru. Yang penting, keyakinan tersebut bukan hasil ikut-ikutan atau copy-paste semata.

Dari kacamata epistemologis “belajar untuk berpikir”, pengetahuan yang dibahas di kelas boleh saja, dan bahkan perlu, untuk dipertanyakan. Siswa perlu sering diajak melihat pengetahuan bukan sebagai kebenaran, tapi sebagai sebagai keyakinan yang dianggap benar pada saat ini karena memiliki landasan yang kokoh. Itulah yang saya coba lakukan dalam kuliah mengenai teori gaya belajar dan menuai protes dari mahasiswa.

Protes tersebut sebenarnya wajar dan menggembirakan. Hal itu menandakan bahwa si mahasiswa mulai menyadari asumsi-asumsi epistemologis yang melandasi sebagian besar pengalaman belajarnya selama ini. Dan sebagaimana perubahan pada umumnya, pergantian perspektif epistemologis ini membuat orang tidak nyaman. Mahasiswa yang terbiasa menimba ilmu, sekarang harus belajar menggali sumur pengetahuannya sendiri.

Tapi apa alternatifnya? Di era Google dan media sosial, keluasan pengetahuan menjadi kalah penting dibanding kemampuan membedakan antara pengetahuan yang sahih, opini tak berdasar, dan berita palsu. Mereka yang terbiasa hanya menimba ilmu tanpa belajar merumuskan keyakinannya sendiri akan tenggelam dalam banjir informasi. Nah, bagi kita yang pendidik, seberapa sering kita membantu siswa untuk merumuskan keyakinan mereka sendiri? 
(Anindito Aditomo, 2017)

No comments:

Post a Comment