Oleh: Anindito Aditomo
"Maksudmu gimana?" saya tanya balik sambil berusaha memahami apa yang ada di benaknya. Entah mengapa, ia sedang galau memikirkan kematian. "Mati kan menakutkan. Setelah itu kita nggak bisa hidup lagi." Betul, saya jawab.
"Kita ada di mana setelah mati?" Saya jawab bahwa kalau menurut ilmu biologi, kematian adalah akhir kehidupan. Tidak ada kelanjutannya. Tapi justru karena sudah mati, kita tidak bisa merasakan apa-apa. Tidak takut, tidak khawatir soal apa-apa lagi.
"Enggak masuk surga?" kejarnya lagi. Saya jawab bahwa menurut keyakinan agama Islam, ruh orang-orang yang baik akan masuk surga setelah mati.
"Di surga ada sungai susu ya? Tapi kalau ruh, apa masih bisa minum? Dan kalau nggak suka susu gimana?" Saya jawab bahwa itu mefatora. Intinya, surga adalah tempat yang menentramkan dan menyenangkan.
"Apa nggak bisa kembali hidup setelah mati? Jadi binatang atau orang lain?" Saya jawab, itu yang terjadi menurut keyakinan sebagian agama Budha. Rupanya konsep reinkarnasi - kemungkinan untuk hidup kembali di dunia yang ia ketahui bentuknya ini - lebih menarik baginya. Tapi saya katakan bahwa tapi saya nggak tahu banyak tentang ajaran itu.
"Jadi yang benar yang mana? Apa yang terjadi setelah kita mati?" Saya bilang, kita nggak bisa tahu pasti apa yang akan terjadi setelah mati. Tapi yang lebih penting adalah apa yang kita lakukan ketika masih hidup. Memikirkan bagaimana supaya hidup kita bahagia dan membuat orang lain bahagia.
Untunglah, jawaban itu membuat anakku berhenti bertanya. Sambil mulai makan, saya mikir kalau jawaban itu sepertinya lebih pantas menjadi nasehat untukku sendiri, hahaha.