Oleh: Anindito Aditomo
Kemarin malam saya mengajar dasar-dasar metode penelitian kuantitatif menggunakan materi tentang psikologi moral. Biasanya, minggu-minggu awal kuliah metode penelitian saya isi dengan mempresentasikan definisi konsep-konsep dasar seperti penyimpulan induktif vs deduktif dan paradigma penelitian sosial. Tentu saya juga memberi contoh-contoh spesifik. Namun dalam pendekatan mengajar yang biasanya, contoh-contoh spesifik tersebut berperan sebagai ilustrasi saja.
Lakon utama dalam alur perkuliahan tetap konsep-konsep abstrak terkait metode penelitian. Kuliah disetir oleh kebutuhan “menuntaskan” materi.
Kuliah kemarin agak berbeda. Saya mencoba membalik peran dan porsi contoh vs. konsep abstrak. Lakon utama dalam alur cerita perkuliahan kemarin bukan lagi konsep-konsep tentang metode penelitian, melainkan upaya ilmuwan psikologi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang moralitas. Saya hanya menggunakan 5 slide yang semuanya terkait studi-studi spesifik tentang moralitas. Tak satu slide pun berbicara tentang definisi atau pengertian konsep abstrak tentang metode penelitian.
Kuliah saya buka dengan mengajukan pertanyaan, “Dari manakah asal-usul moralitas?” Jawaban mahasiswa saya petakan pada dua pandangan populer, yakni empirisisme dan nativisme. Menurut pandangan pertama, moralitas individu berasal dari masyarakat (yang menjelaskan mengapa ada variasi antar budaya). Menurut yang kedua, manusia sudah memiliki moralitas sejak lahir. Lantas bagaimana kita bisa mengecek pandangan mana yang lebih benar? Di sinilah materi tentang metode penelitian mulai relevan. Kuliah berlanjut dengan membedah tiga gelombang penelitian tentang asal-usul moralitas, mulai dari Kohlberg, Turiel, dan Haidt.
Di sela-sela diskusi tentang studi-studi spesifik, saya ajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mahasiswa berpikir tentang metodologi secara lebih abstrak. Misalnya, setelah memaparkan riset Kohlberg dengan cerita-cerita dilema moralnya, saya menanyakan apakah studi tersebut menggunakan logika deduktif atau induktif. Saya minta mahasiswa mencoba mengidentifikasi jenis-jenis variabel dan metode pengambilan data yang diteliti oleh Kohlberg, serta memikirkan apakah studi tersebut lebih cocok disebut survei atau eksperimen. Proses ini saya ulang untuk setiap penelitian yang dibahas.
Seberapa berhasilkah percobaan saya? Dari proses kemarin, rasanya pendekatan baru ini cukup menjanjikan. Semua mahasiswa menanggapi pertanyaan dengan menawarkan pandangan mereka. Untuk tiap pertanyaan, selalu ada perbedaan pendapat di antara peserta kuliah, masing-masing dengan sokongan alasan yang logis. Simpulan-simpulan yang saya ajukan juga tidak selalu langsung dipercaya oleh peserta kuliah – tanda bahwa mereka berpikir kritis.
Tentu sulit bagi saya untuk mengklaim bahwa semua peserta kuliah sudah menguasai materi. Tapi yang jelas, ketika kuliah saya akhiri beberapa mahasiswa spontan menyeletuk “Lho waktunya sudah habis? Kok nggak terasa?” Respon-respon menyenangkan yang sayangnya masih jarang saya dapat dari peserta kuliah
Catatan sebelumnya tentang asal-usul moralitas: https://www.facebook.com/notes/nino-aditomo/asal-usul-moralitas/1684346738266731/
No comments:
Post a Comment