Penggambaran ini mengingatkan
saya pada penelitian-penelitian Mark Cuban tentang reformasi pendidikan di
Amerika. Kalau tak salah ingat, Cuban menggambarkan temuan penelitiannya
melalui sebuah anekdotnya tentang orang abad 19 yang dihadirkan di zaman ini
menggunakan mesin waktu. Orang itu terheran-heran melihat cara orang berbicara
dan berpakaian, kendaraan yang ada di jalan, bentuk rumah tempat tinggal dan gedung-gedung
kantor. Segalanya begitu berbeda dari 100 tahun silam. Namun ada satu tempat
yang segera ia kenali: ruang kelas! Ruang dengan deretan bangku menghadap
sebuah papan besar. Ya, dalam kurun waktu satu abad, segala sesuatu berubah
begitu pesat, kecuali pendidikan formal. Bagaimana mungkin sebuah institusi
yang demikian kolot bisa mendidik pemenang di zaman yang menuntut daya
adaptasi, fleksibilitas, dan kemampuan untuk terus belajar?
Buku “Mendidik
Pemenang Bukan Pecundang” ini sarat dengan refleksi kritis para penulisnya
sebagai guru, sebagai pendidik. Kritik mereka menunjukkan bahwa sistem
pendidikan kita ibarat sang kaisar pandir yang mengira dirinya mengenakan
pakaian terbaik, padahal sebenarnya telanjang. Dalam sistem pendidikan kita, “pakaian”
abal-abal tersebut hadir dalam bentuk nilai UN, persentase kelulusan, melek
huruf universal, status akreditasi sekolah, sertifikat ISO, dan meja-meja
display yang penuh piala. Hal-hal yang membuat kita percaya bahwa sekolah kita
dalam keadaan baik-baik saja. Padahal, berapa banyak siswa yang mendapat nilai
tinggi dalam UN secara jujur? Berapa orang melek huruf yang gemar membaca?
Persoalan kaisar yang diarak telanjang ini bisa disebut sebagai gelaja formalisme:
kecanduan formalitas, lupa akan substansi.
Sumber: http://phdinhistory.blogspot.co.id/2011_06_01_archive.html |
Kedua penulis buku
ini sangat menyadari bahwa ada begitu banyak yang bisa dan layak digugat dari
pendidikan kita. Namun yang saya suka adalah optimisme keduanya, optimisme yang
menyeruak melalui kisah-kisah menggugah yang mereka selipkan dalam tiap bab
buku ini. Sebagian kisah ini berasal dari praktik mereka sendiri sebagai guru.
Sebagian lagi dari pengamatan langsung mereka, dari cerita orang lain dan buku-buku
yang mereka baca. Keragaman kisah yang diceritakan kembali oleh bu Dhitta Puti
dan pak Sumardianta mencerminkan keterbukaan hati dan pikiran. Kerendahan hati
sekaligus kejelian untuk belajar dari siapa pun, kapan pun.
Maka di buku ini kita
akan temukan kisah perempuan di sebuah restoran cepat saji di Jerman yang memanusiakan
gelandangan yang dekil. Atau supir taksi di Amerika yang berhenti mengeluhkan
nasib dan menjadi “elang” dengan memberi layanan premium pada setiap
penumpangnya. Atau dosen fakultas pendidikan di Jakarta yang menuturkan bahwa
“perpustakaan”, “laboratorium”, dan “relasi” sebagai jantung setiap sekolah.
Atau gadis muda di Bandung yang membuktikan bahwa IQ rendah bukanlah hambatan
untuk berhasil sebagai wirausahawan. Atau sensi dari Jepang yang mengajar
bahasa Inggris dengan cara mengajak muridnya memasak. Juga sosok-sosok besar
dalam sejarah dunia seperti Nelson Mandela, Gandi, Steve Jobs, Tan Malaka.
Salah satu kisah favorit
saya di buku ini adalah cara pak Sumardianta mengajar tema patriotisme di
pelajaran kewarganegaraan. Alih-alih sekedar menyampaikan materi yang ada di
buku teks, ia terlebih dahulu menggali pendapat muridnya tentang pahlawan.
Siapakah pahlawan dalam kehidupan mereka? Ternyata, sebagian besar merasa bahwa
ayah dan ibu mereka adalah pahlawan. Pak Sumardianta memutuskan untuk menjadikan
“orangtua” sebagai tema pemelajaran. Sebagai tugas, para murid diminta membuat
video testimoni tentang heroisme orangtua mereka.
Kisah lain yang
mengesankan bagi saya adalah bagaimana bu Dhitta Puti menggunakan sms untuk
mengajar bahasa Inggris. Setiap beberapa hari, Bu Puti menuliskan sesuatu yang
menarik dalam bahasa Inggris untuk dikirim ke murid-muridnya. Saya bayangkan
sebagian muridnya adalah membalas sms tersebut dan berlatih berdialog dalam
bahasa Inggris. Bila bingung hendak menulis apa, bu Dhitta Puti mencari
inspirasi dari bacaan atau apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Ketika
Jakarta dilanda hujan badai, ia menelusuri internet untuk belajar tentang
petir, kemudian merangkumkan hasil belajar tersebut dalam bentuk sms kepada
murid-muridnya.
Dari kisah-kisah
ini, saya menyimpulkan bahwa setidaknya ada tiga hal kunci dari proses menjadi
guru yang hebat. Yang pertama adalah kemauan dan kemampuan untuk berkaca.
Merefleksikan pengalaman, mengambil hikmah dari kegagalan maupun keberhasilan,
baik yang dialami sendiri maupun orang lain. Yang kedua adalah ketulusan dalam
berpihak pada murid. Ketulusan inilah yang menggerakkan seorang guru untuk mau
mengambil risiko dengan tidak taklid buta pada kurikulum dan buku teks.
Ketulusan inilah yang membuat seseorang mau meluangkan energy dan waktu untuk
mengirim sms agar murid-muridnya bersemangat belajar.
Hal ketiga adalah
kecintaan pada pengetahuan. Tema ini diangkat dalam bab-bab terakhir buku melalui
label “kasmaran belajar”, sebuah istilah yang pertama saya kenal dari profesor
matematika ITB pak Iwan Pranoto. Berkaca pada kisah dan refleksi-refleksi di
buku ini, saya semakin yakin bahwa syarat utama dari keberhasilan guru
menumbuhkan kasmaran belajar pada muridnya adalah dengan terlebih dahulu menjadi
pecinta pengetahuan: menjadi orang-orang yang ingin menjadi lebih tahu tentang
murid-muridnya, tentang cara mengajar yang lebih baik, dan tentu tentang ilmu
yang diajarkan.
Sayang seribu
sayang, guru-guru seperti pak Sumardianta dan bu Dhitta Puti adalah anomali.
Mereka menjadi hebat bukan karena perencanaan, tapi karena kebetulan. Saya
bukan hendak mengatakan bahwa tidak ada guru yang hebat di tempat lain. Saya
yakin ada, dan mungkin ada di setiap sekolah. Pertanyaannya adalah, bagaimana
cara mereplikasi, melipatgandakan guru seperti kedua penulis ini, agar yang
seperti mereka menjadi mayoritas, menjadi norma, bukan lagi anomali.
No comments:
Post a Comment