Pendaratan di Bandara Ahmad Yani, Semarang, kemarin pagi terasa mulus. Di area kedatangan yang kemeruyuk, bu Ika Zenita bergegas menyapa dan menunjukkan arah ke mobil penjemput. Syukurlah, meski penerbangan sempat tertunda satu jam di Bandara Juanda, kami sampai di kampus Psikologi Universitas Diponegoro beberapa menit menjelang jam 10. Masih sempat beramah-tamah dengan dekan dan rehat sejenak sebelum mulai memfasilitasi lokakarya penulisan artikel jurnal rekan-rekan dosen di sini.
Pada sesi pertama, saya diminta memandu peserta untuk memilih jurnal internasional. Ya, urusan memilih jurnal yang cocok sebagai wahana publikasi ini ternyata tidak sederhana. Yang membuatnya pelik bukan hanya pilihan yang semakin banyak, tapi juga adanya jurnal-jurnal “predator” yang semakin pintar menipu para akademisi yang (dibuat) haus publikasi internasional.
Jurnal predator adalah jurnal abal-abal yang menerbitkan artikel untuk
siapa pun yang mau membayar. Tiap jurnal predator membandrol biaya penerbitan
yang bervariasi, tapi kebanyakan berkisar $100 sampai $300. Jurnal predator
pada umumnya tidak melakukan peer review. Kalau pun ada, peer review dilakukan
sekedar sebagai formalitas. Inilah yang membuat jurnal predator bisa
mempublikasikan artikel dalam hitungan hari atau minggu.
Dengan proses seperti itu, mudah dibayangkan bahwa artikel yang ada di jurnal-jurnal predator biasanya berkualitas rendah. Tentu tidak semua buruk, tapi umumnya demikian. Akibatnya, artikel-artikel dalam jurnal predator biasanya tidak dibaca, apalagi dipercaya dan dikutip, oleh peneliti yang serius. Kalau pun ada artikel bagus yang terperosok perangkap jurnal predator, kecil kemungkinan artikel tersebut dibaca dan dikutip oleh peneliti yang serius.
Pada intinya, dalam praktik seperti ini, publikasi ilmiah terjatuh
menjadi transaksi bisnis semata. Tidak ada diskusi, debat, argumentasi. Tidak
ada kritisisme dan dialog keilmuan antar sejawat akademisi. Tidak ada akumulasi
pengetahuan yang sistematis. Publikasi menjadi tercerai dari pengembangan
keilmuan.
Mengapa ada yang mau membayar jutaan rupiah untuk menerbitkan artikel
di jurnal abal-abal? Sayangnya ini pertanyaan yang salah. Bukan hanya “ada”,
tapi banyak sekali yang mau! Menurut saya, akar masalahnya ada pada kebijakan
makro pendidikan tinggi di negara-negara yang sebelumnya tidak memiliki tradisi
penelitian ilmiah. Para pengelola jurnal abal-abal itu sebenarnya hanya
memanfaatkan situasi yang diciptakan oleh pengambil kebijakan. Boleh dibilang
bahwa mereka adalah enterpreneur pengetahuan (yang, sayangnya, tak peduli
etika).
Lho kok bisa begitu? Kok malah menyalahkan pemerintah? Begini
ceritanya. Beberapa tahun terakhir, pemerintah negara-negara fakir ilmu getol mendorong
akademisinya untuk menerbitkan artikel di jurnal internasional. Indonesia,
misalnya, sekarang mensyaratkan dosen untuk publikasi internasional untuk
kenaikan ke jenjang guru besar. Jumlah publikasi internasional menjadi kriteria
penting akreditasi program studi dan institusi. Alhasil, angka itu pun menjadi
indikator kinerja di banyak universitas, baik negeri dan maupun swasta. Dosen
maupun institusi yang berhasil akan mendapat meraup untung besar, karena negara
menyediakan hadiah finansial untuk tiap judul publikasi.
Tuntutan publikasi internasional ini sekilas bagus. Bukankah dosen
memang harus publikasi internasional? Pada level individual, memang benar demikian.
Tapi pada level yang lebih makro, dampak kebijakan ini harus ditakar dalam
konteks kapasitas dan tradisi keilmuan yang ada. Berapa persen dosen di
Indonesia yang punya keterampilan dan pengalaman publikasi tingkat
internasional? Dari sekian yang mampu, berapa yang punya waktu untuk menulis
dengan serius? Lebih mendasar lagi, berapa persen yang sedang atau telah
melakukan penelitian yang memang menghasilkan temuan cukup berharga untuk
dipublikasikan di tingkat internasional?
Dugaan saya, tidak banyak. Bagi sebagian besar dari puluhan ribu dosen
di Indonesia, publikasi internasional adalah hal yang asing. Ketika mereka
dipaksa bersegera menulis artikel dan mempublikasikannya di level
internasional, terciptalah pasar yang kemudian dimanfaatkan oleh jurnal-jurnal
predator yang menawarkan solusi cepat.
Pemerintah sebenarnya juga menyadari imbas negatif ini. Salah satu
mitigasinya adalah dengan hanya mengakui jurnal yang terdaftar dalam indeks
semacam SCOPUS (buatan Elsevier) atau Web of Science (buatan Thomson Reuters).
Indeks mereka menjadi semacam daftar putih, white list, yang dijadikan penjamin
mutu publikasi. Sayangnya, tak semua jurnal predator berhasil disaring oleh
para pembuat indeks jurnal.
Proporsi artikel di jurnal predator dalam database SCOPUS (Sterligov & Savina, 2016, hal. 11) |
Penelitian Sterligov dan Savina, misalnya, menemukan lebih dari 500
jurnal abal-abal dalam daftar SCOPUS. Kedua peneliti ini menghitung jumlah
artikel yang terbit di jurnal-jurnal predator tersebut. Temuannya seharusnya
menyakitkan bagi akademisi di Indonesia. Hampir seperempat dari seluruh artikel
asal Indonesia yang ada di database SCOPUS ternyata terbit di jurnal abal-abal.
Dalam hal ini, kita adalah juara dunia!
Jadi, dosen dan pemerintah tidak bisa sekedar mengandalkan SCOPUS dan
layanan serupa. Atau, lebih mendasar lagi, urusan publikasi seharusnya menjadi
bagian organik dari kerja keilmuan. Yang perlu dilakukan pembuat kebijakan
adalah membantu menciptakan iklim akademik yang memungkinkan kerja keilmuan.
Hadiah dan hukuman terkait penerbitkan artikel jurnal hanya sebagian kecil (dan
mungkin bagian yang kurang penting) dari upaya semacam itu.
Referensi: Sterligov
& Savina (2016) Riding with the metric tide: Predatory journals in SCOPUS.
Higher Education in Russia and Beyond. https://herb.hse.ru/data/2016/03/02/1125175286/3.pdf
No comments:
Post a Comment