Enam hari terakhir sungguh mengasyikkan. Atas sponsor beberapa lembaga, saya bersama peserta dari belasan negara mengikuti sebuah lokakarya tentang citizen-led assessment (CLA) yang diadakan ASER Centre, serta tentang beberapa program pembelajaran berbasis komunitas oleh Pratham Institute (induk organisasi ASER). Soal CLA sendiri akan kapan-kapan akan saya tulis tersendiri; untuk sementara, sila tengok website asercentre.org.
Lokakarya
diadakan luar di Aurangabad, sebuah kota di tengah-tengah negara bagian
Maharasta, India. Aurangabad dipilih karena kedekatannya dengan banyak
desa yang menjadi lokasi berbagai program pembelajaran berbasis
komunitasnya Pratham. Kunjungan lapangan ke desa-desa tersebut menjadi
bagian penting lokakarya. Kami bisa melihat dan merasakan penerapan
konsep pembelajaran dalam konteks nyatanya.
Kunjungan lapangan ini juga cukup menguras tenaga. Perjalanan dari lokasi lokakarya dan antar desa sekitar 30 menit sampai 1 jam. Selain itu, terik matahari dan suhu yang mendekati 40 derajat Celcius juga menantang stamina. Saya menjadi semakin hormat pada relawan dan pegawai Pratham/ASER yang melangsungkan kegiatan mereka dalam kondisi seperti ini.
Perjalanan pulang dimulai dini hari dari hotel ke bandara Aurangabad, menuju Mumbai, kemudian Singapura, dan terakhir Surabaya. Dan sesampai di Surabaya, menjelang tengah malam kemarin saya langsung "menikmati" kemewahan yang sulit didapat di desa-desa serba berkekurangan yang saya kunjugi selama lokakarya: layanan medis! Saya memang sudah merasa kurang sehat sejak hari terakhir di India. Penyakit yang menjadi “kawan lama” saya tampaknya sedang bertamu.
Setelah meletakkan kopor dan kangen-kangenan sebentar dengan yang di rumah, saya segera memesan taksi ke rumah sakit. Dokter jaga di IGD langsung memberi pertolongan pertama yang standar dan efektif, dan dada pun berangsur terasa lebih longgar. Wuih, betapa nikmatnya bisa menyerap oksigen dengan leluasa!
Seiring kembalinya daya pikir, saya melanjutkan membaca buku “The Gene, an Intimate History” (dan tentu saja mengambil swafoto untuk pencitraan, eh, dokumentasi!). Karya seorang dokter dan ahli genetika medis ini sudah ada dalam tas saya selama beberapa minggu, tapi belum juga selesai. Penulisnya, Siddhartha Mukherjee, adalah seorang keturunan India dan menjadi profesor di Columbia University, Amerika.
Hereditas merupakan merupakan topik yang intim bagi Mukherjee. Teori genetika memungkinkannya menjawab mengapa gangguan kejiwaan menjadi kutukan yang menghinggapi keluarganya dari generasi ke generasi. Membaca beberapa bab awal, jelas terasa bahwa ini buku yang bergizi tinggi. Ibarat makanan, buku ini lebih mirip sayur urap yang sehat namun mengharuskan kita mengunyah dengan seksama, ketimbang mi instan atau sereal penuh gula.
Ketertarikan saya sendiri pada buku ini lebih pada uraian historisnya, tentang bagaimana pemikiran tentang hereditas berkembang dan berubah dari teori-teori kuno pemikir Yunani, sampai menjadi teori genetika modern yang menjadi landasan teknologi modern seperti terapi gen dan kloning. Sejarah pemikiran semacam ini seharusnya menjadi sumber inspirasi yang kaya bagi guru-guru sains. Ada dua keuntungan besar pemelajaran sains yang diperkaya dengan sudut pandang sejarah. Yang pertama adalah tumbuhnya kesadaran bahwa teori-teori yang tertulis di buku teks merupakan hasil proses yang panjang. Teori ilmiah bukan barang statis, melainkan rumusan yang bergeser seiring perkembangan bukti dan pemikiran para ilmuwan.
Kedua, pemelajaran yang bersumber pada sejarah sains dapat menjadi kesempatan untuk melihat sisi manusiawi dari sains. Pengetahuan ilmiah dirumuskan oleh manusia yang juga memiliki keinginan, kepentingan, niat, berbagai keterbatasan, dan karena itu bias pribadi. Namun di atas semua itu, sains bisa terus maju karena komitmen manusia-manusia biasa tadi pada kebajikan-kebajikan ilmiah. Semoga kapan-kapan ada waktu untuk menulis lebih banyak tentang hal ini. Bye for now :)
No comments:
Post a Comment