Melbourne skyline dari gedung psikologi, Melbourne University. |
Setelah dimanjakan cuaca cerah hari Minggu di Melbourne, agenda pertama rombongan Balitbang pada Senin pagi adalah mengunjungi Australian Council for Educational Research (ACER). Karena datang sedikit lebih awal dari jadwal, kami dipersilakan menunggu di toko buku yang berada di bagian depan kantor ACER. Bagi kutu buku dan orang pendidikan macam kami, koleksi toko buku tersebut sungguh menggoda iman. Tak butuh waktu lama sebelum pak Fasli dan pak Nizam terlihat menenteng beberapa buku. (Karena uang saku terbatas, saya sendiri hanya bisa menelan ludah, hahaha.)
Tepat jam 9, kami diterima oleh CEO ACER, Geoff Masters, direktur bidang internasionalnya, Peter McGukian, dan beberapa peneliti senior. Status ACER sebagai lembaga riset pendidikan yang murni swasta sudah saya bahas di tulisan lain. Di sini saya akan membahas sebuah makalah karya Geoff Masters (2013) yang beberapa kali dirujuk dalam diskusi tersebut. Makalah berjudul "Reforming Educational Assessment" tersebut memuat banyak gagasan segar tentang asesmen, dan bisa diunduh gratis! Saya akan fokuskan pada gagasan tentang kaitan antara variasi antar-siswa dan peran asesmen dalam pengajaran.
Semua guru, dan mungkin semua orang yang pernah harus mengajar lebih dari satu murid dalam kelas yang sama, tahu bahwa tiap siswa berbeda. Pun demikian dalam hal penguasaan materi ajar: ada yang sudah menguasai cukup banyak materi sejak awal, tapi ada juga yang pada akhir pelajaran masih belum mencerna materi yang dibahas. Tapi seberapa besar sebenarnya variasi tersebut? Seberapa jauh jarak antara siswa yang tertinggal dengan yang terdepan? Jawaban atas pertanyaan ini, menurut saya, cukup mencengangkan. Simaklah grafik berikut:
Distribusi skor kemampuan membaca siswa kelas 3, 5, 7 dan 9 di Australia (Masters, 2013, hal. 13) |
Grafik di atas menunjukkan kemampuan membaca siswa berdasarkan data dari NAPLAN, asesmen tahunan untuk siswa kelas 3, 5, 7, dan 9 di Australia. Tampak bahwa kemampuan membaca memang meningkat dari tahun ke tahun. Namun perhatikan variasi antar siswa di jenjang yang sama. Menurut pembacaan Geoff Masters, kemampuan membaca 10% siswa terbawah berjarak sekitar 5 tahun pelajaran dari 10% siswa yang ada di puncak. Dari sudut pandang lain: sekitar 20% siswa kelas 9 yang paling tertinggal memiliki kemampuan membaca yang lebih buruk daripada rata-rata siswa kelas 5. Dengan kata lain, bila di sebuah kelas 9 SMP terdapat 40 siswa, maka sekitar 8 diantaranya memiliki kemampuan membaca setara siswa kelas 5 SD!
Dalam makalahnya, Geoff Masters mengatakan bahwa data dari Amerika dan Inggris juga mengarah pada simpulan yang sama tentang besarnya variasi antar siswa pada jenjang/kelas yang sama. Apa konsekuensi temuan ini bagi pengajaran?
Untuk menjawabnya, ada hal lain yang perlu diperhatikan dalam grafik-grafik di atas: semua siswa mengalami peningkatan kemampuan membaca. Dengan kata lain, semua siswa punya kapasitas untuk belajar. (Klaim ini akan lebih kuat jika didasarkan pada data longitudinal, alias rekaman perubahan kemampuan membaca siswa yang diikuti semenjak kelas 3 sampai 9.) Hal ini sejalan dengan temuan neurosains tentang plastisitas otak. Sel-sel neuron di otak manusia mampu membentuk koneksi dan jejaring baru (alias belajar) tidak hanya ketika masa pertumbuhan, tapi sampai usia senja, dan mungkin sepanjang hayat.
Grafik di atas juga menunjukkan bahwa untuk peningkatan kemampuan membaca berlangsung secara perlahan, dalam jangka waktu tahunan. Hal ini sejalan dengan temuan riset ilmu kognitif yang menunjukkan bahwa pembentukan expertise butuh waktu panjang. Perlu waktu bertahun-tahun untuk menguasai fisika, biologi, matematika, literasi, dan semua bidang ilmu yang memang berharga untuk dipelajari.
Semua ini mengarah pada gambaran tentang siswa yang memiliki lintasan belajarnya sendiri-sendiri. Siswa yang paling "tertinggal" pun sebenarnya dalam perjalanan menuju penguasan atau expertise, namun dengan lintasan yang lebih jauh atau berputar. Implikasinya, kurikulum dan pengajaran yang distandarkan untuk tiap-tiap jenjang menjadi hal yang terasa konyol. Dalam perspektif ini, pola pikir "Saya guru kelas 5, dan ini adalah siswa kelas 5, maka saya akan mengajarkan kurikulum kelas 5" menjadi terdengar aneh.
Dengan demikian, yang diperlukan sebenarnya adalah kurikulum yang mengakomodasi keragaman lintasan belajar siswa. Di sini asesmen memegang peran penting, bahkan esensial. Bukan asesmen seperti kuis dan ujian tengah/akhir semester yang biasa dipraktikkan, melainkan asesmen yang lebih diagnostik, individual, dan fleksibel. Tanpa asesmen seperti itu, bagaimana guru tahu posisi masing-masing siswa dalam lintasan belajar mereka?
pak nino kalau melihat dari kurikulum yang sebagai faktor external terkait materi pelajaran yang banyak tanpa adanya ekspectancy dan social motivation support dari eksternal, belonginess dengan orang tua/bisa juga latar belakang kluarga penuh dengan konflik, saya rasa murid tidak akan belajar (melakukan proses kognitif tanpa dukungan orang tua) melihat sibuknya gaya hidup perkotaan, anak dalam tahap operasi konkret membutuhkan pembimbing dari pihak sekolah dan orang tua untuk proses akomodasi,gaya ajar satu arah yang disebabkan perbedaan jenjang usia karena hasil internalzing setiap personal yang berbeda, dan juga latar belakang guru yang mempengaruhi proses conditioning, bisa juga menyebabkan tidak terjadinya proses akomodasi. siswa tidak melakukan proses kognitif karena menguatnya perilaku bermain dalam kelas.
ReplyDelete