Oleh: Anindito Aditomo
Saya sendiri lebih suka menggunakan kata “kemampuan” daripada “skill” atau keterampilan. Istilah keterampilan mudah disalahtafsirkan sebagai konstruk yang semata-mata bersifat “motorik” atau perilaku fisik. Keterampilan seringkali dianggap tidak mencakup ranah kognitif dan afektif. Padahal sebenarnya keterampilan apa pun melibatkan pengetahuan dan emosi.
Sebagai contoh, keterampilan membuat sketsa pasti dilandasi pengetahuan tentang jenis-jenis pensil, kertas, cara menggores, dan bentuk-betuk dasar. Membuat sketsa juga memerlukan kepercayaan diri dan kemauan untuk mencoba-coba. Pun demikian dengan keterampilan olah raga, bermusik, merakit komputer, bersosialisasi, dan seterusnya.
Karena pemahaman umum terhadap istilah keterampilan yang seperti itulah, istilah kapabilitas atau kemampuan menjadi lebih pas. Definisi resminya pun menyebutkan adanya empat elemen (pengetahuan, keterampilan, perilaku, dan disposisi) sebagai pembentuk kemampuan generik. Ini menegaskan bahwa kemampuan generik bukanlah “keterampilan” dalam arti sempit.
Konsekuensinya adalah bahwa pengembangan kemampuan generik ini tidak bisa hanya fokus pada prosedur (knowing how), tapi juga pemahaman (knowing why) dan disposisi (kemauan bertindak).
Dalam diskusi dengan Balitbang Kemendikbud minggu lalu, ACARA (pengembang kurikulum ini) menegaskan bahwa tiap kemampuan umum memiliki “pijakan alami” pada pelajaran tertentu. Misalnya, literasi menemukan pijakan paling natural di pelajaran bahasa, numerasi di pelajaran matematika, dan pemahaman lintas-budaya di pelajaran-pelajaran ilmu sosial dan bahasa asing. Dengan demikian, tidak semua pelajaran diharuskan mengembangkan tujuh kemampuan umum. Guru juga tidak dituntut menilai siswa dalam tujuh kemampuan tersebut.
Sampai di sini sebenarnya tidak ada yang terlalu baru dalam konsep kemampuan generik yang ditampilkan dalam kurikulum nasional Australia. Menurut saya yang perlu dicatat adalah bahwa kemampuan generik ini sebenarnya sepadan dengan empat kompetensi inti (KI) dalam Kurikulum 2013 kita. Perbedaan mendasarnya adalah tiap kemampuan generik punya deskripsi achievement standard-nya sendiri, yang lepas dari deskripsi untuk mata pelajaran. Demikian juga sebaliknya, tiap mata pelajaran memiliki achievement standard-nya sendiri, yang lepas dari kemampuan generik.
Sebagai contoh, berikut achievement standards untuk kemampuan “bernalar dalam bertindak dan membuat keputusan”, yang merupakan salah satu dimensi dari “pemahaman etis”:
Tingkat 1 (taman kanak-kanak): identify examples from stories and experiences that show ways people make decisions about their actions; identify links between emotions and behaviours; identify and describe the influence of factors such as wants and needs on people’s actions.
Tingkat 2 (akhir kelas 2): discuss how people make decisions about their actions and offer reasons why people’s decisions differ; describe the effects that personal feelings and dispositions have on how people behave; give examples of how understanding situations can influence the way people act.
Tingkat 3 (akhir kelas 4): explain reasons for acting in certain ways, including the conflict between self-respect and self-interest in reaching decisions; examine the links between emotions, dispositions and intended and unintended consequences of their actions on others; consider whether having a conscience leads to ways of acting ethically in different scenarios.
Dalam Kurikulum 2013, keempat kompetensi inti tidak memiliki deskripsi tingkat pencapaian. Alih-alih demikian, tiap kompetensi inti dikawin-paksakan dengan kompetensi dasar untuk semua mata pelajaran. Inilah yang menghasilkan kalimat-kalimat ajaib semacam “Memiliki sikap disiplin dan rasa cinta tanah air terhadap sistem pemerintahan serta layanan masyarakat daerah melalui pemanfaatan bahasa Indonesia” sebagai kompetensi yang harus dicapai melalui pelajaran Bahasa Indonesia.
Menurut saya, perbandingan ini menunjukkan salah satu kesalahan paling mendasar dalam desain Kurikulum 2013 kita. Perwakinan paksa antara kemampuan generik dan kompetensi disiplin ilmu justru merusak kedua-duanya.
No comments:
Post a Comment