Oleh: Anindito Aditomo
Minggu ini saya menemani tim dari Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Kemendikbud, mengunjungi beberapa institusi di Australia. Salah satu tugas saya adalah ikut menyerap dan membagikan sebanyak mungkin insight tentang asesmen dan kurikulum yang bisa berguna untuk kita di Indonesia.
Kemendikbud mengundang saya dan pak Doni Koesoema sebagai wakil masyarakat untuk mencerna informasi yang didapat dari perspektif yang mungkin berbeda dari pemerintah. Amanat yang berat sekaligus mengasyikkan.
Oya, bila ada bertanya-tanya tentang pendanaan, kunjungan ini didanai oleh Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. Mereka tidak mau rugi, jadi acara dirancang sepadat mungkin. Tiga kota, lima institusi, dan tiga acara untuk berjejaring, hanya dalam empat hari kerja. Ditambah dua hari perjalanan pulang-pergi, total jendral acara ini hanya butuh enam hari. Karena malas meninggalkan keluarga terlalu lama, dan repotnya meninggalkan kerja rutin di Ubaya, saya justru senang dengan pengaturan yang efisien ini.
Institusi pertama yang kami kunjungi adalah ACER. Bukan perusahaan pembuat laptop itu lho ya, melainkan Australian Council for Educational Research. Sesi pertama dipandu langsung oleh CEO (Geoff Masters) dan direktur pengembangan internasionalnya (Peter McGuckian). Sesi kedua dan ketiga dipandu oleh beberapa peneliti senior, yang berbicara tentang pengetesan berbasis komputer dan asesmen terstandar yang bisa digunakan oleh guru untuk proses pembelajaran. Banyak informasi yang menurut saya menarik dan penting; semoga nanti bisa saya tulis lebih rinci setelah sempat membaca referensi pelengkap.
Menutup catatan awal ini, saya hanya ingin berkomentar mengenai ACER sebagai sebuah lembaga penelitian. Berdiri tahun 1930, sekarang ACER memiliki lebih dari 300 staf dengan setidaknya empat kantor cabang internasional (di London, Delhi, Dubai, dan Jakarta). Mereka punya puluhan pegawai tetap yang bertugas membuat butir tes, yang sebagian besar adalah guru yang kemudian menjadi pengembang tes profesional. Selain tentu memiliki sayap riset, ACER punya divisi yang khusus menangani kualitas psikometrik dari tiap tes; divisi yang bertugas merancang tampilan tes agar mudah digunakan dan dipahami; divisi yang mengelola keandalan dan keamanan jaringan komputernya; dan beberapa divisi spesifik lain.
Yang mengejutkan adalah bahwa ACER merupakan organisasi nirlaba (not-for-profit). Dengan kata lain, murni swasta yang tidak mendapat bagian dari kue tahunan anggaran pemerintah. Seperti perusahaan swasta lain, ACER bisa saja bangkrut jika “produknya” tidak laku. Fakta bahwa ACER bisa hidup dan berkembang menunjukkan bahwa penelitian pendidikan dihargai tinggi oleh pemerintah dan berbagai institusi lain yang memerlukan layanan berbasis pengetahuan ilmiah tentang pendidikan. Penghargaan atas riset ini hal yang masih perlu ditumbuhkan di Indonesia.
Apa artinya menghargai riset? Salah satunya adalah menyadari pentingnya pengembangan pengetahuan mendasar (dalam hal ini, tentang pendidikan) yang tak dibebani kewajiban memberi solusi praktis. Menghargai riset juga berarti memberi ruang untuk perdebatan yang berbasis data dan nalar, untuk kritik yang tidak (selalu) harus konstruktif. Menghargai riset berarti menyadari bahwa pengetahuan ilmiah merupakan fondasi yang lebih kokoh untuk menghadapi realitas dan problem praktis yang senantiasa berubah. Dan tentu menghargai riset berarti memaklumi bahwa kegiatan tersebut perlu waktu dan duit yang tidak sedikit.
Riset memang mahal, tapi dalam jangka panjang, sebenarnya harga yang harus kita bayar karena TIDAK melakukan riset jauh lebih mahal. Betul begitu kan, kawan-kawan?
No comments:
Post a Comment