Sunday, August 16, 2015

Perlukah Guru Meneliti?

Benarkah guru harus meneliti dan mempublikasikan hasilnya di jurnal ilmiah?
Sumber gambar: http://ierf.org/images/uploads/research_grants_ind1.jpg

Seorang ketua organisasi guru baru-baru ini mencetuskan bahwa guru seharusnya tidak dibebani kewajiban untuk meneliti. Pendapat ini adalah protes terhadap peraturan menteri pendidikan yang menetapkan publikasi karya ilmiah sebagai syarat untuk kenaikan pangkat guru. Persyaratan ini seharusnya gugur, menurut argumen pak ketua, karena undang-undang yang melandasi peraturan menteri tersebut tidak menyebutkan penelitian sebagai bagian dari tugas guru. 

Argumen pak ketua sepintas tampak seperti sasaran empuk untuk dikritik balik. Tentu saja guru harus meneliti. Guru adalah tenaga profesional, bukan buruh atau pekerja manual. Guru harus inovatif dan tidak sekedar menjalankan pengajaran sebagai tugas rutin semata. Keberatan atas persyaratan meneliti dan membuat publikasi ilmiah itu hanya menunjukkan kemalasan dan inkompetensi. Itu alasan yang hanya pantas diajukan guru yang belum bertransformasi menjadi tenaga profesional. 

Semua itu betul. Tapi di sisi lain, pendapat pak ketua di atas tak sepenuhnya keliru. Guru memang profesional. Namun apakah itu berarti guru harus meneliti dan melakukan publikasi ilmiah? Mari kita bandingkan dengan dokter dan insinyur, untuk menyebut dua profesi "tua" yang memiliki landasan keilmuan kokoh. Apakah seorang dokter harus meneliti dan menulis artikel ilmiah untuk bisa menangani pasien? Apakah seorang insinyur musti meneliti dan publikasi agar bisa membangun jembatan atau membuat perangkat teknologi? Tidak juga, kan? 

Sebagai profesional, dokter dan insinyur yang baik harus terus memutakhirkan pengetahuannya dengan membaca literatur ilmiah. Tapi ini berbeda dari melakukan penelitian, apalagi menerbitkan artikel di jurnal ilmiah. Jika demikian, apakah guru harus meneliti untuk bisa menjalankan profesinya dengan baik? Apa yang membuat profesi guru berbeda dari profesi-profesi lain seperti dokter dan insinyur?

Yang perlu dilakukan guru - dan profesional lain - adalah berpikir reflektif dan sistematis tentang praktiknya sendiri. Atau, dalam istilah Donald Schon, menjadi praktisi yang reflektif. Bila dilakukan dengan baik, proses refleksi sistematis ini memungkinkan guru terus memerbaiki pengajarannya. Problemnya adalah, refleksi bukanlah hal yang mudah dilakukan dengan baik. Refleksi menuntut kita menyadari dan menjaga jarak dari asumsi, prasangka kita sendiri. 

Refleksi sistematis perlu pembahasan tersendiri. Yang jelas, muara aktivitas ini bukan pada artikel jurnal ilmiah yang impersonal dan dingin. Hasil dari refleksi guru akan menemukan  tempatnya di forum-forum semi-formal yang interaktif dan memberi ruang untuk berdiskusi. Dan ini yang masih sangat kurang di Indonesia. 

No comments:

Post a Comment