Saturday, August 15, 2015

Menyongsong Gelombang MOOC


Teknologi telah memungkinkan pengalaman belajar yang kaya tanpa harus bertatap muka.
Sumber: http://www.torrington.info/uploads/1/9/0/5/19057235/__757786166.jpg

Pendidikan tinggi seperti apa yang bisa anda dapatkan dengan uang 5 juta rupiah? Untuk sebagian besar orang, uang sebesar itu hanya cukup untuk membayar biaya kuliah satu atau dua semester di universitas yang kualitasnya belum tentu terjamin. Tapi itu di masa lalu. Sekarang, melalui MOOCs, 5 juta rupiah bisa memberi anda tiket mengikuti serangkaian mata kuliah dan mendapat sertifikat kompetensi spesifik dari universitas-universitas terbaik di dunia.

Secara harafiah, MOOC berarti kuliah daring (online) yang terbuka dan masif. Terbuka karena siapapun yang punya akses internet bisa mengikutinya. Tidak ada prasyarat formal apa pun. Tidak perlu bukti ijazah, bukti nasionalitas, usia, visa, dll. Masif dalam arti bisa menampung ratusan ribu siswa secara simultan. Sebagai gambaran, 154.763 orang dari 194 negara mendaftarkan diri ketika MIT menawarkan MOOC pertamanya (“Circuits and Electronics”) pada tahun 2011. Jumlah yang fantastis, terutama bila kita bandingkan dengan daya tampung yang ditawarkan kelas-kelas tradisional.


Contoh sertifikat kompetensi dari sebuah rangkaian "spesialisasi" di Coursera.org

Seperti dikatakan Breslow, dkk. (2013), pendapat tentang MOOC terpecah menjadi dua kutub. Mereka yang skeptis melihatnya sebagai ancaman terhadap ruh pendidikan tinggi. MOOC dianggap akan mereduksi pendidikan tinggi menjadi pelatihan keterampilan belaka. Di sisi lain, mereka yang antusias melihat potensi MOOC untuk meluaskan kesempatan belajar untuk jutaan orang.

Beberapa mata kuliah yang ditawarkan di EdX.org, beserta universitas rekanannya.

Secara implisit, pihak yang skeptis maupun antusias sama-sama meyakini bahwa MOOC punya daya disruptif. Bahwa MOOC akan mengubah wajah pendidikan tinggi secara radikal. Universitas-universitas kelas dunia sudah menerima kenyataan bahwa gelombang MOOC tidak terhindarkan. Bahwa mereka harus berinovasi dalam model pembelajaran dan juga model bisnis, kalau tidak ingin tersapu oleh gelombang tersebut.

Bagaimana dengan pendidikan tinggi di Indonesia? Kesadaran dan tanggapan terhadap gejala MOOC masih sangat minim. Secara ironis, kita memang terlindungi dari gelombang MOOC oleh ketidakmampuan berbahasa asing (terutama bahasa Inggris). Tapi itu sekarang. Indonesia adalah pasar yang menggiurkan, termasuk untuk pendidikan. Cuma masalah waktu saja sebelum para pemain besar MOOC dari Amerika dan Eropa menemukan cara untuk memasarkan produknya di sini.

Sebelum gelombang itu menerjang pendidikan tinggi di Indonesia, kita perlu menyiapkan diri. Kebijakan seperti apa yang dapat mendorong tumbuhnya inovasi pembelajaran berbasis teknologi online? Kebijakan yang ada lebih berorientasi untuk menstandardkan layanan, bukan untuk mendorong inovasi dan pembaruan. Itu jelas tidak memadai.

Kita masih punya waktu karena saat ini MOOC belum menemukan bentuk yang matang. Dari puluhan atau ratusan ribu pendaftar sebuah MOOC, biasanya hanya sekitar 5 sampai 10% yang berhasil mendapat sertifikat (Breslow, dkk., 2013). Penelitian tentang MOOC masih pada tahap awal.

Tapi sekali lagi, its not a question of whether, but when. MOOC akan mengubah wajah pendidikan tinggi, termasuk di Indonesia. Jangan sampai kita hanya menjadi konsumen di negeri sendiri.

1 comment:

  1. Sebenernya belajar tutorial secara online sudah saya alami sejak tahun 2008. Tutorial secara online biasanya ada di forum-forum yang membahas hobby secara spesifik, dengan hash tag DWYOR (Do with Your Own Risk). Artinya di pemberi tutorial tidak memberi jaminan penuh (mungkin hanya 90%) terhadap tutorial yang diberikan. Mungkin forum-forum itu menjadi cikal bakal Moocs? hanya saja Moocs lebih sistematis dan bersetifikat. Any way, makasih Pak buat artikelnya, jadi bergairah ikut course di futurelearn.com...

    ReplyDelete