Pendidikan sains seharusnya menumbuhkan kemampuan berpikir ilmiah, bukan menanamkan pengetahuan. Sumber foto: http://www.htxt.co.za/wp-content/uploads/2014/07/ScienceEducation.png |
Apa kegunaan dari berbagai materi yang dipelajari di sekolah? Untuk literasi tingkat dasar, jawabannya gampang. Pelajaran-pelajaran tersebut berguna secara luas. Semua siswa akan memerlukan keterampilan membaca, menulis dan berhitung dalam kehidupan sehari-harinya. “Keluasan aplikasi” dan “kegunaan praktis” memang bisa menjadi justifikasi untuk pelajaran-pelajaran di tingkat SD, paling tidak sampai kelas 3 atau 4. Namun apakah justifikasi yang sama berlaku untuk pelajaran-pelajaran pada tingkat yang lebih tinggi?
Sebagai contoh, ambillah pelajaran sains atau ilmu pengetahuan alam (IPA). Sains dianggap sebagai mata pelajaran penting dalam kurikulum banyak (atau semua?) negara modern. Tapi sebenarnya, apa tujuan pendidikan sains? Mengapa setiap siswa harus memelajari, misalnya saja, pengukuran suhu dalam skala Celcius, Fahrenheit, Reamur dan Kelvin? Atau mengenai mekanisme fotosintesis pada tumbuhan, atau tentang proses replikasi DNA?
Jawabannya pasti bukan karena konsep-konsep tersebut bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan orang akan sangat jarang, bahkan mungkin tidak akan pernah, menemui problem praktis yang memerlukan pemahaman mendalam akan konsep-konsep tersebut. (Hal yang sama berlaku juga untuk pelajaran lain. Kalkulus, misalnya, tidak berguna secara praktis. Kapan terakhir kali kita menghadapi problem yang memerlukan kemampuan menghitung diferensial dari sebuah persamaan matematika?)
Kalau bukan untuk keperluan sehari-hari, lantas apa tujuan belajar sains? Salah satu jawabannya adalah sebagai persiapan untuk mereka yang ingin kuliah dan menjadi profesional di bidang sains. Ini tentu benar, namun hanya bagi sebagian siswa. Bagaimana dengan siswa yang tidak ingin menjadi ilmuwan dan insinyur? Mengapa mereka juga harus belajar sains selama bertahun-tahun? Mengapa mereka tidak bisa mendapat ijazah sekolah menengah kalau dianggap tidak menguasai sekian banyak konsep sains?
Jawaban lainnya mengarah pada fungsi sekolah sebagai alat pemilah. Pelajaran sains diberikan pada semua siswa untuk memilah antara mereka yang berbakat dan yang tidak berbakat menekuni profesi-profesi tertentu. Ini benar sebagai deskripsi realitas, namun jauh dari memuaskan sebagai justifikasi normatif. Kalau fungsinya untuk menyeleksi, mengapa harus menghabiskan waktu bertahun-tahun? Seleksi akan jauh lebih efisien, dan mungkin lebih efektif, menggunakan kombinasi tes potensi akademik dan tes minat-bakat. Dan selain tidak efisien, kita juga patut memertanyakan manfaat pelajaran sains bagi mereka yang tidak lolos seleksi.
Justifikasi yang lebih kuat untuk pendidikan sains, menurut saya, adalah untuk mengembangkan “literasi berilmu-pengetahuan.” Konsep ini didasarkan pada pemikiran bahwa sains tidak hanya berguna untuk mereka yang akan menjadi ilmuwan. Sains juga berguna bagi semua orang sebagai individu dan sebagai pekerja, konsumen, dan warga negara. Misalnya, sebagai individu kita pasti perlu mencerna berbagai informasi kesehatan dari media masa atau media sosial. Sebagai konsumen kita harus menimbang klaim-klaim dari beragam produk. Sebagai warga dari sebuah negara demokrasi, ada kalanya kita perlu memilih untuk mendukung atau menentang kebijakan yang dijustifikasi dengan pengetahuan ilmiah (misalnya, kebijakan tentang energi terbarukan).
Kalau ini bisa diterima, maka pertanyaan berikutnya adalah pemahaman seperti apa yang melandasi literasi sains? Pengetahuan apa yang diperlukan untuk menjadi individu dan warga negara yang melek sains? Yang jelas, “sains untuk umum” tentu berbeda dengan sains untuk (calon) ilmuwan dan insinyur. Dari perspektif ini, siswa secara umum tidak perlu menguasai semua konsep dan teori ilmiah yang saat ini disajikan dalam kurikulum dan diujikan secara nasional.
Justifikasi yang lebih kuat untuk pendidikan sains, menurut saya, adalah untuk mengembangkan “literasi berilmu-pengetahuan.” Konsep ini didasarkan pada pemikiran bahwa sains tidak hanya berguna untuk mereka yang akan menjadi ilmuwan. Sains juga berguna bagi semua orang sebagai individu dan sebagai pekerja, konsumen, dan warga negara. Misalnya, sebagai individu kita pasti perlu mencerna berbagai informasi kesehatan dari media masa atau media sosial. Sebagai konsumen kita harus menimbang klaim-klaim dari beragam produk. Sebagai warga dari sebuah negara demokrasi, ada kalanya kita perlu memilih untuk mendukung atau menentang kebijakan yang dijustifikasi dengan pengetahuan ilmiah (misalnya, kebijakan tentang energi terbarukan).
Kalau ini bisa diterima, maka pertanyaan berikutnya adalah pemahaman seperti apa yang melandasi literasi sains? Pengetahuan apa yang diperlukan untuk menjadi individu dan warga negara yang melek sains? Yang jelas, “sains untuk umum” tentu berbeda dengan sains untuk (calon) ilmuwan dan insinyur. Dari perspektif ini, siswa secara umum tidak perlu menguasai semua konsep dan teori ilmiah yang saat ini disajikan dalam kurikulum dan diujikan secara nasional.
Tapi konsep dan teori sains yang mana saja? Ini bukan pertanyaan mudah. Guru dan perancang kurikulum tak mungkin memprediksi konsep mana saja yang akan berguna untuk masa depan tiap-tiap siswa. Lagipula, makna "literasi berilmu-pengetahuan" tidak terbatas pada pemahaman tentang konsep dan teori. Ini akan saya bahas di tulisan tersendiri. Stay tuned ;)
No comments:
Post a Comment