Melupakan adalah bagian esensial dari proses berpikir dan belajar. Sumber: http://thisisinfamous.com/wp-content/uploads/2014/08/mad-max-fury-road.jpg |
Pikirkan film terakhir yang anda tonton. Apakah itu film yang layak ditonton ulang, atau direkomendasikan pada orang lain? Film terakhir saya adalah Mad Max. Plot ceritanya biasa saja. Endingnya klise, sebagaimana film Hollywood lainnya. Para aktor dan aktrisnya berperan bagus tapi tidak istimewa. Namun demikian, Mad Max adalah film laga (action) yang sungguh ciamik. Saya katakan demikian karena sejak detik pertama, film itu menyuguhkan sajian visual yang luar biasa dan adegan intens yang tak putus-putus. Saya tidak akan ragu merekomendasikannya pada orang yang mencari film laga.
Sebagian pembaca akan setuju dengan simpulan saya tentang Mad Max, dan sebagian lagi tidak. Namun dalam tulisan ini, simpulan tentang Mad Max sekadar contoh dari sebuah mekanisme terkait proses berpikir manusia. Yang ingin saya soroti adalah bahwa seorang pemirsa bisa memikirkan sebuah film yang baru ia tonton, kemudian mengambil simpulan dan meyakini bahwa simpulan itu kuat, meski pun ia tidak mengingat keseluruhan informasi yang disajikan oleh film tersebut.
Sepintas, ini observasi yang biasa saja.
Kita memang tidak perlu mengingat setiap detil dari sebuah pengalaman untuk
bisa mengambil simpulan tentangnya. Ini sudah banyak disadari orang. Namun yang
lebih jarang disadari adalah bahwa melupakan
sebagian yang kita alami merupakan syarat
dari proses berpikir! Jika dipaksa untuk berusaha mengingat setiap kata,
nama karakter, baju, warna, suara dari setiap adegan Mad Max, saya justru akan sulit
berpikir dan mengambil simpulan mengenai film itu.
Sumber: http://media.salon.com/2011/11/brain.jpg |
Ini berlaku untuk semua jenis pengalaman.
Kita tidak mengalami dunia atau realitas seperti apa adanya. Kita mengalami
realitas yang telah disederhanakan oleh sistem persepsi dan kognisi kita. Otak
kita menyaring dan melupakan sebagian besar informasi yang sempat “memasuki”
indera-indera, sehingga dapat melihat pola dan mengambil simpulan. Pikiran kita
justru tidak akan berfungsi dengan baik jika harus memerhatikan semua informasi
“mentah” yang memasuki indera. Ini mekanisme dasar dalam proses berpikir.
Sayangnya, sistem pendidikan kerap
mengabaikan mekanisme-mekanisme kognitif dasar seperti ini. Guru dan sekolah berharap
siswa menguasai semua deskripsi, konsep, teori, metode, dan informasi lain yang
ada di kurikulum. Pemikirannya kira-kira begini: informasi yang ada di
kurikulum tentu sudah diseleksi oleh para ahli, dan karena itu perlu dipahami oleh
siswa. Karena itu pula tes dan ujian dirancang untuk mencakup keseluruhan
materi yang ada di kurikulum. Namun ini sama saja dengan meminta seseorang untuk
menghafal setiap detil dari film yang baru ia saksikan.
Menjejali siswa dengan keluasan informasi sama
saja mencegah mereka untuk memilah informasi, melihat pola, mengambil simpulan,
dan memberi penilaian (judgment). Pendek kata, mencegah mereka berpikir. Saya
perjelas: pendidikan macam ini bukan saja tidak mengajarkan cara berpikir. Lebih
parah dari itu, pendidikan tersebut mengerdilkan kemampuan berpikir anak-anak
kita.
No comments:
Post a Comment