Pada saat data dikumpulkan, sebagian negara bagian di Jerman menetapkan ujian akhir yang terstandar ("central exit exam"), sebagian lagi tidak. Dengan demikian, para peneliti dapat membandingkan pengaruh ujian akhir pada hasil belajar, baik yang kognitif maupun motivasional.
Saturday, April 18, 2015
Ujian dan Kemampuan Bernalar
Pada saat data dikumpulkan, sebagian negara bagian di Jerman menetapkan ujian akhir yang terstandar ("central exit exam"), sebagian lagi tidak. Dengan demikian, para peneliti dapat membandingkan pengaruh ujian akhir pada hasil belajar, baik yang kognitif maupun motivasional.
Thursday, April 2, 2015
Metode "Experience Sampling" untuk Riset Pendidikan
Oleh: Anindito Aditomo
Kemarin sore salah satu jurnal bidang pendidikan favorit saya datang. Terlambat dua bulan, memang. Namun tak mengapa. Jurnal tersebut selalu berisi pemikiran dari orang yang mumpuni di bidangnya, dan yang biasanya juga pandai menulis. Hasilnya adalah sajian yang menginspirasi.Tulisan ini akan merangkumkan artikel pertama yang dimuat dalam edisi ini dari jurnal tersebut (Zikel, Garcia, & Murphy, 2015). Topiknya adalah experience sampling method (ESM). Saya belum menemukan padanan istilah yang pas. Terjemah harafiahnya, “Metode Penyuplikan Pengalaman”, malah membuat telinga risih. Jadi untuk sementara saya akan gunakan singkatan dari istilah aslinya saja.
Apa itu ESM? Pada intinya, ESM adalah cara untuk mendapatkan gambaran tentang pengalaman seseorang pada saat ia mengalaminya. “Pengalaman” di sini diartikan secara luas, meliputi pikiran, perasaan, perilaku, serta situasinya. Aspek spesifik mana dari pengalaman yang hendak diukur tentu tergantung tujuan penelitian. Yang penting, ESM hendak melihat pengalaman in situ, dalam konteks nyata, dalam kehidupan sehari-hari responden.
Ini yang membedakannya dari metode-metode lain. Metode survei, misalnya, meminta responden untuk merefleksikan dan melaporkan pengalaman mereka yang telah lampau. Survei dan juga eksperimen menempatkan responden dalam situasi riset (wawancara, mengisi kuesioner, menjawab telpon, melakukan aktivitas di lab) yang berbeda dari kehidupan sehari-hari responden .
Sebagai contoh, bayangkan seorang peneliti yang tertarik mengetahui pengalaman emosional siswa SMP/SMA saat mengikuti mata pelajaran yang berbeda-beda, dan apakah pengalaman emosional tersebut berdampak pada pilihan kuliah dan karir mereka selanjutnya. Bila menggunakan ESM, peneliti akan meminta siswa melaporkan emosi-emosi yang dirasakan setelah mengikuti sebuah pelajaran.
Sepintas ini mirip dengan survei tradisional, karena menggunakan kuesioner tertulis. Namun kunci ESM ada pada pengukuran yang kontekstual. Dengan ESM, peneliti akan mengukur pengalaman emosional siswa saat pengukuran itu berlangsung. Peneliti tidak meminta responden untuk mengingat-ingat, misalnya saja, seberapa sering ia merasakan sebuah emosi dalam beberapa minggu terakhir. Konsekuensinya, untuk melihat pengalaman emosional siswa terkait mata pelajaran yang berbeda, peneliti harus mengikuti siswa dari satu kelas ke kelas yang lain. Dengan kata lain, ESM melibatkan pengukuran berulang pada responden yang sama. Karena itu ESM disebut juga sebagai penelitian longitudinal intensif.
Dengan kemajuan teknologi - terutama tablet dan ponsel pintar yang terkoneksi internet - peneliti ESM bisa mengukur berbagai aspek pengalaman, tidak hanya laporan diri (self report) verbal menggunakan kuesioner. Berikut beberapa yang dicontohkan dalam artikel Zikel dkk. (2015). Ahli kesehatan bisa meminta responden memotret makanan yang mereka konsumsi. Ini memungkinkan mereka mengukur berbagai hal yang terkait mungkin memengaruhi keberhasilan diet, seperti kandungan dan jumlah nutrisi, waktu dan frekuensi makan, dll. Peneliti juga bisa meminta responden mengenakan sensor gerak, sehingga bisa memonitor kapan, di mana, dan seberapa lama seseorang beraktivitas fisik.
Banyak potensi kegunaan ESM. Sayangnya metode ini masih sangat jarang digunakan dalam penelitian pendidikan, dan relatif jarang digunakan di ilmu sosial dan perilaku lain. Peneliti psikologi, misalnya, masih lebih senang menggunakan kuesioner dan laporan verbal untuk mengukur berbagai hal, termasuk yang sebenarnya lebih cocok diukur melalui jejak perilaku atau instrumen lain.
Referensi: Zirkel, S., Garcia, J.A., & Murphy, M.C. (2015). Experience-sampling research methods and their potential for education research. Educational Researcher, 44(1), 7-16.