Ingatan kita tentang pengalaman di masa lalu tidaklah objektif. Sumber foto: http://brainpages.org/wp-content/uploads/2013/02/memory-loss.jpg |
Daniel Kahneman, ahli psikologi kognitif penerima Nobel ekonomi, pernah melakukan survei yang unik. Ia mendampingi pasien-pasien yang sedang menjalani kolonoskopi, prosedur medis untuk melihat bagian dalam dari usus dengan cara memasukkan kamera melalui dubur. Setiap beberapa detik ia meminta mereka melaporkan tingkat rasa sakit yang dialami dalam skala rasa sakit nol sampai sepuluh. Tidak seperti sekarang, pada zaman itu kolonoskopi masih dilakukan tanpa anastesi penuh. Bisa dibayangkan betapa tidak menyenangkan prosedur tersebut!
Segera setelah menjalani kolonoskopi, Kahneman meminta tiap pasien
menilai seberapa menyakitkan prosedur tersebut secara keseluruhan. Dengan kata
lain, Kahneman ingin mengetahui ingatan subjektif tentang totalitas dari
pengalaman tidak menyenangkan yang baru saja dialami seseorang. Pertanyaan yang
ingin dijawab Kahneman adalah apa yang memprediksi ingatan tentang seberapa
menyakitkan sebuah pengalaman.
Karena proses kolonoskopi tiap pasien berbeda-beda durasinya, kita
mungkin menduga bahwa ingatan tentang totalitas rasa sakit akan tergantung pada
seberapa lama seorang pasien mengalami prosedur tersebut. Sebagai contoh, dalam
grafik berikut tampak bahwa pasien A menjalani kolonoskopi selama 15 menit,
sedangkan pasien B hanya 5 menit. Puncak rasa sakit yang mereka rasakan juga
mirip.
Dalam grafik ini, totalitas rasa sakit yang dialami tiap pasien
selama proses tercermin dari luas
area terarsir. Dengan demikian, kita tentu akan menduga bahwa pasien A dalam
akan memiliki ingatan yang jauh lebih buruk mengenai kolonoskopi dibanding
pasien B. Tapi temuan Kahneman berbicara lain. Ingatan seseorang tentang
pengalaman mereka ternyata tidak tergantung pada durasinya. Yang jauh lebih
berpengaruh adalah puncak rasa sakit, serta rasa sakit yang dialami sesaat
sebelum pengalaman tersebut berakhir.
Dengan demikian, meski pasien A menjalani kolonoskopi yang jauh
lebih lama, rata-rata antara puncak rasa sakitnya (skor 8) dan rasa sakit
sesaat sebelum berakhir (skor 2) adalah 5. Puncak rasa sakit pasien B juga 8,
namun hal ini terjadi persis sebelum prosedur berakhir. Meski ia menjalani
prosedurnya hanya 5 menit, dan mengalami total rasa sakit yang jauh lebih sedikit, pasien inilah yang
membawa ingatan lebih buruk tentang pengalaman tersebut.
Penelitian unik ini menggambarkan bahwa ingatan kita atas sebuah
pengalaman tidak mencerminkan kejadian “objektifnya”. Pikiran manusia memiliki
mekanisme-mekanisme yang membiaskan ingatan tentang pengalaman. Penelitian Kahneman
mengungkap dua mekanisme kognitif: “efek puncak-dan-akhir” dan “efek pengabaian
durasi.”
Seperti berbagai mekanisme kognitif lain, keduanya bekerja secara
otomatis pada berbagai konteks. Misalnya, seorang penonton akan cenderung
membawa kenangan buruk tentang film yang memiliki adegan penutup yang
mengecewakan, meski film tersebut memiliki alur cerita yang cerdas dan kualitas
akting yang hebat. Mungkin adegan penutup yang mengecewakan itu hanya beberapa
menit, namun hal itu bisa merusak pengalaman menonton dua jam sebelumnya.
Pewawancara yang kurang awas akan mudah terperdaya oleh pengaruh kesan
terakhir. Ia akan lebih menyukai pelamar kerja yang menjawab dengan standar
untuk sebagian besar pertanyaan namun memungkasi dengan baik, daripada pelamar lain
yang dengan gemilang melewati sebagian besar pertanyaan namun terbata-bata pada
pertanyaan terakhir.
Bias dalam pembentukan ingatan ini tampaknya disadari oleh sebagian
politisi. Dari masa jabatan seorang pejabat publik, yang paling membentuk kesan
– dan karenanya menentukan pilihan pada pemilu – adalah apa yang terjadi pada
minggu atau bulan-bulan terakhirnya. Seorang pejabat yang selama lima tahun
masa kepemimpinannya tidak berprestasi bisa menciptakan kesan yang positif
dengan program populer yang digembar-gemborkan sesaat sebelum pemilu
berikutnya.
pak nino kalau dengan pendekatan 2 factor theory dengan evolutianary emotional theory, emosional mendahului proses berpikir, jadi dapat dimungkinkan, dimana otak yang merespon fight or flight karena insting bertahan hidup, yang kemudian neuron system melepas hormon stress, yang juga meningkatnya denyut jantung dan pernapasan yang menyebabkan meningkatnya blood pressure, sehingga proses BOLD (Blood oxygenete level depent) meningkat, yang menyebabkan darah yang membawa senyawa kimiawi keotak beredar lebih cepat melewati prefrontal cortex area berpikir logika,karena proses mental organisme yang kemungkinan tidak terlatihnya organisme dengan stress secara episodic, yang disebut dengan shock. yang kemudian masuk dalam ruang cingulate gyrus, kemudian mempengaruhi system lymbic emosional seseorang, yang kemudian ditransferkan melewati amygadala ke temporal lobes tempat memorizing. sehingga proses penyimpanan informasi cepat akibat darah tanpa adanya proses kognitif.
ReplyDelete