Oliver Sacks, profesor ilmu syaraf New York University, adalah sedikit diantara ilmuwan hebat yang juga piawai menulis. Salah satu buku klasiknya adalah The Man Who Mistook His Wife for a Hat. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengira bahwa istrinya adalah sebuah topi? Rasanya sulit menemukan buku dengan judul yang lebih menerbitkan rasa ingin tahu. Dan memang, buku-buku profesor Sacks adalah penawar bagi rasa takut dan sebal terhadap topik-topik neurosains yg kerap menjangkiti mahasiswa psikologi, termasuk saya.
Pagi ini saya teringat akan profesor Sacks setelah membaca esainya di harian New York Times. Ternyata profesor yg berusia lebih dari delapan dekade ini baru saja didiagnosis menderita kanker yang tidak bisa disembuhkan. Dalam esainya, profesor Sacks menuturkan bagaimana ia menyikapi kematian yang hendak menjemput.
Alih-alih membuat sedih, esai profesor Sacks justru menggugah daya hidup. Salah satu poin menariknya adalah bahwa diagnosis mengejutkan itu justru menerangi pandangannya mengenai kehidupan. Vonis kematian bagai lampu pijar yang membuatnya membedakan dengan jelas apa yang esensial dan apa yang tidak. Profesor Sacks berhenti menonton talkshow dan tayangan lain yang digemarinya. Ia berhenti berdebat tentang politik, situasi di Timur Tengah, dan climate change - isu-isu yang sangat dekat di hatinya. Profesor Sacks bukan tak lagi peduli. Ia hanya memilih untuk mengerjakan apa yang benar-benar esensial.
Kabar kematian memang membawa urgensi yang sulit ditandingi. Bagi sebagian orang, seperti profesor Sacks, urgensi tersebut melahirkan kejernihan pandangan dan energi untuk berkaya. Bayangkan jika kita bisa menemukan kejernihan dan fokus seperti yang dirasakan profesor Sacks. Kalaupun fokus dengan intensitas tinggi seperti itu mustahil dipertahankan setiap saat, 3-4 jam saja per hari sepertinya sudah cukup untuk membuat diri kita lebih produktif dalam berkarya. Lebih bermanfaat bagi sesama. Lebih hidup.
===
Sumber gambar: http://www.csicop.org/uploads/images/si/viskontas-sacks-books.jpg
Esai Profesor Sacks bisa dibaca di sini: http://mobile.nytimes.com/2015/02/19/opinion/oliver-sacks-on-learning-he-has-terminal-cancer.html
No comments:
Post a Comment