Motivasi berupa ancaman memang bisa menggerakkan orang, namun apa dampaknya pada proses belajar? |
Kira-kira berapa persen mahasiswa di kuliah Anda yang tetap mau belajar, seandainya mereka tidak dinilai atau diancam hukuman apapun? Dengan kata lain, berapa banyak mahasiswa yang belajar karena motivasi intrinsik, yang belajar sampai lupa waktu karena begitu menikmati prosesnya, meski harus mengerahkan banyak pikiran dan tenaga?
Pertanyaan di atas saya ajukan pada para dosen yang mengikuti workshop tentang motivasi belajar mahasiswa siang tadi. Jawaban mereka, sayangnya, tidak mengejutkan. Sebagian besar memperkirakan bahwa hanya 10-20% dari peserta kuliahnya yang mau belajar karena motivasi intrinsik. Sedihnya, saya harus mengakui bahwa perkiraan tersebut juga berlaku untuk mahasiswa di kuliah saya.
Tentu, perkiraan tersebut bisa jadi salah. Kenyataannya bisa lebih banyak, atau justru lebih sedikit mahasiswa yang motivasi utamanya dalam belajar bersifat intrinsik. Dan bisa jadi hal itu tergantung pada institusi, atau bahkan mata kuliahnya. Tapi secara umum kita bisa menduga bahwa untuk banyak mahasiswa, motivasi intrinsik memainkan peran kecil dalam proses belajar mereka.
Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya tentu bisa dilacak pada riwayat belajar para mahasiswa tersebut. Hampir semua mahasiswa adalah produk sekolah dasar dan menengah selama 12 tahun atau lebih. Dalam karir bersekolah itu, seberapa seringkah seorang siswa mengalami nikmatnya belajar? Berapa kali kira-kira seorang siswa merasa bahwa belajar itu menyenangkan, membuat lupa waktu, dan mendatangkan kepuasan batin yang mendalam? Saat-saat seperti itu mungkin masih sering terjadi di TK atau baru masuk SD. Namun ironisnya, kenikmatan belajar menjadi semakin jarang dirasakan seiring kenaikan tingkat pendidikan.
Wajar bila di bangku kuliah, mahasiswa juga membawa mindset bahwa belajar adalah kewajiban. Kuliah adalah hal yang dilakukan untuk mendapat manfaat praktis di kemudian hari, seperti uang, pekerjaan, dan status sosial. Atau bahkan lebih parah, untuk sebagian mahasiswa, belajar hanya dilakukan karena mematuhi perintah figur otoritas. Dalam hal ini, pengajar perguruan tinggi adalah "korban" dari baik-buruknya proses pendidikan pada jenjang-jenjang sebelumnya. Namun di sisi lain, tentu dinamika motivasi mahasiswa sedikit banyak adalah produk dari rancangan kuliah dan metode yang diterapkan oleh dosen.
Nah, apa yang bisa dilakukan oleh dosen untuk meningkatkan motivasi intrinsik? Beberapa teori psikologi menawarkan insight relevan yang akan saya bahas lain kali. Untuk tulisan ini, poin saya adalah bahwa langkanya kenikmatan belajar merupakan masalah serius. Pengetahuan yang bisa didapat dari dosen dan materi kuliah sangatlah terbatas. Dan pengetahuan yang terbatas itu sangat mungkin menjadi usang saat mahasiswa lulus (atau bahkan lebih cepat lagi). Mereka yang jarang merasakan nikmatnya belajar akan sulit memotivasi diri untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.
No comments:
Post a Comment