Memperingati Hari Guru Nasional (27/11/2013), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan bangga mengumumkan kemajuan signifikan dalam pembangunan bidang pendidikan. Tak lama kemudian, kita disentakkan oleh hasil Programme for International Student Assessment (PISA).
Tanpa keraguan, hasil PISA menunjukkan gagalnya kebijakan pendidikan nasional. Yang sudah banyak disorot oleh media adalah posisi siswa Indonesia yang menempati rangking 64 dari 65 negara peserta. Namun ini fokus yang keliru, karena rangking bisa naik atau turun bergantung pada model statistik yang digunakan untuk menghasilkan skor akhir. Yang jauh lebih penting adalah apa yang ditunjukkan PISA mengenai daya nalar siswa kita.
PISA adalah survei tiga-tahunan pada siswa usia 15 tahun (SMP kelas 2) di bidang matematika, bahasa, dan sains. Tes yang hasilnya diumumkan mingu lalu diikuti sekitar 510 ribu siswa dari dari 65 negara/teritori yang menjadi peserta. Untuk Indonesia, ada lebih dari 5500 siswa yang ikut serta, dipilih secara acak dari populasi sekitar 3,5 juta siswa.
Berbeda dari Ujian Nasional yang menekankan pada pengetahuan faktual, PISA menguji kemampuan menerapkan konsep pada situasi baru. Ada enam level kompetensi dalam kerangka PISA. Level 2 adalah kemampuan memecahkan masalah dengan mengidentifikasi informasi yang disebutkan secara eksplisit dalam satu sumber. Level ini menunjukkan kemampuan minimum yang diperlukan untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan modern. Level 3 menuntut kemampuan mengidentifikasi dan mengaitkan informasi yang tersedia secara eksplisit dari beberapa sumber yang berbeda (misalnya, dari dua teks yang berbeda). Level 4 ke atas sudah menuntut kemampuan daya abstraksi, karena informasi yang diperlukan bersifat implisit.
Di satu sisi, buruknya kualias pendidikan kita terlihat dari sedikitnya siswa yang menunjukkan penalaran tingkat tinggi. Untuk matematika, bahasa, maupun sains, tak sampai 2% yang memiliki kemampuan bernalar di atas Level 3, dan tidak satu pun yang mencapai Level 6! Di sisi lain, sebagian besar siswa Indonesia berada pada Level 1 atau di bawahnya: lebih dari 55% untuk bahasa, dan sekitar 75% untuk matematika dan sains! Dengan demikian, selain gagal mengembangkan top performers, sistem pendidikan kita juga gagal membekali sebagian besar siswa dengan kemampuan minimum yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan modern.
Sebagai gambaran kemampuan matematika Level 2, salah satu soal PISA bercerita tentang seseorang yang baru saja membeli sepeda baru. Saat bersepeda, orang tersebut menempuh 4 km selama 10 menit, kemudian menempuh 2 km selama 5 menit. Siswa kemudian diminta membandingkan kecepatan rata-rata selama 10 menit pertama dengan 5 menit berikutnya. Soal semacam ini menuntut pemahaman konsep dasar serta perhitungan yang sangat sederhana. Bayangkan, lebih dari 75% siswa SMP kita gagal mencerna soal sederhana semacam ini.
Untuk kemampuan bahasa, soal PISA biasanya meminta siswa untuk membaca sebuah teks dan kemudian menjawab pertanyaan yang terkait. Misalnya, sebuah teks menceritakan seseorang yang memecahkan rekor ketinggian terbang menggunakan balon udara. Teks tersebut memuat gambar balon udara yang digunakan oleh si pemecah rekor, bersanding dengan balon udara konvensional. Kemampuan Level 2 tergambar pada respon atas soal yang menanyakan mengapa teks tersebut perlu menampilkan gambar dua balon udara. (Jawabannya adalah untuk menunjukkan bahwa ukuran balon udara pemecah rekor jauh lebih besar dibanding balon udara pada umumnya.)
Poin penting lain yang dari data PISA terkait dengan kesetaraan ekonomi dalam pendidikan kita. Banyak negara maju yang mengalami masalah kesetaraan atau ekuitas. Secara umum, siswa dari keluarga kaya mendapat manfaat lebih banyak dari sekolah. Banyak penjelasan yang telah dikemukakan, mulai dari ketimpangan akses informasi, sampai perbedaan modal kultural antara siswa kaya dan miskin. Data PISA menunjukkan bahwa perbedaan satu jenjang sosial-ekonomi terkait dengan perbedaan sekitar 39 poin kemampuan berpikir, setara dengan satu tahun pelajaran.
Namun hal ini tidak sepenuhnya berlaku untuk Indonesia.
Data untuk Indonesia menunjukkan bahwa ekuitas kita lebih baik dibanding rata-rata peserta PISA. Kesenjangan antara kaya-miskin tetap ada, namun tidak besar. Kesenjangan akan tampak bila kita membandingkan tingkat sosial-ekonomi antar sekolah yang berbeda. Namun hampir tidak ada perbedaan kemampuan bernalar antara siswa kaya vs. miskin dalam satu sekolah. Apabila secara rata-rata prestasi kita baik, kesetaraan ini tentu berita gembira. Namun dalam hal ini kesetaraan berarti kesetaraan dalam kebodohan.
No comments:
Post a Comment