Bagi kita yang beruntung menjadi anggota kelas menengah, internet sudah menjadi bagian integral dari hidup sehari-hari. Internet sudah menjadi seperti kebutuhan pokok. Banyak diantara kita yang sulit membayangkan bahkan satu hari pun tanpa menggunakan search engine, membuka email, berbagi kabar lewat media sosial, atau sekedar menonton video singkat sebagai hiburan di sela-sela kesibukan. Anak-anak keluarga kelas menengah pun sejak kecil sudah terbiasa menggunakan berbagai perangkat digital untuk mengakses bermacam informasi yang ada di dunia maya.
Tapi kemampuan menggunakan perangkat digital dan internet tidak sepadan dengan kebiasaan menggunakannya secara sehat dan cerdas. Sebagai analogi, tidak semua pengendara mobil terbiasa berlalu lintas dengan sopan dan aman. Sebagaimana perilaku berlalu lintas yang baik, sikap dan perilaku berinternet secara sehat juga amat penting. Mungkin anda ragu: mengendarai mobil dengan ngawur memang bisa berakibat fatal, tapi kalau sekedar menelusuri informasi dan menjalin hubungan pertemanan di dunia maya, apakah konsekuensinya juga bisa demikian serius?
Keraguan akan pentingnya kebiasaan berinternet secara sehat dan cerdas mestinya terjawab oleh dua kasus yang baru saja terjadi. Kasus pertama percaya menyangkut seorang remaja putri di daerah Depok yang menjadi korban perkosaan oleh seseorang yang ia kenal melalui jejaring sosial Facebook. Dalam kasus ini, pelaku kejahatan lihai dalam memproyeksikan kepribadian virtual yang menarik, sampai korban cukup percaya untuk mau bertemu secara langsung. Kasus kedua terjadi di Kanada dan juga menyangkut seorang remaja putri. Di kasus ini, si remaja putri mengalami cyber-bullying oleh seseorang yang mengancam akan memposting foto separuh-telanjang remaja tersebut. Remaja tersebut kemudian mengalami depresi, beberapa kali pindah sekolah, dan akhirnya bunuh diri.
Kedua kasus tragis di atas memang contoh ekstrem. Tapi versi-versi “lebih ringan” dari penipuan online dan cyber-bullying kerap terjadi dan bisa menimpa banyak orang, mengingat bahwa sudah ada sekitar 55 juta pengguna internet di Indonesia. Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa perkataan, perilaku, dan keputusan-keputusan kita di dunia maya memiliki konsekuensi yang sungguh nyata. Dalam konteks inilah kita perlu belajar untuk menggunakan internet secara sehat dan cerdas.
Seperti apa perilaku berinternet yang sehat dan cerdas itu? Perinciannya tentu tak cukup dijabarkan di kolom ini. Namun ada beberapa prinsip yang dapat kita pegang, seperti yang disarikan oleh tim iKeepSafe bersama Google berikut (untuk lebih lengkapnya, lihat di http://www.google.com/educators/digitalliteracy.html):
Pertama, selalu bersikap skeptis, alias waspada dan kritis. Di dunia maya, hampir siapa pun yang punya koneksi internet bisa “menciptakan” informasi. Akibatnya adalah masifnya volume informasi yang ada di internet, serta beragamnya kualitas informasi tersebut. Kalau diibaratkan apotek, internet menyimpan miliaran obat dari berbagai jenis. Kebanyakan obat tersebut gratis, namun sebagian besar juga tidak manjur, dan sebagian lagi justru bisa membuat kita sakit.
Dengan demikian, kita perlu pandai-pandai mengevaluasi dan memilah informasi. Ini bisa dilakukan dengan mengecek otoritas dari sumber informasi (penulis dan pemilik situs). Misalnya, informasi yang ada di situs pemerintah, universitas dan media masa resmi biasanya lebih bisa dipercaya. Lebih elok lagi bila kita terbiasa membandingkan informasi dari beberapa sumber yang berbeda, serta memikirkan apa tujuan dan kepentingan si sumber informasi. Dengan mengambil perspektif si pencipta informasi, kita akan lebih kritis dalam menilai keabsahan informasi tersebut.
Kedua, jaga privasi. Sebagian besar dari kita tidak akan membagi-bagi foto anak, pasangan, atau diri kita kepada orang asing di perempatan jalan. Kita juga tidak akan menyebarkan selebaran berisi nama, tanggal lahir, dan riwayat sekolah atau kerja kita kepada orang yang tak kita kenal. Tapi di sisi lain, sebagian besar dari kita melakukan hal-hal itu dengan riang di dunia maya melalui berbagai media sosial. Informasi pribadi yang kita tampilkan di internet dapat disalahgunakan. Misalnya, orang yang berniat menipu kita akan lebih mudah melakukannya bila ia memiliki informasi pribadi lengkap tentang diri kita. Atau, seseorang bisa menciptakan akun di media sosial dengan berpura-pura sebagai kita, kemudian melakukan hal-hal yang memalukan atau bahkan kriminal. Karena itu, tampilkan informasi pribadi seminimal mungkin.
Ketiga, tetap santun dan jujur. Karena perkataan dan perilaku online punya dampak nyata, standar kesantunan yang kita anut di kehidupan nyata juga berlaku di dunia online. Tapi ini kadang terlupakan karena dalam interaksi online kita tidak secara langsung berhadapan dengan orang lain.
Selain itu, yang juga kadang terlupa adalah bahwa informasi yang kita unggah di internet akan memiliki “kehidupan” sendiri yang sulit kita kendalikan. Status FB atau Google+ yang hari ini kita tulis hari ini masih akan terbaca oleh orang lain satu atau bahkan sepuluh tahun mendatang. Sebuah umpatan dan olok-olok, atau sebuah foto memalukan, yang kita posting bisa diambil oleh orang lain untuk kemudian ia sebarkan secara luas – kadang tanpa kita ketahui. Hal ini bisa menyakiti orang lain, tapi bisa juga merugikan kita sendiri: bayangkan bila ucapan atau gambar tak pantas itu diketahui oleh atasan atau calon mertua!
Menerapkan prinsip-prinsip di atas tentu tak semudah menuliskannya. Tapi paling tidak semoga tulisan ini membuat kita berefleksi tentang cara kita menggunakan internet selama ini.
No comments:
Post a Comment